Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Kenapa, Sayang?" tanya Dika akhirnya, ia tidak sabar menunggu kelanjutan ucapan Tania.
Tania tersenyum tipis.
"Aku sudah siapkan kamar di sebelah kamar kita untuk Farah. Sudah aku rapikan tadi."
Wajah Dika langsung berseri-seri, senyum lebarnya merekah penuh kepuasan. Di dalam hatinya, ia bersorak senang. Bagus, pikirnya licik. Dengan begitu, langkahnya untuk menyelinap masuk ke dalam kamar farah jauh lebih mudah.
Jarak antara kamar dirinya dengan Tania dan kamar Farah ibaratnya hanyalah sejengkal, benar-benar bersebelahan, hanya terpisah dinding.
"Wah, terima kasih, Sayang. Kamu memang istri yang pengertian," puji Dika, basa-basi yang terdengar hampa di telinga Ibu Dika yang gelisah.
Farah tersenyum sombong, merasa di atas angin karena mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus.
Rayuan Dika membuatnya lupa akan kejadian dan kemarahannya terhadap Tania, kewaspadaannya terhadap Tania pun memudar, benar-benar wanita yang tidak bisa di sandingkan dengan Tania yang cerdik.
Berbeda dengan mereka berdua, Tania hanya tersenyum samar. Senyum yang menyimpan ribuan rahasia. Dika dan Farah tidak tahu bahwa di dalam kamar tersebut, Tania sudah menyiapkan kejutan kecil yang tidak akan pernah bisa keduanya duga. Perangkap sudah terpasang rapi, dan mangsanya baru saja masuk ke sarang.
......................
Makan malam penuh ketegangan
Ruang makan sudah dipersiapkan. Tania, Dika, dan Ibu Dika telah duduk di meja makan yang luas. Tania tampak elegan dalam balutan daster rumahan yang sopan, sementara Dika dan ibunya juga berpakaian santai. Suasana hening, menunggu kedatangan Farah.
Lalu, terdengar langkah kaki mendekat, bukan langkah biasa, melainkan langkah percaya diri yang terukur.
Semua mata menoleh ke arah pintu ruang makan. Farah muncul.
Farah mengenakan baju tidur tipis berbahan satin, berwarna merah menyala. Bahan pakaiannya yang minim seolah menantang mata, terutama di bagian dada. Pakaian itu tidak memberikan perlindungan apa pun pada lekuk tubuhnya; ukuran buah kembarnya yang besar menjadi terekspos jelas, dan bagian menonjol di tengahnya terlihat samar di balik kain tipis.
Farah berjalan dengan anggun, setiap langkahnya penuh perhitungan, seolah dirinya sedang berjalan di catwalk peragaan busana. Wajahnya penuh kepuasan, yakin bahwa penampilannya akan menggetarkan hati Dika dan membuat Tania cemburu.
Dika yang melihat penampilan Farah malam ini langsung terpesona. Matanya melebar, pandangannya terpaku pada lekuk tubuh Farah. Dengan susah payah, Dika menelan air liurnya sendiri, matanya menjelajah liar dari atas ke bawah.
Pemandangan itu tidak luput dari mata Tania. Meskipun ia sedang sibuk mengambilkan nasi untuk Ibu Dika, ekor matanya mengamati semua reaksi suaminya. Tania melihat ketika Farah melancarkan kedipan sebelah matanya kepada Dika, sebuah gestur genit yang samar namun penuh makna.
Permainan murahan, pikir Tania dingin dalam hati, sambil mencatat adegan itu sebagai bukti baru.
Dika masih terpaku, terhipnotis oleh penampilan Farah, bahkan setelah Farah duduk di kursi di seberang meja.
Dika baru tersadar dari lamunannya ketika Tania membuka suara.
"Di kampung kamu terbiasa pakai pakaian kayak gitu, ya?" tanya Tania dengan nada polos yang dibuat-buat, sambil tersenyum ramah.
Farah sempat kikuk, rona merah muncul di pipinya yang tadi sombong. Namun, dengan cepat ia menguasai diri dan menjawab yakin.
"Iya, Kak. Soalnya di sana panas banget."
Tania tidak berhenti sampai di situ. Dia kembali mengajukan pertanyaan yang sebenarnya adalah sindiran tajam.
Kamu nggak kedinginan? Kalau di kampung mungkin masih wajar, karena panas, nggak ada AC, kan? Tapi di dalam rumah ini, semua ruangan pakai AC, loh, kecuali di dapur. Kamu nggak malu pakai baju kaya gitu di depan Mas Dika? Atau kamu memang orangnya nggak tahu malu, ya? Eh, maksud aku, kamu orangnya masa bodoh sama penilaian orang lain."
Wajah Farah memerah padam, dia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Raut wajahnya terlihat jelas, kesal luar biasa.
