Menikahi sahabat sendiri seharusnya sederhana. Tetapi, tidak untuk Avellyne.
Pernikahan dengan Ryos hanyalah jalan keluar dari tekanan keadaan, bukan karena pilihan hati.
Dihantui trauma masa lalu, Avellyne membangun dinding setinggi langit, membuat rumah tangga mereka membeku tanpa sentuhan, tanpa kehangatan, tanpa arah. Setiap langkah Ryos mendekat, dia mundur. Setiap tatapannya melembut, Avellyne justru semakin takut.
Ryos mencintainya dalam diam, menanggung luka yang tidak pernah dia tunjukkan. Dia rela menjadi sahabat, suami, atau bahkan bayangan… asal Avellyne tidak pergi. Tetapi, seberapa lama sebuah hati mampu bertahan di tengah dinginnya seseorang yang terus menolak untuk disembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon B-Blue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Tiga hari sudah terlewati, Marsha dan Ryos belum ada bertemu sejak perdebatan di antara mereka beberapa hari yang lalu. Wanita itu memutuskan untuk mendatangi Ryos terlebih dahulu. Suara sepatu heels terdengar menggema di koridor menuju ruang kerja Ryos.
Dia datang tidak dengan tangan kosong. Mersha mengetuk pintu sebelum masuk dan ketika mendengar sahutan dari dalam, barulah dia membuka pintu.
"Ryos! Kamu sibuk?" Dari ambang pintu Marsha bertanya dan menyembunyikan hadiah sebagai ucapan permintaan maaf.
"Enggak terlalu. Masuklah!" Ryos beranjak dari meja kerja ke sofa yang tersedia di tengah-tengah ruangan.
"Ini!" Marsha memberikan sebuket bunga mawar kepada Ryos.
"Dari klien?" tanya Ryos seraya menerima bunga tersebut.
"Dari aku."
Entah kenapa suasana terasa canggung. Seolah keduanya adalah insan yang baru pertama kali bertemu.
"Dalam rangka apa?" tanya Ryos lagi. Raut wajahnya menunjukkan kalau dia sedikit bingung.
"Sebagai permintaan maaf. Aku sudah bicara yang tidak-tidak soal Avel dan bunga itu juga sebagai ucapan selamat karena sebentar lagi kamu mau menikah dengannya. Tapi, Yos...." Marsha berhenti sejenak, dia tidak yakin apakah harus mengatakan sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, padahal dia baru saja meminta maaf.
"Apa kamu sudah yakin mau menikah dengannya? Maaf, aku tidak bermaksud berpikiran negatif. Selama ini aku selalu jadi teman curhat kamu, kan? Kamu selalu berbicara tentang Avel. Kamu bicara soal mantan-mantannya–"
"Sha!" Ryos memotong perkataan Marsha, "Aku berterima kasih karena kamu ikut khawatir. Tapi, aku sudah memutuskannya dan akan menerima semua konsekuensinya. Avel memang sering gonta-ganti pacar, tapi aku tahu dia tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak bisa aku mengerti sampai detik ini. Dan aku perlu mencaritahu itu, akan lebih baik jika kami menikah."
Marsha mengangguk mengerti lalu dia tersenyum tipis. "Apa pun itu, aku doa'kan yang terbaik untuk kalian berdua."
"Terima kasih. Hmm, berarti kita sudah baikan. Aku juga minta maaf soal kemarin." Ryos tersenyum lebar sambil menggaruk tengkuknya. Selama dua tahun mereka bekerja sama, baru kali ini keduanya bertengkar.
Marsha mulai bekerja dengan Ryos sejak Gestara–papi Ryos sakit dan wanita itu diangkat sebagai direktur utama oleh Gestara sebelum kematiannya. Alasan Gestara memasukkan Marsha ke perusahaan ini karena orang tua Marsha merupakan pemilik saham terbesar kedua di perusahaan. Selain itu kemampuan kinerja Marsha sedikit berada di atas Ryos.
"Kalau begitu, aku izin keluar kantor setengah jam lagi. Aku titip beberapa kerjaan ke kamu, ya." Ryos kembali tersenyum, dia selalu memanfaatkan keramahan rekan kerjanya itu, "Aku mau menemui Avel, hari ini mau fitting jas lamaran dan pernikahan."
Marsha menghela napas panjang. "Seharusnya aku enggak menemui kamu dan enggak perlu minta maaf."
"Ayolah, Sha! Untuk ke depannya aku bakal sering keluar kantor karena pernikahan aku enggak sampai tiga bulan lagi. Besok aku traktir makan siang, bagaimana?"
"Oke!" Tanpa berpikir panjang, Marsha langsung setuju.
"Kalau sampai kamu ingkar janji, aku enggak bakal bantuin kerjaan kamu."
"Makasih banget, Sha." Tiba-tiba saja Ryos memeluk wanita itu dan seketika membuat jantung Marsha berdebar hebat. Pipinya juga merona. Karena begitu besar perasaan cintanya kepada Ryos, membuat wanita itu menjadi lemah dan tidak bisa menolak permintaan pria tersebut.
