Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MILIKKU (POV ADRIAN)
Langit Jakarta masih gelap saat Adrian membuka matanya.
Ia tak tidur nyenyak. Bahkan nyaris tidak tidur. Padahal ini apartemennya sendiri, ranjangnya sendiri — tempat di mana ia biasanya bisa mengabaikan dunia dan bangun sebagai pria yang dingin, efisien, dan tak tersentuh.
Tapi pagi ini berbeda.
Ia menoleh pelan ke sisi ranjang. Maya masih tertidur. Tubuhnya setengah menyelimuti dirinya sendiri, kemeja hitam Adrian melorot dari bahu kirinya, rambut kusut menutupi sebagian wajah. Nafasnya teratur, lembut, tapi entah kenapa, keberadaannya terasa begitu nyata… dan mengusik.
Adrian duduk di tepi ranjang, menatap lurus ke depan.
Dia bukan bodoh.
Dia tahu permainan ini berbahaya.
Sebelumnya, setiap “kesepakatan tak tertulis” yang pernah ia buat dengan wanita—semuanya bersih. Kaku. Jelas. Tidak pernah ada emosi, tidak pernah ada kebingungan. Mereka butuh bantuan hukum, ia butuh pelampiasan fisik — selesai.
Tapi Maya… sejak awal terasa berbeda.
Bukan karena tubuhnya. Tapi karena tatapannya.
Ia bukan korban. Tapi juga bukan wanita kuat.
Dia adalah campuran dari keduanya — penuh luka, tapi tetap bertahan. Penuh ketakutan, tapi tetap datang. Maya adalah bahaya bagi pria seperti Adrian. Bahaya yang datang tanpa suara.
Dan semalam… adalah pengukuhan kekuasaan.
Tapi juga awal dari kekacauan batin.
Ia berdiri, melangkah pelan keluar kamar dan menuju dapur. Ruangan itu senyap. Ia menyeduh kopi seperti biasa, presisi dan cepat. Saat uap panas mulai mengepul dari cangkir, ia bersandar di counter dapur, menatap lantai kayu yang dingin.
Semalam Maya tidak menangis.
Itu yang paling mengganggunya.
Ia pernah bersama perempuan yang menyerah sambil menangis, sambil berpura-pura kuat, atau sambil meminta waktu. Tapi Maya… dia melepaskan tubuhnya seperti seseorang yang sudah mengubur seluruh harga dirinya.
Dia tidak berbohong, Adrian.
Dia benar-benar menyerahkan semuanya demi anaknya.
Dan entah kenapa, itu membuatnya kesal.
Bukan pada Maya — tapi pada dirinya sendiri.
Karena ia menyukai perempuan itu justru karena luka dan ketakutannya.
Adrian meneguk kopinya. Tegukan pertama seperti menyadarkan dirinya kembali.
Dia tetap pengacara.
Dan Maya tetap kliennya.
Itu harus jadi batas.
Tapi saat pintu kamar dibuka perlahan dan Maya melangkah keluar — mengenakan kemejanya yang kebesaran, rambut masih berantakan, mata sedikit sembab tapi tetap menatapnya tanpa minta maaf — Adrian tahu:
Batas itu mulai kabur.
"Selamat pagi," ucap Maya pelan.
Adrian tidak langsung menoleh. Ia hanya menjawab datar, “Kamar mandinya ada di kiri. Handuk di rak.”
Dia bisa merasakan Maya berdiri canggung beberapa detik, sebelum akhirnya berlalu menuju kamar mandi.
Suara pintu tertutup.
Adrian menatap pantulan dirinya di jendela kaca besar yang menghadap langit kota.
Lelaki dalam bayangan itu tampak tenang. Dingin. Rapi.
Tapi di balik itu semua, pikirannya berantakan.
“Jangan jatuh pada perempuan ini.”
“Dia bukan bagian dari hidupmu.”
Tapi semalam, tubuh itu memeluknya — bukan dengan gairah, tapi dengan rasa putus asa. Dan anehnya, itu membuatnya ingin lebih.
Bukan hanya tubuhnya.
Tapi juga rahasia di balik air matanya. Luka yang disembunyikannya. Dendam yang mungkin belum selesai. Ketakutan yang tidak pernah dia akui.
Dan itu… membuat Maya jauh lebih berbahaya daripada siapa pun yang pernah masuk ke ranjangnya.
Adrian tahu, pria sepertinya tidak boleh punya titik lemah. Tapi pagi ini, dia sadar:
Titik lemahnya… kini sedang mandi di apartemennya.
Dan hari ini, ia harus menatap perempuan itu lagi — bukan di tempat tidur, tapi di meja rapat, sebagai klien. Dan ia harus memutuskan apakah akan menjaga batas itu… atau justru melanggarnya perlahan-lahan, malam demi malam.
Karena semakin ia mencoba menguasai Maya… semakin ia tak bisa menguasai dirinya sendiri.
kamu harus jujur maya sama adrian.