Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembangunan Perpustakaan
Peringatan selama tujuh hari kematian Pak Lilik telah selesai. Mama Adlan yang merupakan pemilik catering pamit kembali untuk mengurus pesanan acara pernikahan.
“Kalian berdua saling akur. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Mama.”
“Iya, Ma. Mama jaga Kesehatan, ya?”
“Iya. Adlan tidak perlu mengantar, Ani yang akan menjemput Mama.” Kata mama Adlan menghentikan anaknya yang akan bersiap.
Tak lama Ani datang dan Mama Adlan melambaikan tangannya masuk ke dalam mobil. Dinda membalas lambaian tangan mama mertuanya dan tersenyum.
Kepergian Mama Adlan tidak hanya membuat rumah menjadi sepi, tapi juga membuat canggung Dinda dan Adlan yang selama beberapa hari ini belum ada perkembangan dalam hubungan mereka.
“Kakak mau makan malam lauk apa?” tanya Dinda memecah suasana hening di ruang tamu.
“Apa saja.”
“Baiklah…” Dinda pergi ke dapur dan melihat bahan yang ada di kulkas.
Tepat sebelum adzan maghrib berkumandang, Dinda sudah menyelesaikan masakannya. Ia yang sudah bersuci segera mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat.
“Untuk apa Kakak kemari?” tanya Dinda yang terkejut dengan kedatangan Adlan di kamarnya.
“Sholat berjamaah.” Jawab Adlan santai sambil menggelar sajadahnya di depan sajadah Dinda.
Tanpa banyak kata, Adlan mengumandangkan iqomah dan mulai memimpin sholat. Dinda yang masih kikuk, mengikuti dan membaca niat sebagai makmum.
Selesai sholat, Adlan menyodorkan tangannya yang secara alami disambut Dinda yang mendaratkan ciuman di punggung tangannya. Ada rasa menggelitik di hatinya.
Memang bukan pertama kalinya, tetapi ini adalah kali pertama mereka sholat bersama dan Dinda mencium tangannya usai sholat. Sudah seperti pasangan suami istri pada umumnya.
Dengan naluri, Adlan mendaratkan kecupan di puncak kepala Dinda membuat si empunya menegang karena terkejut. Bagi Dinda, kecupan di puncak kepala dari Adlan adalah kedua kalinya. Yang pertama adalah saat dirinya menangis di pelukan Adlan.
Adlan memimpin dzikir dan kemudian berdiri dan melipat sajadahnya. Dinda juga melakukan hal yang sama, melipat mukena dan sajadahnya. Setelah kembali mengikat rambutnya, Dinda menyusul Adlan yang sudah menunggu di meja makan.
Keduanya makan malam bersama dalam diam. Tak tahan dengan kecanggungan mereka, Adlan buka suara setelah Dinda selesai merapikan meja makan.
“Malam ini, kita tidur bersama.”
Dinda yang mendengarnya menghentikan tangannya yang hendak mengambil air minum. Mau menolak, takut dosa karena Adlan adalah suaminya. Kalau tidak menolak, bagaimana Dinda harus bersikap?
Belum lagi, jika Adlan meminta haknya sebagai suami. Dinda belum siap.
“Tenang saja. Hanya tidur bersama untuk membiasakan diri. Aku tidak akan memintanya sebelum kamu siap.” Dinda merasa lega mendengarnya dan menganggukkan kepalanya.
Adlan tersenyum melihat reaksi Dinda. “Aku akan bersabar karena sesuatu yang dipaksakan tidak berakhir baik.” batin Adlan.
Malam itu keduanya tidur dalam satu ranjang, tetapi Dinda memunggungi Adlan. Sampai paginya, Dinda terkejut mendapati dirinya ada dalam pelukan Adlan.
“Selamat pagi.” Sapa Adlan saat Dinda berusaha melepaskan diri.
“Pa-pagi.” Adlan tersenyum dan bangun lebih dulu.
Pagi itu Dinda kembali kikuk menghadapi Adlan karena merasa dirinya yang mendatangi lebih dulu karena merasa kedinginan. Tanpa ia tahu, jika sebenarnya Adlan yang sengaja menarik tubuhnya ke dalam pelukannya.
“Kak, kepala sekolah setuju untuk meminta swadaya masyarakat. Apa Kakak mau ikut rapat?”
