Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. PENYELIDIKAN
Udara malam Boston menebarkan aroma antiseptik dari ruang rumah sakit yang sunyi. Cahaya putih pucat dari lampu langit-langit menerpa wajah Rubiana yang terbaring di ranjang, tubuhnya nyaris tertelan oleh selimut putih yang diselimuti kabel infus dan alat pemantau detak jantung. Hening, hanya suara mesin yang berdetak lembut, ritmis, seakan menegaskan bahwa ia masih hidup, meski nyawanya sempat berada di ujung.
Elias berdiri di tepi ranjang, diam seperti patung batu. Jemarinya yang selalu tegas menandatangani kontrak bernilai miliaran kini tampak gemetar saat ia memandangi wajah pucat gadis itu. Setiap lebam, setiap goresan, seakan memahat amarah di dadanya.
Dia ingat bagaimana tubuh kecil itu terkulai di lantai basement kediaman Adams, ruang lembap tanpa jendela, penuh debu, dan bau karat besi yang menyesakkan dada.
Ia memejamkan mata, berusaha menahan bayangan itu agar tak kembali. Tapi semakin ia menahan, semakin jelas ia melihatnya, tangan Rubiana yang dingin, pergelangan yang biru, napasnya yang hampir tak terdengar. Dan darah terlalu banyak darah untuk sesuatu yang disebut 'hanya hukuman kecil dari orang tua' seperti yang Edward katakan tanpa ekspresi saat Elias menanyakan keberadaan putrinya.
Pintu ruangan terbuka perlahan. Raven melangkah masuk, menatap dalam pada Elias sebelum menutup pintu di belakangnya. Wajahnya serius, mata tajamnya menyapu layar monitor di sisi ranjang.
"Dokter baru saja meninggalkan hasil pemeriksaan awal secara resmi," ujar Raven, menurunkan suaranya. "Aku yakin kau juga sudah mendengarnya tadi bagaimana keadaan Rubiana."
Elias berbalik, menatapnya tanpa bicara. Tatapan itu cukup untuk membuat Raven mengeluarkan berkas dari map hitamnya. Ia menyerahkan lembaran hasil medis kepada Elias, lembaran yang membuat dunia pria itu berhenti berputar beberapa detik walau sudah mendengar garis besarnya sebelum ini.
"Bekas luka lama cukup banyak ...," Elias membaca dengan suara rendah tapi bergetar. "Lama? Jadi benar kalau Rubiana sudah disiksa jauh sebelum ini?"
Raven mengangguk pelan. "Ya. Dokter menemukan beberapa luka yang sudah menutup sempurna tapi membentuk pola yang khas, luka sabuk, luka pukulan benda tumpul, bahkan bekas luka bakar kecil di punggung bawah dan lengan kanan. Itu bukan kecelakaan, Elias. Itu kekerasan sistematis, dilakukan berulang kali. Seperti obsesi."
Elias menurunkan lembaran itu, wajahnya memucat, lalu berubah menjadi gelap seperti langit malam sebelum badai. "Berulang kali? Dan tak seorang pun tahu? Tak ada laporan? Tak ada media yang mencium ini?"
Raven menelan ludah sebelum menjawab, "Tak ada, Elias. Semuanya bersih. Nama keluarga Adams nyaris steril di media. Tak ada gosip, tak ada isu internal, bahkan mantan pegawai yang pernah bekerja di sana pun tak banyak bicara. Mereka semua menandatangani NDA dengan jumlah besar. Perjanjian kerahasiaan secara hukum untuk tidak membocorkan informasi tertentu kepada publik tanpa izin pihak tertentu."
Elias mengerutkan kening, langkahnya perlahan mundur menjauh dari ranjang, lalu berhenti di depan jendela besar. Dari sana ia bisa melihat bayangan dirinya yang dipantulkan oleh kaca, dingin, namun matanya menyala.
"Berarti Edward Adams membungkam mereka. Uang dan nama baik menjadi tameng," cibir Elias tidak senang mendengar kalau Edward Adams memiliki kuasa atas media diam-diam.
"Sepertinya begitu," ujar Raven hati-hati. "Aku menduga Edward dan istrinya memiliki koneksi dalam dunia bisnis dan media. Banyak perusahaan Public Relation besar yang pernah menangani krisis reputasi mereka sebelumnya. Tapi ... ini berbeda. Luka-luka di tubuh Rubiana bukan hanya karena kekerasan fisik, Elias. Dokter mengatakan beberapa bekas memar di kepala bisa menjelaskan trauma dan kehilangan kesadaran yang cukup lama."
