Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA9
"Ibu!" ucap Adly kebingungan.
"Udah, kamu tenang aja di situ. Jangan ribut!"
"Dengan satu syarat," timpal Alan tegas.
Semua langsung terdiam. Ketegangan meliputi ruangan.
"Lanjutkan, Jacob," perintah Alan.
Jacob maju selangkah, membuka berkas digital selanjutnya pada tabletnya.
"Apabila salah satu dari keluarga Bagas Kusuma menyebarkan fitnah sebagai pencemaran nama baik Tuan Alan Andrew ataupun keluarga Maya, maka kami akan mengambil tindakan tegas: menembak mati Adly Hanif sebagai jaminan kesepakatan ini. Kami memiliki intelijen cyber yang memantau semua percakapan online. Semua hadiah akan diberikan atas nama Adly Hanif. Jika perjanjian ini ditandatangani, maka tidak bisa dibatalkan atau diubah."
Jacob menyodorkan tablet kepada Adly.
Meskipun jumlah hadiah itu sangat besar, baik Bagas maupun Adly tampak ragu penuh resiko.
Namun Ratih tak bisa menyembunyikan wajah girangnya. "Rahasia aman terkendali, Tuan!" ujarnya dengan cengengesan, membayangkan hidup mewah sudah di depan mata.
"Ayo cepat tanda tangan!" desak Ratih penuh semangat.
"Tapi, Buk..."
"Sudah, ayo! Kapan lagi kamu dapat kesempatan emas seperti ini?"
Desakan sang ibu membuat Adly akhirnya menyerah dan menandatangani kesepakatan secara digital. Jacob segera mengambil kembali tabletnya.
Alan tahu Maya sedang memandanginya dengan tatapan penuh amarah. Tapi alih-alih merasa bersalah, pria itu malah tersenyum tipis penuh kemenangan.
"Tapi, Buk… bukannya tadi kalian ingin melamar Maya?" suaranya gemetar menahan tangis.
Dahi Alan berkerut cemburu dan bergumam dalam hati : "bisa-bisanya dia malah mewek?"
"Maaf ya Nak Maya. Kan belum ada kesepakatan resmi diantara kita. Lagipula Adly juga butuh masa depan yang lebih cerah," jawab Ratih enteng.
"Kalian benar-benar tidak bisa dipegang omongannya!" Ayah Maya, Ardi berdiri menghardik keluarga Bagas.
"Oo… maafkan kami, Ardi, Maryam. Kami hanya mendahulukan masa depan Adly. Semoga Maya bisa dapat pengganti yang lebih baik dari Adly," ujar Bagas mencoba meredam.
"Tentu saja," gumam Alan dengan senyum sinis nya. Tentu dirinya jauh lebih ok daripada calon suami Maya
"Kau tidak bisa seenaknya begini, Bagas!" teriak Ardi masih tidak terima.
"Lagi pula, apa salahnya? Kami sebagai orang tua cuma ingin yang terbaik buat anak kami!" ujar Ratih mulai bersikap dingin.
Situasi makin memanas. Jacob segera memotong perdebatan itu, "Karena kesepakatan sudah sah, silakan keluarga Bagas Kusuma melihat rumah dan mobil baru yang telah kami siapkan. Supir kami akan mengantar kalian."
"Ayo... ayo!" seru Ratih menarik tangan Adly dan mengapit lengan suaminya. Wajahnya berseri-seri tak sabar ingin melihat rumah dan mobil baru yang dijanjikan, penuh antusiasme seperti anak kecil yang ingin cepat tiba di taman bermain.
Kini, yang tersisa hanyalah keluarga Ardi, Alan, Jacob, dan dua pengawal.
Ardi menunjuk Alan dengan penuh amarah. "Hei anak muda! Apa maksud kedatanganmu mengacaukan acara ini!" tantang Ardi dengan mata melotot.
Alan berdiri tegap. "Kenapa Bapak tidak bertanya langsung kepada putri Bapak, apa yang sebenarnya terjadi?"
Maya mendekati Alan. Suaranya rendah tapi tajam.
"Bukankah kau bisa dengan mudah mencari wanita lain? Kenapa kau terus mengikuti ku sampai ke sini?"
“Karena kontrakmu memuaskan hasratku belum selesai, Sayang,” ucap Alan angkuh, gengsinya meluap.
Tanpa pikir panjang, Maya menyiram wajah Alan dengan segelas air putih. Alan terkejut, buru-buru mengusap wajahnya yang basah.
Dua pengawal bersiap menarik Maya, tetapi Alan mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka mundur.
Maya menangis, memukuli dada Alan dengan emosi yang meledak.
“Hiks… Alan…” isaknya.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
“Kembali ke Jakarta. Kita hidup bersama lagi," jawab tegas Alan.
“Kau kejam, Alan! Aku hanya ingin hidup damai!”
Tiba-tiba suara lantang memotong percakapan mereka.
“Aku tidak ingin terlalu banyak drama di antara kalian. Katakan apa sebenarnya hubungan kalian!” bentak Ardi dengan kemarahan yang meledak.
“Aku adalah kekasih Maya. Kami...”
