Mora mendapatkan tawaran menarik untuk menggoda pria beristri. Jika berhasil bayaran sejumlah 100 juta akan ia dapatkan.
Tapi ternyata tawaran itu sangat tidak mudah untuk Mora laksanakan. Pria yang harus ia goda memiliki sikap yang dingin dan juga sangat setia dengan sang istri.
Lalu apakah Mora akan berhasil merebut pria dari istrinya? atau bahkan justru hubungan mereka semakin dekat karna pria tertarik pada Mora?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madumanis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKS 9
Dan kini kedua kaki Mora sudah menginjak area lobby Perusahaan. Banyak mata memandang sinis Mora karena penampilannya hari ini.
“Lihat… dia hanya magang, tapi berani sekali berpakaian tidak sopan seperti itu.”
“Betul. Pamer body, dikira cantik apa ya begitu? Ihhh, najis.”
Banyak sekali cacian atau hinaan yang Mora dengar. Pastinya hinaan tersebut berasal dari para karyawan wanita yang iri pada posisinya saat ini.
Kalau karyawan pria menatapnya penuh damba. Karena kecantikan Mora yang tidak dapat dialihkan sedikit saja.
Tanpa ragu bahkan dengan penuh rasa percaya diri Mora mulai melangkah maju menuju pintu lift. Walaupun sepanjang langkahnya banyak tatapan tidak suka yang menyerang.
Mora memilih cuek saja. Ia memegang penuh akan tujuan besarnya, yaitu Adam. Merebut pria tampan nan setia itu dari istrinya yang maha sempurna.
Sekalipun Mora ragu akan rencananya hari ini, tetap saja ia merasa harus melakukannya. Jujur sebenarnya Mora merasa tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan saat ini.
“Huh,” Mora mengeluh pelan disaat sudah di dalam lift.
Tepat saat ingin menekan tombol lift Adam muncul. Terlihat jelas berjalan kearahnya, bukan untuk menghampiri Mora melainkan ingin menggunakan lift yang sama.
Dengan sengaja Mora menekan tombol lift sekalipun pandangannya mengarah pada Adam.
“Hei, tunggu,” Adam menahannya.
Wajah tampan Adam benar-benar berbeda hari ini. Biasanya wajah itu selalu saja berekspresi datar, tapi kali ini terlihat lebih segar dari yang biasanya.
Langkah Adam masuk. Berdiri disamping Mora yang tanpa henti terus saja menatapnya. Ia mengabaikan, memilih fokus pada pandangan lurus kedepan.
“Tuan, sarapan apa tadi?” tanya Mora disela keheningan tersebut.
Belum mendapatkan jawaban. Adam hanya sibuk dengan jam tangannya, lalu kembali fokus kearah depan.
Tangan Mora memegang erat tempat bekal yang sengaja ia bawa. Isinya hanya nasi goreng kampung kesukaannya.
Yang mana Mora berharap bisa menyantapnya bersama dengan Adam. Meskipun Mora tidak yakin Adam akan mau, tetap saja ia sudah mempersiapkannya.
“Hem, Tuan… aku tanya tadi, apa kau….”
“Tugasmu soal perusahaan, Kimora. Bukan soal aku sudah makan atau belum. Soal-soal sepele seperti itu sama sekali tidak masuk dalam urusan pekerjaanmu.”
Ucapan Adam memang terdengar pedas. Tapi sama sekali tidak untuk Mora, malah wanita itu hanya tersenyum tipis saja.
“Kalau aku tidak memastikan kau sudah makan atau belum… aku tidak bisa bekerja dengan baik, Tuan.”
Tepat pada saat itu pintu lift terbuka. Langsung saja Adam melangkah keluar untuk menuju lift, dan Mora mengikuti langkahnya dari belakang.
“Tuan… jika kau sudah makan pastinya segala pekerjaan bisa dilakukan dengan mudah. Aku hanya ingin kau dalam keadaan baik-baik saja agar….”
Omongan Mora terhenti karena Adam sempat meliriknya sangat tajam. Tidak lama karena pria itu sudah masuk kedalam ruangannya.
“Tidak masuk akal,” gumam Adam pelan disetiap langkahnya.
Awalnya Mora terdiam diambang pintu ruangan. Tapi tidak lama, karena kembali mendapatkan rasa semangat untuk membuat Adam memakan hasil masakannya.
