Entah kesalahan apa yang Malea lakukan, sehingga dia harus menerima konsekuensi dari ibunya. Sebuah pernikahan paksa, jodoh yang sang ayah wariskan, justru membawanya masuk dalam takdir yang belum pernah ia bayangkan.
Dia, di paksa menikah dengan seorang pengemis terminal. Tapi tak di sangka, suatu malam Malea mendapati sebuah fakta bahwa suaminya ternyata??
Tak sampai di situ, dalam pernikahannya, Malea harus menghadapi sekelumit permasalahan yang benar-benar menguras kesabaran serta emosionalnya.
Akankah dia bisa bertahan atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Malam ini cuaca tampak cerah, bintang di langit memancarkan sinarnya, dan bulan sabit seakan menambah kesan indah di angkasa sana.
Aku terduduk di kursi depan rumah, memainkan gawai sembari menunggu kepulangan Arga.
Sesekali sepasang netraku beralih ke mobil yang terparkir di depan rumah tetanggaku. Mobil mewah itu ada di sana sejak pagi hingga sekarang, mungkin Arga tidak membawanya.
Beberapa detik kemudian, aku kembali menatap layar ponsel yang ternyata aku baru sadar kalau aku belum menyimpan nomor ponsel pria itu.
Aku tidak bisa melakukan apapun, termasuk menghubunginya melalui telfon.
Aku hanya bisa menunggu.
Sampai kira-kira pukul sembilan malam, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah yang ku tempati ini, namun mobil itu berhenti hanya sesaat, mobil itu kembali melaju.
Entah milik siapa, tapi tak berapa lama kemudian ku lihat Arga berjalan menghampiri rumah kami.
Kalau boleh menebak, mungkin mobil yang berhenti tadi adalah mobil yang membawanya pulang. Dan karena dia tahu aku tengah duduk dia memilih turun agak jauh supaya aku tidak curiga.
Ya pasti tebakanku ini benar.
"Assalamu'alaikum" Suaranya lembut, bahkan mampu menggetarkan jantungku.
"Wa'alaikumsalam" Jawabku dingin.
Malam ini aku akan coba bicara dengannya.
"Oh iya, seharian ini, kamu kerja dimana?"
Ia menjawab dengan nada datar. "Di pasar, seperti biasa"
"Sebagai kuli panggul, sayuran?"
"Iya" Sahutnya lagi, tanpa membalas tatapanku yang tajam.
"Benarkah? Tapi bajumu bersih, tanganmu, badanmu, bahkan lebih bersih dariku"
Arga diam, tidak menjawab. Sepasang matanya menatap lurus ke dalam rumah yang pintunya memang sengaja tidak aku tutup.
Dan saat itulah aku berfikir, aku harus mencari tahu sendiri siapa sebenarnya pria yang sudah ku anggap pengemis, juga kuli panggul di pasar atau terminal bus itu.
Aku yakin pasti ada sesuatu yang besar yang ia sembunyikan dariku. Dan aku bersumpah aku akan segera tahu, aku akan membongkar semuanya.
"Aku masuk dulu" Katanya pelan. Dia langsung melangkah tanpa menunggu aku menyahut.
"Tunggu!" Cegahku.
Dia berhenti tepat di ambang pintu.
Aku bangkit dari dudukku, lalu berjalan mendekatinya.
"Aku baru sadar belum menyimpan nomor ponselmu. Boleh kamu menyimpannya untukku" Aku bertanya seraya menyodorkan benda slim di tanganku.
Dia bergeming, tak menerima sodoran ponsel dariku.
"Aku tidak punya ponsel, maaf"
"Nggak punya ponsel? Halloo... Ini zaman digital, bukan jaman purba, lap_" Aku menjeda kalimatku, meneruskannya dalam hati.
Laptop mahal saja punya, masa hape nggak punya? Mustahil!
Iya, kalimat terakhirku hanya bisa terucap dalam hati, sebab aku tidak ingin dia tahu bahwa aku sudah mengetahui sebagian rahasianya.
"Yakin kamu tidak punya ponsel?" Tanyaku menyelidik.
"Tidak" Jawabnya dengan suara rendah.
"Lalu bagaimana jika aku ingin menghubungimu? Bagaimana jika aku di rumah, lalu membutuhkan bantuanmu, siapa yang harus aku hubungi kalau kamu saja tidak memiliki ponsel?"
"Besok-besok aku akan membelinya, tunggu uangku terkumpul sedikit lebih banyak"
Aku tersenyum miring.
Masih bisa dia berpura-pura di hadapanku dengan ekspresi senatural itu?
Hebat, sungguh hebat.
"Aku masuk dulu" Pamitnya.
Aku lantas membiarkan di masuk.
Memejamkan mata, otakku berfikir keras.
Aku memang belum bisa menerima pernikahan ini. Terlepas dari siapa sebenarnya Argantara itu, aku sudah bisa terima kehidupan sederhana yang dia berikan. Aku akan tetap bertahan, bukan demi diriku sendiri, melainkan demi ibu. Namun rasa ingin terbebas dari pernikahan ini tetap ada di benakku. Entah kapan aku menyerah, yang jelas untuk sekarang aku ingin membongkar rahasia besarnya. Aku ingin tahu apa maksud dan tujuannya menyembunyikan identitasnya dariku.