Belum sempat Alan menyelesaikan kalimatnya, Maya cepat menutup mulut Alan dengan tangan. Alan berusaha melepasnya, dan keduanya saling tarik menarik seperti dua anak kecil bermain pura-pura.
Maya jelas belum siap membuka aib mereka di depan orang tuanya. Tingkah mereka membuat Jacob nyaris tertawa. Ia hanya bisa menggeleng, bertanya dalam hati, "Bagaimana Alan bisa terlibat dalam hubungan serumit ini?"
“Maya!” bentak sang ayah.
Keduanya spontan terhenti. Maya buru-buru menurunkan tangannya dari wajah Alan.
“Biarkan dia bicara! Kami keluargamu berhak tahu kebenarannya!”
Maya terduduk lemas, tubuhnya gemetar.
Ardi menatap Alan tajam, memberi ruang untuk menjelaskan.
Alan menarik napas dalam-dalam. “Aku dan Maya sudah tinggal bersama selama enam bulan… tanpa ikatan pernikahan. Hubungan kami seperti suami istri.”
“Apa?” Ardi, Maryam, dan Roy terkejut bukan main.
“E-eh, maksudnya bukan begitu, Pak…” Maya panik, mencoba meralat.
“Maya!” bentak Ardi lebih keras. Tubuh Maya dan Alan langsung mematung.
“i...Iya, Pak...” sahut Maya gugup.
“Benar atau tidak?”
“Apa perlu aku tunjukkan videonya?” sahut Alan, membuat Maya tambah geram.
“Jawab, Maya! Bapak bertanya padamu!” tegas Ardi.
Maya terduduk pasrah. Rahangnya bergetar, matanya berkaca-kaca. Ia akhirnya menangis dan mengangguk pelan.
“Maafkan Maya, Pak…”
“Ma…ya…” Maryam terisak lirih. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat. Ia nyaris tak percaya, putri yang mereka besarkan dengan nilai agama dan moral, kini melakukan perbuatan keji.
Ardi menggeleng pelan. Luka batin itu menancap dalam, mencabik harga diri sebagai seorang ayah.
“Kedatanganku ke sini,” ucap Alan, “untuk membebaskan Maya dari pria yang tidak layak dan calon mertua yang hanya peduli uang. Apa kalian pikir kedepannya, Maya akan bahagia. Aku ingin membawanya kembali ke Jakarta.”
“Kau mencintai putriku?” tanya Ardi, tatapannya menusuk mata Alan.
Alan sempat terdiam, melawan gengsinya sendiri. “Ya,” jawabnya tegas.
“Kalau begitu… akan aku nikahkan kalian sekarang juga!” tukas Ardi dengan nada menghentak.
Alan mengangkat bahu, sikapnya acuh.
“Maaf. Aku alergi dengan ikatan kuno seperti pernikahan. Terlalu kolot. Pernikahan tidak menjamin kebahagiaan.”
Tangan Ardi mengepal kuat. Wajahnya memerah.
“Jadi, kau ingin membawa putriku untuk kau zinai sesukamu? Kumpul kebo? Setelah kau bosan kau akan mencampakkannya,” gigi-gigi Ardi merapat geram.
“Dan semua itu tidak gratis. Ada keuntungan besar yang akan kalian peroleh. Aku akan jadikan kalian keluarga terkaya di kota ini. Pak Ardi mau jabatan? Camat, walikota, bahkan bupati? Semua bisa diatur," jawab santai Alan membanggakan kekayaannya.
“CUKUP!!” teriak Ardi. Suaranya menggema ke seluruh rumah.
“Aku membesarkan Maya dengan air mata, menyekolahkannya dengan susah payah… agar dia menjadi manusia waras bukan seperti mu!” hardik Ardi membuat Alan tidak terima.
Pria itu melangkah lebih dekat, menatap Ardi dengan ejekan.
“Jangan pura-pura suci, Pak Ardi. Kau bisa beli kebun, rumah, kendaraan itu semua dari hasil kerja keras Maya... di ranjang. Artinya, kau juga menikmati hasil maksiat putrimu. Kita semua munafik di mata Tuhan!”
"Maryam menahan isak tangis yang nyaris pecah, hatinya tercabik antara rasa hina dan kecewa yang begitu dalam."
"Ibuk!" saut Maya mencoba mendekat, namun Maryam berlari masuk ke kamar.
“Akan ku kembalikan semua hartamu!” seru Ardi kepada Alan.
Alan tersenyum sinis.
“Keluar! Keluar dari rumahku!” bentak Ardi sekeras mungkin.
Alan melangkah pergi tanpa ekspresi, diikuti Jacob dan para pengawal.
Ardi memegang dadanya, napasnya tersengal. Wajahnya pucat. Ia mulai limbung.
“Bapak!” Roy dan Maya segera menopangnya. Tapi Ardi menepis tangan Maya, memilih bersandar pada Roy.
“Roy… antar Bapak ke kamar,” bisiknya.
“Bapaaaak! Maafkan Maya, Pak!!” Maya berteriak histeris, tubuhnya terjatuh. Tangisnya pecah, seakan tak ada ruang lagi dalam dadanya menahan sesal yang menggila.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga