NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:652
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9- Jalan yang tidak Kembali

Cahaya mentari makin tinggi, menembus celah-celah papan rapuh rumah tua. Mauryn duduk bersila di lantai, menatap pria-pria terikat yang masih tak berdaya.

Ia tahu, rumah ini tak lagi menjadi tempat aman, hanya tunggu waktu sebelum bala bantuan datang.

Revan berjalan mondar-mandir, wajahnya tegang.

“Kita harus pergi sebelum malam.”

Mauryn mengangguk.

“Ke mana?”

“Kota berikutnya. Aku kenal seseorang di sana. Dia bisa memberi kita perlindungan sementara,”

jawab Revan, suaranya mantap meski sorot matanya menyiratkan beban berat.

Mauryn menggigit bibir, lalu menatapnya.

“Bagaimana dengan mereka?” Ia menunjuk tiga pria itu.

Revan berhenti, lalu menatap lama pada musuh-musuh yang terikat.

“Kita tidak bisa membawa mereka. Tapi juga tidak bisa melepaskan begitu saja.”

Mauryn mendengar suara hati salah satu dari mereka, samar tapi jelas.

“Kalau aku bisa lepas, aku akan beri tahu semuanya. Bos akan kirim lebih banyak orang.”

Ia menelan ludah, lalu berkata pelan

“Kalau mereka dilepas… mereka akan jadi ancaman.”

Revan mendekat, berlutut di depannya.

“Kamu yakin?”

Mauryn mengangguk, meski suaranya bergetar.

“Ya. Mereka hanya akan membawa lebih banyak bahaya.”

Hening beberapa saat. Lalu Revan menghela napas panjang.

“Baik. Kita tinggalkan mereka di sini, dalam keadaan terikat. Setidaknya mereka butuh waktu sebelum bisa lepas.”

Mauryn menunduk. Keputusan itu pahit, tapi perlu.

Sore menjelang, udara lembap setelah hujan semalam. Revan memeriksa isi tas ransel kecil sedikit makanan kering, sebotol air, dan pisau lipat.

“Kita tidak bisa membawa banyak. Hanya yang benar-benar perlu.”

Mauryn memasukkan sebuah buku catatan kecil ke dalam tasnya. Revan menoleh.

“Itu penting?”

Mauryn menatapnya sekilas.

“Sangat penting. Ini satu-satunya yang kumiliki dari masa lalu.”

Revan tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk, lalu menyodorkan jaket hitamnya.

“Pakai ini. Malam akan dingin.”

Mauryn memandangnya sebentar. Jaket itu terlalu besar di tubuhnya, tapi hangat. Ia tersenyum tipis.

“Terima kasih.”

Revan menoleh cepat, seakan tak ingin terlihat bahwa senyum kecil itu membuatnya lega.

Langit mulai gelap saat mereka meninggalkan rumah tua. Angin malam membawa aroma tanah basah, dan suara jangkrik memenuhi udara.

Mereka berjalan cepat di jalan setapak yang jarang dilalui. Mauryn sesekali menoleh ke belakang, takut ada bayangan yang mengikuti.

Revan tiba-tiba berhenti, mengangkat tangannya memberi tanda diam.

Mauryn menahan napas.

Di kejauhan, suara mesin motor terdengar. Lampu-lampu menembus kegelapan, semakin mendekat.

“Mereka…” bisik Mauryn, gemetar.

Revan menariknya ke semak belukar di pinggir jalan. Mereka berjongkok, tubuh berdekatan, hampir saling menempel. Nafas Mauryn terasa panas di leher Revan.

Dua motor melintas cepat, lampunya menyapu jalan. Kedua pria di atas motor itu terlihat membawa senjata.

Mauryn menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan suara napas. Hatinya berdegup kencang.

Revan meraih tangannya perlahan, menggenggam erat. Sentuhan itu membuat Mauryn sedikit tenang. Mereka menunggu sampai suara motor benar-benar menghilang. Lalu Revan berbisik.