"I-iya." Marsha menjawab dengan gugup lalu Ryos melepaskan pelukannya.
"Aku balik dulu." Marsha buru-buru melangkahkan kaki meninggalkan ruang kerja Ryos. Hatinya tidak aman kalau terus berada di dekat pria itu.
Ketika sudah berada di luar ruangan dia berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada dinding lalu dia menyentuh dadanya. Merasakan sendiri debaran jantung yang begitu cepat.
Bukan hanya itu saja, Marsha pun mengatur napas untuk menenangkan diri. Padahal yang dilakukan Ryos hanya memeluk biasa, akan tetapi sudah mengacaukan perasaan wanita itu.
Perasaannya kepada pria itu sangatlah besar sehingga tidak rela jika Ryos menikah dengan Avellyne. Di mana Avellyne sendiri tidak mencintai Ryos. Andai saja keduanya saling mencintai tentu saja dia akan mundur dan mengubur dalam perasaannya. Tentu saja dia menjaga batasan dan tidak akan menjadi parasit di dalam hubungan antara Ryos dengan Avellyne.
...
Jam dua siang, Ryos sudah sampai di butik Avellyne. Lebih tepatnya butik milik Cintya–mama Avellyne. Surat wasiat yang dibuat wanita paruh baya itu belum diperbarui. Dia akan mewariskan harta, termasuk butik ini jika putrinya sudah sah menikah dengan Ryos.
"Loe belum makan siang, kan?" tanya Ryos begitu memasuki ruang kerja Avellyne.
"Belum. Gue nungguin loe. Kenapa datangnya lama banget, gue sudah kelaparan."
Avellyne beralih ke tempat yang lebih nyaman agar bisa duduk santai sambil menyantap makanan.
Ryos sudah membuka kemasan makanan yang dia beli di luar. Makanan pesanan Avellyne, bento dan dimsum udang serta kopi susu dingin.
"Kedainya ramai. Ini kan pas banget jam makan siang." Setelah membuka kemasan makanan dan menaruh sendok di atas makanan tersebut, Ryos pun memberikannya kepada Avellyne.
"Loe enggak sibuk hari ini?" tanya Avellyne sebelum dia memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
"Ada Marsha. Gue suruh dia ambil alih semua pekerjaan gue. Dia pasti memaklumi karena tahu kita segera menikah. Dia bisa diandalkan. Sekarang gue paham kenapa almarhum papi ngotot menunjuk Marsha jadi Dirut di perusahaan."
Avellyne mengangguk tanda mengerti, dia sedang fokus dengan makanan sebab begitu lapar. Kalau saja Ryos tidak mengatakan akan membawa makan siang, Avellyne pasti sudah makan di cafe yang berada di seberang jalan.
Selesai makan, keduanya berbincang dan seperti biasa, Ryos yang menjadi pihak paling banyak berbicara.
"Gue ukur badan loe sekarang?" ucap Avellyne. Sudah hampir tiga puluh menit mereka selesai makan dan Ryos pun berdiri lalu mengambil posisi sedangkan Avellyne mengambil buku dan pita ukur.
"Harus banget diukur lagi? Bukannya loe punya ukuran badan gue?" tanya Ryos.
"Itu sebulan yang lalu. Gue harus memastikan ukuran tubuh loe enggak ada yang bertambah. Tuh, kan...." Avellyne berhenti dan menatap Ryos, "lingkar perut loe bertambah. Berat badan loe naik berapa kilo dalam sebulan?" tanya Avellyne.
"Wajar, kan? Kita baru makan siang?" ucap Ryos.
Avellyne tidak merespon. Dia dengan teliti mengukur tubuh Ryos dan mencatatnya.
"Kalau kita sudah menikah, loe bakal buatin baju untuk gue."
"Bukannya sudah dari lima tahun lalu gue yang selalu jahit setelan jas loe. Kebanyakan pakaian formal loe hasil design dan jahitan gue sendiri, Yos. Baru sebulan yang lalu gue ngasih tiga setelan jas untuk loe."
Ryos langsung terdiam sebab cara bicara Avellyne terdengar berbeda. Bisa jadi suasana hati wanitanya sedang buruk.
Selagi wanita itu mengukur lingkar dada Ryos, pandangan pria itu begitu lekat menatap wajah wanitanya. Wajah itu begitu dekat dan terlihat sangat cantik bagi Ryos.
Entah apa yang ada dipikiran Ryos sehingga dia merengkuh pinggang Avellyne sehingga bagian depan tubuh mereka saling bersentuhan. Saking dekatnya wajah mereka sehingga dapat merasakan hembusan napas satu sama lain.
"Avel, lihat gue!" ucap Ryos menahan wajah Avellyne yang tadinya ingin berpaling.
Pria itu menelan ludahnya sendiri, perasaannya tidak karuan. Debaran jantungnya pun tidak beraturan.
"Ryos...." Avellyne berusaha melepaskan diri, namun pria itu semakin kuat menahan pinggang dan punggung Avellyne.