Elias membalikkan tubuhnya. "Kehilangan kesadaran?"
"Ya. Dokter mengatakan dia kemungkinan sering pingsan akibat benturan atau ketakutan ekstrem. Ini bukan sekali dua kali. Dan itu menjelaskan reaksi pasif yang dia tunjukkan ketika pertama kali kau menikahinya. Dan juga bagaimana dia tetap diam padahal dalam posisi tertekan dan disudutkan. Dia terbiasa menahan sakit, Elias. Seolah takut kalau berteriak akan memperburuk keadaan."
Sebuah kalimat yang sederhana, tapi terasa seperti pukulan telak di dada Elias. Rasanya seperti sesuatu yang keras meremukkan hati Elias ketika mendengarnya.
Elias memejamkan mata. Ingatannya melayang ke malam pertama mereka, malam yang penuh kebingungan dan emosi buta. Ia menuduh, memaksa, dan menyentuh tanpa lembut, mengira gadis di hadapannya adalah Vivian, perempuan yang telah menghancurkan hidup adiknya. Sehingga ia berlaku kasar pada Rubiana.
Namun kini, setiap detik dari malam itu terasa seperti dosa.
"Oh, Tuhan, tolong maafkan aku yang bodoh ini," ucap Elias penuh rasa sesal, mengusap wajahnya dengan keras.
Elias mengira sedang menghukum seseorang, padahal yang ia lukai adalah gadis yang bahkan tak mampu membela dirinya sendiri.
"Aku ingin kau menyelidiki segalanya, Raven," suara Elias akhirnya pecah, berat, serak, namun tegas. "Mulai dari kehidupan Rubiana di rumah itu, apa yang mereka lakukan padanya, mengapa tak ada satu pun laporan yang bocor ke media. Dan cari tahu siapa saja yang menandatangani NDA itu. Edward harus merasakan sanksi hukum dan masyarakat atas apa yang dia lakukan."
Raven mengangguk. "Baik. Tapi untuk melacak hingga ke NDA, aku butuh waktu dan akses lebih dalam. Koneksi Edward cukup luas. Chiper juga belum ada kabar untuk mencari informasi lebih jauh."
"Gunakan semua sumber daya Spencer. Aku tak peduli berapa banyak uang yang harus keluar," tegas Elias. "Aku ingin tahu bagaimana keluarga Adams bisa menutupi hal seperti ini dan mengapa mereka berani melakukannya pada putri mereka sendiri."
Raven menatap sahabatnya itu dalam diam beberapa detik, lalu berkata pelan, "Elias, kau terlihat marah. Tapi ini bukan sekadar kemarahan biasa, kan?"
Elias menghela napas panjang. "Aku bukan hanya marah, Raven. Aku jijik. Aku mungkin kejam, tapi aku tidak menyakiti seseorang sampai segila itu, terutama anggota keluarga sendiri yang tidak bersalah. Aku juga berdosa karena menyakiti Rubiana akibat dendamku terhadap Vivian."
"Aku mengerti," kata Raven.
Elias berjalan mendekati ranjang Rubiana lagi, menatap wajah pucat gadis itu dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.
Raven tak Melihat teman baiknya itu. Ia tahu tak ada kata yang bisa menenangkan pria di depannya.
"Raven," Elias menatapnya lurus. "Kau tahu aku bisa memaafkan banyak hal. Tapi bukan ini. Bukan kekerasan terhadap anak sendiri."
Keheningan merayap di antara mereka. Hanya suara mesin monitor yang terus berdetak, lambang kehidupan yang rapuh dari seorang gadis yang telah terlalu lama terluka dalam diam.
Keesokan paginya, Elias duduk di ruang rapat rumah sakit bersama Raven dan dua orang dokter. Suaranya datar saat ia berkata, "Kalian akan menjaga privasi pasien ini. Tak ada satu pun informasi yang boleh keluar dari gedung ini tanpa izin saya. Bila perlu, pindahkan dia ke ruang VIP tertutup."
"Baik, Mr. Spencer," jawab dokter itu gugup, tahu siapa pria yang ada di hadapan mereka ini.
Setelah mereka keluar, Elias bersandar di kursi dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, pria yang selalu terlihat tak tergoyahkan itu tampak lelah, bukan oleh bisnis, tapi oleh perasaan bersalah yang menyesakkan.
