Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumpangan pulang
Di sepanjang perjalanan, pembicaraan mereka perlahan mengalir ke masa-masa sekolah dulu. Melodi awalnya hanya menanggapi seadanya, tapi ia mulai sadar sesuatu ketika melihat mobil itu berbelok mulus ke gang rumahnya tanpa ia memberi arahan sedikit pun.
“Kak Dimas good memories deh,” ucapnya sambil melirik. “Jalan rumah Melodi aja masih hafal.”
Dimas tersenyum kecil, pandangannya tetap ke jalan.
“Jangankan jalan… semua tentang kamu juga Kak Dimas masih ingat.”
Melodi mengerutkan kening—antara geli dan tidak percaya. “Apa sih Kak Dimas? Bisa aja.”
Dimas menoleh sekilas, nada bicaranya serius tapi tetap ringan.
“Ehh seriusan, tau. Mau dites? Apa sih yang Kak Dimas nggak tau tentang kamu?”
Melodi terdiam, tidak langsung menjawab. Entah harus merasa tersanjung atau justru canggung. Ia hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba menyembunyikan pipinya yang terasa hangat.
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil akhirnya berhenti di depan rumah. Dari jendela, Melodi melihat beberapa kendaraan yang ia kenali—motor Abang, mobil kakak ipar, dan satu mobil putih asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Siapa ya? batinnya, jantungnya kembali terasa berat.
Dimas ikut menoleh ke arah halaman yang ramai.
"Ramai banget rumahmu. Halamannya sampai penuh gini. Ada acara?"
"Biasa, kumpul keluarga aja," jawab Melodi sambil melepas seatbelt. "Keluarga Melodi kan banyak."
"Iya juga," gumam Dimas sambil terkekeh. "Kamu aja sama saudara-saudara terus ponakan udah rame… nggak mau nambah personil satu lagi?"
Melodi menoleh cepat. "Gimana maksudnya?"
"Nggak, bercanda," jawab Dimas cepat, menatap ke depan lagi seakan menutup topik.
Suasana kembali diam. Melodi membuka pintu dan turun lebih dulu, lalu menoleh ke arah Dimas yang juga keluar dari sisi pengemudi.
"Kak Dimas mau mampir dulu?" tanyanya ragu. "Sapa ibu sebentar?"
Dimas tersenyum kecil. "Boleh. Tapi nggak bisa lama ya."
"Oh, nggak apa-apa. Ayo."
Melodi berjalan lebih dulu menuju pagar rumah, sedangkan Dimas mengikuti beberapa langkah di belakang sambil merapikan kemejanya, seolah ingin tampil sedikit lebih rapi sebelum bertemu keluarga Melodi.
Begitu masuk halaman, Melodi melihat Abang pertamanya, Rigen, sedang duduk di teras sambil mengawasi dua anaknya yang sibuk berlari-larian.
"Abang," sapa Melodi sambil menyalami.
Rigen menoleh. "Motor mana, adiku?"
"Ban-nya kempes. Mogok." Melodi menarik napas, lalu menoleh ke belakang. "Eh, kenalin ini—"
Rigen langsung berdiri, tersenyum lebar. "Nggak usah dikenalin, Abang udah kenal. Gimana kabarnya, Dimas? Wah, sekarang jadi bos Melodi ya."
"Alhamdulillah, Bang. Sehat," jawab Dimas sambil menyalami dengan sopan.
Belum lama mereka berbincang, Ibu keluar dari dalam rumah dengan pakaian sudah rapi, seperti sedang menyiapkan diri menyambut tamu.
"Ibu," ucap Dimas sambil menunduk lalu menyalami tangan beliau.
Melodi memperkenalkan, "Ini, Bu… Dimas. Bosnya Melodi."
Ibu tersenyum mengenali. "Ah iya… udah lama ya nggak ketemu. Sehat, Nak?"
"Alhamdulillah, Ibu sehat?" tanya Dimas ramah.
"Alhamdulillah." Ibu mengangguk, tetapi tatapannya beralih ke Melodi. "Loh, kok bisa bareng sama kamu?"
"Motor Melodi mogok, Bu," jawabnya cepat. "Kak Dimas kasih tumpangan. Motornya juga sekalian dibawa ke bengkel."
"Masya Allah…" Ibu menangkupkan tangan di dada. "Maaf ya Nak, jadi merepotkan."
"Nggak apa-apa, Bu. Kebetulan lewat juga," jawab Dimas.
Rigen menyahut, "Kalau begitu nanti Abang aja yang ambil motor Melodi di bengkel."
Dimas menggeleng halus. "Nggak usah Bang, nanti supir saya bisa antar ke sini."
Ibu makin terlihat sungkan. "Terima kasih banyak, Nak. Masuk dulu?"
Dimas melihat langit yang mulai oranye. "Kayaknya nggak bisa, Bu. Udah mau Magrib. Saya pamit dulu ya." Ia bersalaman.
"Hati-hati di jalan ya Nak. Terima kasih sekali lagi," ucap Ibu tulus.
"Sama-sama, Bu."
Dimas berbalik pada Melodi, tersenyum tipis. "Mel, Kak Dimas balik dulu ya. Sampai ketemu besok."
"Iya, Kak… makasih. Hati-hati di jalan."
Dimas mengangguk, lalu masuk ke mobil dan pergi, meninggalkan suasana halaman yang perlahan kembali hening—meski pandangan keluarga masih sedikit penasaran pada Melodi.