“Boleh. Kapan?”
“Nanti siang setelah anak-anak selesai sekolah.”
“Baiklah. Aku akan datang sekalian menjemputmu. Ayo berangkat!” Dinda mengangguk dan membonceng Adlan.
Tidak ada lagi yang membicarakan mereka berdua, tetapi masih ada yang tidak suka dengan pernikahan Dinda. Yang namanya hati manusia, tidak ada yang bisa mengendalikan atau menduganya.
Sesampainya di sekolah, Dinda mencium punggung tangan Adlan dan mengucap salam. Adlan memperhatikan Dinda dari kejauhan dan melihat istrinya bertemu dengan Gibran. Hati Adlan kembali merasa sakit saat melihat istrinya tersenyum dengan lepas di hadapan Gibran.
“Apa dia lebih menarik dari aku?” batin Adlan yang kemudian memutar motornya untuk pergi ke bengkel.
Siangnya, Adlan melajukan motor Dinda agar segera sampai di sekolah. Pekerjaan membuatnya lupa waktu, ia sampai lupa jika ada rapat sepulang sekolah. Untungnya ia sampai tepat waktu.
Rapat di pimpin oleh Pak Sholeh selaku kepala sekolah dan Gibran sebagai perwakilan yang menjelaskan kepada wali murid. Pengajuan perpustakaan mendapatkan sambutan baik dari wali murid dan kepala perangkat desa yang ikut hadir.
Mereka sepakat untuk memberikan sumbangan berupa tenaga, uang dan material. Kepala desa juga secara pribadi menyumbangkan batu bata satu rit untuk Pembangunan dan menyumbangkan kas desa.
Adlan yang sejak awal menyanggupi menyumbang pasir dan semen meminta wali murid yang bertanggung jawab sebagai pembangun, menghitungkan kebutuhan pasir dan semen agar dirinya bisa memesankan sesuai jumlah yang diperlukan.
“Terima kasih banyak, Pak Adlan. Saya sangat bersyukur atas bantuan Bapak.” Kata Pak Sholeh yang diangguki Pak Kades.
“Sama-sama, Pak. Sudah kewajiban saya sebagai suami untuk mendukung istrinya.” Gibran menegang mendengar keta-kata Adlan.
Gibran yang tidak tinggal di desa yang sama dengan Dinda, memang sempat mendengar Dinda sudah menikah. Tetapi ia tidak percaya karena Dinda tidak ada membahas pernikahannya atau mengenakan cincin pernikahan.
Selama ini ia mengira Adlan adalah kakak dari Dinda karena panggilan yang dilakukan. Sepertinya ia harus memastikan sesuatu.
Setelah rapat selesai dan sudah didapatkan rancangan Pembangunan, wali murid bubar dan sepakat untuk memulai pembangunan 2 hari lagi.
2 hari kemudian, material yang dipesan Adlan sampai tepat waktu. Adlan membagi pengiriman bahan menjadi 3 kali kirim, mengingat lahan yang terbatas. Para wali murid yang lain juga melakukan hal yang sama.
Tak hanya itu, ada juga wali murid yang mengajukan diri sebagai penyedia minuman dan camilan untuk tenaga pembangun, sehingga Pembangunan perpustakaan selesai dalam waktu sebulan dan satu minggu untuk pengecatan dan pemasangan rak, meja dan kursi.
Kepala sekolah mengadakan peresmian perpustakaan setelah buku bantuan dari Perusahaan sampai dan telah di tata rapi di rak yang disediakan.
“Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh wali murid dan donatur, sehingga Pembangunan perpustakaan ini berjalan lancar. Semoga menjadi amal jariyah dan bermanfaat untuk anak-anak.”
“Aamiin…” jawab semua orang.
Peresmian dilanjutkan dengan makan bersama. Kali ini Mama Adlan yang menjadi penyedia makanan, membuat kepala sekolah berterima kasih. Acara peresmian lancar, anak-anak berebut untuk masuk ke dalam perpustakaan dan mengantre untuk meminjam buku.
Sementara Dinda dan Ibu Maisyurah yang mengelola, sebelum ada orang yang mau bekerja sebagai pustakawan. Pembayaran akan diberikan dengan menggunakan dana bantuan operasional sekolah.