Dia baru menyadari betapa dalam luka yang Rubiana simpan di balik senyum tipisnya, di balik caranya menunduk setiap kali dipanggil. Rubiana bukan wanita licik seperti Vivian. Ia adalah korban, dari ayahnya, dari sistem, dan bahkan darinya sendiri.
Raven sungguh menyelidiki tentang Rubiana dan keluarga Adams.
Malam itu, di kantor Spencer Dynamic yang sunyi, Raven berdiri di depan layar besar penuh grafik, dokumen, dan foto yang sudah ia kumpulkan. Ia mengetik cepat, wajahnya diterangi cahaya biru monitor.
"Aku menemukan sesuatu," katanya begitu Elias masuk saat mendapatkan telepon dari Raven tadi. "Keluarga Adams memiliki jaringan bisnis di bawah perusahaan cangkang. Salah satunya mengalirkan dana ke beberapa media besar untuk membungkam pemberitaan negatif."
Elias mendekat, menatap layar dengan tajam.
"Lihat ini," lanjut Raven. "Tiga tahun lalu, ada laporan polisi tentang dugaan kekerasan rumah tangga di alamat Adams. Laporan itu ditarik kembali keesokan harinya. Nama pelapor ... Rubiana Adams."
Elias membeku. Matanya memicing pada tulisan itu, nama gadis itu tercetak kecil di pojok bawah dokumen, tapi terasa menonjol seolah bercahaya. "Dia ... pernah mencoba meminta bantuan."
Raven mengangguk. "Ya. Tapi laporan itu dihapus dari sistem. Satu-satunya jejak tersisa hanya dalam arsip bayangan yang aku temukan di server kepolisian. Artinya, seseorang dengan pengaruh besar ikut campur."
Elias menggertakkan gigi. "Edward Adams."
"Kemungkinan besar. Tapi yang lebih aneh lagi, laporan itu dibuat dua minggu setelah ulang tahun Rubiana yang ke-24, malam yang sama ketika ia dijadwalkan menghadiri pesta keluarga besar Adams."
Elias menatap layar tanpa berkedip. Dalam diam, pikirannya berputar cepat, menyusun potongan-potongan yang mulai membentuk gambaran utuh:
Rubiana muda, berdiri di tengah pesta mewah, mungkin mengenakan gaun yang mungkin saja dipilihkan ibunya, tersenyum di depan tamu, dan malam itu, sesuatu terjadi. Sesuatu yang membuatnya melapor polisi, tapi suaranya dibungkam.
"Raven," katanya akhirnya, suaranya tenang tapi berbahaya. "Mulai hari ini, kau fokus pada dua hal: Pertama, selidiki semua yang terjadi di rumah Adams, termasuk apa pun yang membuat laporan itu ditarik. Kedua, pastikan nama Rubiana Adams tidak muncul di media satu pun. Aku tak ingin mereka memelintir kisah ini menjadi drama keluarga demi sensasi."
Raven menunduk. "Baik, Elias. Aku akan tangani ini sendiri."
Beberapa jam kemudian, Elias kembali ke rumah sakit. Ia memasuki kamar yang sama, kini diterangi cahaya hangat dari lampu sudut. Rubiana masih tertidur, wajahnya sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
Elias duduk di kursi di samping ranjang, menatapnya lama, lalu berbicara perlahan, bukan sebagai pria yang marah, tapi sebagai seseorang yang tak tahu bagaimana menebus kesalahan.
"Aku tidak tahu berapa lama kau hidup seperti ini, Rubiana," katanya pelan. "Tapi mulai sekarang, kau tidak akan kembali ke rumah itu. Aku akan pastikan dunia tahu siapa sebenarnya yang pantas dihukum."
Tangannya terulur, menyentuh jemari Rubiana yang dingin. Untuk pertama kalinya, genggaman Elias lembut, bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah yang membakar dada. Dan juga empati karena semua siksaan yang gadis itu dapatkan dari orang yang justru seharusnya melindungi gadis itu.
Dan di bawah cahaya redup ruangan, amarah Elias tumbuh, diam-diam, seperti api yang menunggu waktu untuk menyala.
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya
Rubi gak ada salahnya kamu mulai jujur sama Elias,jadi sedikit demi sedikit tidak ada kebohongan mengenai dirimu yg sebenarnya,mungkin setelah kamu jujur ada langkah yg bisa xan ambil bertiga untuk menyelesaikan kasus yg rumit tersebut.
bicaralah Rubi
masih tegang trs kalau para penjahat blm musnah