Adam duduk dibangku kekuasannya. Saat itu Mora membantu membersihkan barang-barang yang berantakan di meja kerja.
Sama sekali Adam tidak melarang. Karena sibuk dengan laptopnya, menyalakan benda tersebut untuk cek email-email penting yang baru saja masuk.
“Tuan mau minum kopi?” tanya Mora dikala Adam mulai memperhatikan gerak-geriknya.
“Hem,” Hanya itu jawaban dari Adam.
Kata ‘hem’ dapat diartikan sebagai ‘iya’ oleh Mora. Dengan senyuman manisnya Mora mulai menuju pantry yang kebetulan berada tepat didekat ruangan.
Kepergian Mora dalam diam diperhatikan Adam. Pandangannya mengarah pada pintu ruangan yang terbuka, lalu melirik kearah meja kerja Mora.
Terdapat kotak bekal disana. Adam jadi teringat dengan pesan beruntun dari Mora yang menyerangnya kemarin malam.
“Dia benar-benar membawa bekal? padahal aku tidak ada mengiyakan, dari mana gadis ini mendapatkan keberanian?”
Adam menaikkan bahu saja tanda tidak perduli dengan ulah atau bahkan hal yang dapat dilakukan oleh Mora.
Dari pada memikirkan si pembuat ulah Adam lebih memilih fokus pada email penting yang harus ia periksa.
Tidak lama Mora datang dengan membawa secangkir kopi buatannya. Wajah cantik itu selalu saja tersenyum manis.
Mora meletakkan gelas kopi tersebut di meja kerja Adam.
“Ini kopinya, Tuan,” katanya.
Adam melirik kearah kopi tersebut. “Masih panas?”
Awalnya Mora bingung dengan pertanyaan Adam. Jelas saja panas, karena dirinya juga menggunakan air yang baru saja mendidih tadi.
“Kau ingin membakar lidahku?” tanya Adam lagi. Tapi diselingi dengan tatapan super mendominasi darinya.
Mata tajam bagaikan elang itu seakan menusuk jantung Mora. Akibatnya berdebar kencang tak karuan, Mora menelan ludah.
“Bukan… begini, aku menggunakan air yang baru saja mendidih tadi.”
“Cukup dengan air hangat saja. Hal sepele seperti ini kau bahkan tidak tahu?”
Mati sudah. Mora baru menyadari satu hal, bahwa Adam sangatlah cerewet jika berurusan dengan hal-hal sederhana.
“Apa Asher tidak ada mengajarimu? Atau dia….”
“Tuan mau yang hangat?” Mora menyela. Kalau terus saja membiarkan Adam bicara yang ada Mora akan terpojok.
Pria itu tidak menjawab pertanyaan Mora. Malah mengalihkan pandangan kearah laptopnya, lebih tepatnya Mora tengah diabaikan sekarang.
“Ah, baiklah…” Sekalipun Mora tidak tahu akan apa, ia memilih untuk mendinginkan kopinya dahulu.
Dengan penuh hati-hati Mora menuangkan sebagian kopi di piring kecil yang ia gunakan untuk membawa gelas tersebut.
Semua tindakan Mora sama sekali tidak dihiraukan oleh Adam. Pria itu sibuk memeriksa berbagai dokumen, membiarkan saja Mora mau melakukan apa atas kesalahan untuk hari pertama kerja.
Sementara Mora sibuk mengibaskan kopi yang berada dipiring dengan tangannya. Ia sesekali memandang kearah Adam, menyempatkan tersenyum meskipun sedikit saja.
“Sudah, coba minumlah, Tuan.”
Seketika pandangan Adam jatuh sempurna pada piring kecil yang Mora serahkan untuknya.
“Kau…?” Kepala Adam sakit memikirkannya. “Kau berpikir apa sampai-sampai berpikir membuatku minum dari piring kecil itu?”
Pertanyaan Adam hanya mendapatkan senyuman saja dari Mora.
“Tidak apa, Tuan. Cobalah, minum dengan cara seperti ini tidak akan membuat lidahmu terbakar karena kepanasan.”
Penjelasan Mora sama sekali tidak masuk akal baginya. Ia mengibaskan tangannya agar Mora menjauh darinya.
“Pergilah… aku tidak tahu kenapa Asher sangat yakin memilihmu bekerja sebagai sekretarisku,” ucapnya dengan nada ketus.