Ibu Dika terlihat semakin gelisah,Wanita paruh baya itu menjatuhkan garpu nya ke piring dengan bunyi klang yang nyaring, membuat semua mata menoleh padanya. Dia tampak tidak nyaman dengan suasana tegang. Ia meremas serbet di pangkuannya, ingin sekali menegur Farah, tapi lidahnya kelu.
Dika langsung menimpali, menyadari suasana mulai panas. "Sudah, sudah. Ayo makan. Makanannya keburu dingin."
Mereka pun makan dengan tenang, tapi keheningan itu terasa berat dan penuh makna tersembunyi. Hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu, menjadi saksi bisu perang dingin yang baru saja dimulai di meja makan itu. Tania makan dengan tenang, sementara Dika dan Farah menghindari tatapan mata satu sama lain, dan Ibu Dika hanya menunduk gelisah.
Makan malam pun telah selesai. Keempatnya masih duduk di meja makan yang hening, sisa-sisa makan malam terhampar di hadapan mereka. Dika baru saja menghabiskan suapan terakhirnya ketika Tania, dengan suara santai melontarkan pertanyaan yang seketika mengubah suasana.
"Oh ya, Mas," mulai Tania, tatapannya beralih dari piring ke wajah Dika, "ngomong-ngomong Farah mau tinggal berapa lama di rumah kita ya? Dia ke sini nggak bermaksud untuk tinggal seterusnya bareng kita, kan?"
Pertanyaan itu tepat sasaran, seperti pisau bedah yang menusuk kebohongan Dika. Wajah Dika langsung menegang.
Keheningan sesaat melanda. Hanya suara AC yang terdengar. Dika dan Ibu Dika sama-sama membeku sebelum Dika berhasil menguasai diri.
Di seberang meja, wajah Ibu Dika tampak semakin pucat pasi. Tangannya yang tadi memegang gelas kini bergetar hebat. Dia menundukkan kepala, menghindari tatapan putranya dan menantunya, merasa terjebak dalam jaring kebohongan yang semakin rumit.
Dika, dengan susah payah menetralkan ekspresinya dan mencoba bersikap tenang, akhirnya menjawab.
"Maksud kamu apa, Sayang? Kamu keberatan kalau Farah di sini?" Dika mencoba membalikkan pertanyaan, menambahkan nada lembut yang dibuat-buat.
"Dia bukan orang lain, loh. Dia keponakan Ibu, sepupu aku," katanya lagi.
Tania membalas, suaranya tetap tenang dan logis.
"Aku tahu, Mas. Tapi kita kan nggak berkewajiban untuk menampung dia di rumah ini, apalagi dengan niat tinggal bersama dalam waktu yang masih belum bisa ditentukan. Itu nggak baik, Mas. Kalau Ibu sih oke, lha Ibu kan ibu kamu dan mertua aku."
Kemudian, Tania mengubah raut wajahnya. Dia memasang ekspresi khawatir yang meyakinkan, membuat Dika berpikir Tania sangat takut akan kehilangannya.
"Aku cuma khawatir, Mas," lanjut Tania, nadanya melunak, penuh kepalsuan yang sempurna.
"Hari sial dan godaan setan kita nggak tahu datangnya kapan. Di luaran sana ada banyak kasus juga fenomena perselingkuhan, dengan ipar lah, sepupu lah, menantu lah, mertua lah..."
Raut wajah khawatir Tania membuat Dika melambung tinggi dalam ego dan rasa bangganya. Dia yakin Tania sangat takut kehilangannya. Dika tersenyum puas, meraih tangan Tania di atas meja, mengabaikan tatapan kesal Farah.
"Sayang, kamu nggak perlu khawatir. Aku beda sama yang lain, aku setia," kata Dika, penuh kepalsuan.
"Aku nggak mungkin mendua. Kamu aja udah cukup, nggak ada wanita yang sebaik dan se pengertian kamu. Aku nggak lupa gimana kamu setia nemenin aku meniti karier dari nol."
Tania tersanjung, tapi sebenarnya itu hanya kepura-puraan nya saja. Setiap kata pujian Dika terasa pahit di lidahnya, seperti menelan lumpur. Dia hanya mengangguk lembut, menyembunyikan senyum samar kemenangan.
"Baiklah, Mas Dika. Teruslah terbang tinggi dengan egomu. Karena saat kamu jatuh nanti, rasanya akan lebih sakit." bathin Tania.
Ibu Dika menunduk, fokus menatap pola taplak meja. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah yang menggerogoti. Rasanya ingin sekali dia berteriak, 'Berhenti berbohong, Dika!' tapi dia tidak bisa, mulutnya terkunci oleh rasa takut. Hatinya perih melihat kepalsuan di meja makan saat ini.
Sementara Farah mendengarkan semua itu dengan wajah masam yang tidak bisa disembunyikan. Dia mengepalkan tangannya di bawah meja, kukunya menancap di telapak tangan, kesal melihat interaksi mesra Dika dan Tania di hadapannya.
Bersambung...