Besoknya, aku melakukan aktivitas seperti biasa, bedanya pagi ini aku tidak sesibuk sebelumnya, tidak terburu-buru seperti pagi-pagi sebelumnya, sebab aku sudah tidak lagi pergi ke kantor.
Aku sedang mencoba mengirim CV pribadiku ke beberapa perusahaan, aku tidak bisa jika harus menganggur apalagi dalam waktu yang lama, sungguh tidak terbiasa.
Saat tengah mengaduk sayur asem yang hampir mendidih, mendadak ku dengar suara Arga dari balik punggungku.
"Kamu tidak bersiap ke kantor? Ini sudah pukul tujuh lebih" Katanya.
Tanpa menoleh, aku menjawab.
"Aku sudah tidak bekerja lagi, aku di pecat"
Entahlah, seperti apa ekspresi Arga, yang jelas ketidakresponnannya itu memantikku menoleh ke belakang untuk mencari tahu seperti apa reaksinya.
"Kenapa diam? Kamu terkejut?"
"Tidak" Dia berjalan ke arah meja makan, lalu menuangkan air ke dalam mug miliknya. "Kalau boleh berpendapat, dan jika kamu tidak keberatan, lebih baik kamu tetap tinggal di rumah. Biar aku yang bekerja!" Ucapnya, sebelum kemudian meneguk air dari dalam mug.
Aku terdiam sambil menatapnya dalam-dalam.
"Biaya hidupku tidak cukup dengan uang delapan puluh ribu sehari, aku sudah_"
"Kamu harus terbiasa hidup seperti ini"
"Apa maksudmu memotong kalimatku?" tanganku terulur mematikan kompor karena sayur asem yang tengah ku masak sudah mendidih dan matang.
"Tidak semua apa yang kita miliki bisa bertahan selamanya, seperti pekerjaanmu, misalnya. Akan ada waktunya kita kehilangan, dan tentu saja kita harus mengikhlaskannya. Aku berharap kamu bersedia tetap tinggal di rumah, menjadi ibu rumah tangga pada umumnya"
"Belajarlah hidup apa adanya, jika sudah terbiasa dan ridho, kamu pasti menikmatinya"
"Tapi bagaimana aku mengatur uang seratus ribu dimana harus ada sisa dua puluh ribu sehari. Ini konyol"
"Kamu pasti bisa" Setelah mengatakan itu, Arga langsung pergi ke kamar mandi di dekat dapur.
Aku menatapnya sinis, benar-benar heran dengan cara berfikirnya.
"Lihat saja, cepat atau lambat, aku akan kembali bekerja" Gerutuku, lalu menata hasil masakanku di atas meja makan.
****
"Kamu tidak pergi ke pasar?" Tanyaku datar.
Saat ini kami tengah menikmati sarapan berdua. Hal yang jarang sekali kami lakukan.
"Aku libur hari ini"
"Aku saranin kamu datangin ibu, dan memintanya untuk bekerja di toko bangunan peninggalan ayah. Dari pada bekerja di pasar, lebih baik bekerja di tempat sendiri"
"Terimakasih tawarannya, tapi aku lebih suka berusaha sendiri, maaf"
"Itu akan menjadi pekerjaan yang lebih baik buatmu"
"Tidak ada yang lebih baik dari hasil kerja keras sendiri. Aku tidak suka memanfaatkan kesempatan"
"Ckck keras kepala, sok yes, tapi zonk" Desisku lirih.
Suasana berubah sunyi. Tidak ada yang bersuara di antara kami. Kami makan dalam diam, di iringi suara dentingan sendok yang beradu di atas piring.
Beberapa menit kemudian, Arga menyerukkan suaranya.
"Di belakang rumah aku berkebun, ada cabai, terong, kangkung hidroponik, tomat, selada, ada pare juga. Berhubung kamu tidak bekerja, tolong bantu aku menyiramnya jika aku tidak sempat"
"Aku berkebun?" Responku kaget.
"Nggak salah, Malea. Lumayan bisa menghemat uang. Kamu bisa memasak sayuran hasil kebun kita sendiri, itu lebih sehat karena tanpa pupuk buatan pabrik. Hanya beli lauknya saja sama bumbu dapur sudah cukup"
Apa aku tidak salah dengar?
Dia membawa seorang Malea hidup di zaman neneku?
Primitif sekali pemikirannya.
"Aku sudah selesai" Pungkasnya membuat atensiku meliriknya. "Aku akan ke belakang memetik sayuran. Ku lihat kemarin ada beberapa tomat cabai dan terong sudah bisa di petik. Kalau mau, kamu bisa menyusulku melihat kebun sayuranku"
Bersambung
masih pengen di peyuk2 kan sama Arga
hormon bumil tuh Dede utunya masih pengen di manja2 sama ayah nya,,
kebat kebit ga tuh hati kmau
Ayo thor lanjut lagi yg byk ya...penanasaran bgt kelanjutannya...
kenapa ga jujur aja seh.
tapi Lea takut ngomongnya,takut ga di akui sama mas arga
ayo Lea jujur aja aaah bikin gemes deeh