“Kita harus ambil jalan memutar. Lebih jauh, tapi lebih aman.”

Mauryn mengangguk.

Mereka berjalan melalui jalan setapak yang dipenuhi dedaunan basah. Sesekali, Mauryn tergelincir, tapi Revan selalu sigap menangkapnya.

“Berhati-hatilah,” katanya pelan.

“Sulit… jalannya licin,” jawab Mauryn, sedikit kesal tapi juga lega karena Revan tidak melepas tangannya.

Mereka berjalan lebih lama dari yang seharusnya. Langit benar-benar gelap, hanya bulan pucat yang menjadi penerang.

Mauryn akhirnya kelelahan. Ia berhenti, duduk di atas batu besar.

“Aku butuh istirahat sebentar.”

Revan mengangguk, lalu duduk di sampingnya.

“Kamu sudah melakukan dengan baik.”

“Kalau ‘baik’ artinya hampir pingsan, mungkin iya.” Ucap Mauryn lalu tertawa hambar.

Revan menoleh, menatapnya lama.

“Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”

Mauryn menghela napas, lalu menatapnya balik.

“Kamu selalu bilang begitu. Tapi aku tetap merasa rapuh.”

Revan menatap jauh ke arah hutan gelap.

“Aku juga merasa rapuh, Mauryn. Bedanya, aku sudah terlalu sering menyembunyikannya.”

Mauryn terdiam. Kata-kata itu membuat hatinya bergetar.

Hening panjang menyelimuti mereka. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma dedaunan basah. Mauryn menyandarkan kepalanya ke bahu Revan tanpa berpikir panjang.

“Aku takut, Revan…” bisiknya.

Revan menoleh, menatap wajahnya yang lelah.

“Takut apa?”

“Takut kehilangan satu-satunya orang yang ada di sisiku sekarang.”

Revan terdiam, lalu mengulurkan lengannya, merangkul bahu Mauryn erat.

“Kamu tidak akan kehilangan aku.”

Mauryn mendengar isi hatinya, jelas dan tulus. Tidak ada kebohongan. Hanya keteguhan dan rasa yang ia sendiri tidak berani sebutkan.

Ia menutup mata, membiarkan kehangatan itu menenangkan ketakutannya.

“Jangan tinggalkan aku, apa pun yang terjadi.”

Revan menunduk, suaranya rendah tapi mantap.

“Aku berjanji.”

\~\~\~

Setelah beberapa saat, mereka kembali berdiri. Revan memegang tangan Mauryn lebih erat kali ini.

“Kita tidak bisa berhenti terlalu lama. Mereka mungkin masih mengejar.”

Mauryn mengangguk, meski hatinya masih berat. Tapi kali ini, langkahnya terasa lebih ringan karena ia tahu ia tidak sendirian.

Mereka berjalan lagi, menyusuri jalan gelap yang hanya diterangi bulan. Di belakang, suara hutan terus berbisik, seolah memberi tahu bahwa bahaya belum berakhir.

Tapi di dalam hati Mauryn, ada suara lain yang lebih kuat.

“Selama aku bersamanya, aku bisa melangkah sejauh apa pun.”

Malam itu menjadi awal pelarian panjang yang tak ada jalan kembali. Rumah tua telah mereka tinggalkan, bersama semua rasa takut dan darah yang tertinggal di dalamnya.

Kini hanya ada jalan ke depan, jalan yang dipenuhi bahaya, tapi juga secercah harapan yang tumbuh di antara dua jiwa yang terluka.

Dan di bawah cahaya bulan pucat, Mauryn dan Revan berjalan beriringan, tangan saling menggenggam, menantang kegelapan yang terus memburu mereka.

Bersambung..

Hay hay semua terimakasih yang sudah menunggu kelanjutan novel othor

Support terus yah 🫶🏻

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!