Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan Yang Tak Teratasi
Kevin menghela napas panjang sambil memandang sekeliling apartemennya yang berantakan. "Aku benar-benar payah dalam segala jenis pekerjaan rumah tangga," gumamnya sendiri. "Tapi yang paling parah adalah urusan bersih-bersih."
Pikirannya melayang ke kemampuan memasaknya yang payah. "Memasak? Aku bisa saja," ujarnya sambil menyeringai, "kalau definisi memasak adalah terluka dan menghasilkan makanan yang tampilannya mengerikan dengan rasa yang lebih buruk lagi."
Dia mengangguk-angguk sendiri. "Secara teknis aku bisa memasak, kalau yang dimaksud cuma memanaskan makanan dan memaksanya masuk ke perut." Tiba-tiba wajahnya berkerut. "Tapi hasilnya pasti akan terlihat tidak menggugah selera dan rasanya tidak karuan."
Dengan gerakan cepat, Kevin menggelengkan kepala. "Tentu saja, aku nggak berniat memasak atau makan makanan seperti itu. Aku juga nggak akan pernah mencoba melakukannya."
Matanya beralih ke tumpukan baju kotor. "Paling tidak aku masih bisa mencuci pakaian," katanya lega. "Kalau nggak, mungkin aku sudah nggak bisa bertahan hidup."
Kevin teringat tempat laundry dekat apartemen. "Dalam skenario terburuk, ada tempat laundry koin di dekat sini," ucapnya sambil membayangkan. "Aku tinggal masukin pakaian kotor, tambah deterjen dan air, lalu biarkan mesin bekerja." Dia mengangguk puas. "Dengan cara itu, pakaianku tetap bisa bersih."
Tapi pandangannya kembali ke lantai yang penuh barang berserakan. "Tapi urusan membersihkan rumah?" Suaranya terdengar putus asa. "Itu sama sekali di luar kemampuanku."
"Aku harus mulai dari mana ya?" keluhnya sambil menyisir rambut dengan jari-jarinya.
Hari itu adalah hari libur. Kevin teringat desakan Cindy dan Revan. "Mereka terus mendesakku untuk membereskan apartemen," bisiknya. Akhirnya dia memutuskan untuk mulai membersihkan, tapi begitu berdiri di tengah ruangan, wajahnya langsung pucat. "Aku sama sekali nggak tahu harus mulai dari mana."
Dia menatap kekacauan di depannya. "Ini sepenuhnya salahku sendiri," aku Kevin dengan jujur. "Tapi kekacauan ini... parah banget sampai aku bingung bagaimana memulainya."
Untuk mengawali, dia memutuskan mencuci selimut kasurnya dulu. "Setidaknya ini bisa kukerjakan," gumamnya sambil menjemur selimut di balkon.
Tapi setelah itu... Kevin kembali bingung. "Sekarang apa lagi?" matanya memandang sekeliling ruangan.
Pakaian dan majalah berserakan di mana-mana. "Lantainya hampir nggak kelihatan," keluhnya. "Nyaris nggak ada tempat untuk menginjak."
Dia mengambil napas dalam-dalam. "Satu-satunya hal positif adalah sampah makanan selalu langsung kubuang karena takut bau." Kevin mengendus-endus udara. "Jadi setidaknya nggak ada noda minyak atau bau busuk di apartemenku." Tapi kemudian bahunya turun. "Tapi selain itu... kondisinya tetap mengerikan."
Kekacauan inilah yang paling membuatnya frustrasi. "Aduh..." erangnya panjang.
Tiba-tiba bel pintu berbunyi. "Ah!" serunya gembira.
Di depan pintu pasti ada tamu yang dikenalnya. Dalam hati, Kevin membayangkan sosok kurir pengantar. "Malaikat penyelamat!" pikirnya penuh harap.
Dia buru-buru menuju pintu, tapi kakinya tersandung tumpukan majalah. "Aduh!" teriaknya hampir jatuh. Tangannya harus berpegangan pada dinding saat membuka pintu.
Di depan pintu, Cindy berdiri dengan ekspresi bingung. "Maaf, aku datang untuk mengambil kotak makan terakhir..." suaranya terhenti saat melihat keadaan Kevin. "Apa yang sedang kamu lakukan?"
Kevin merapikan bajunya yang kusut. "Bersiap-siap... untuk bersih-bersih," jawabnya dengan suara tidak yakin.
Cindy memandangnya dari atas ke bawah, lalu melihat ke dalam apartemen. "Kupikir ada suara tabrakan tadi," katanya dengan nada datar.
"Aku hampir jatuh," Kevin malu-malu.
"Begitu rupanya." Mata Cindy yang tajam mengamati interior apartemen di belakang Kevin. "Kamu belum mulai membereskan, ya?"
Kevin menggaruk kepala. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Cindy menghela napas. "Sudah kuduga."
Wajah Kevin berkedut mendengar komentar blak-blakan Cindy. Dia ingin membantah, tapi tahu itu tidak ada gunanya. "Kalau sampai berdebat, aku benar-benar nggak akan tahu cara memulai pembersihan," pikirnya dalam hati.
Tapi kemudian dia bingung. "Bagaimana cara meminta bantuannya ya?"
Kevin ingin minta tips bersih-bersih pada Cindy, tapi ragu apakah gadis itu mau membantunya. Matanya memandang Cindy dengan harap-harap cemas, sementara Cindy melihat ke belakangnya, ke arah pintu masuk yang berantakan.
"Wah..." Mata Cindy membelalak melihat kekacauan di dalam. Hanya dari pintu masuk saja sudah terlihat mengerikan.
"Ya Tuhan..." bisik Cindy pelan. "Izinkan aku membersihkan seluruh apartemen ini."
Kevin terkejut. "Hah?"
Awalnya dia hanya berniat meminta tips. "Akan sangat tidak sopan kalau langsung minta Cindy membantuku membersihkan," pikirnya.
Tapi dia sama sekali tidak menyangka Cindy akan langsung menawarkan bantuan.
Cindy menggeleng-geleng. "Sungguh tidak tertahankan membayangkan tetangga punya kamar sekotor ini," ujarnya dengan nada datar.
Kevin hanya bisa terdiam. "Kata-katanya selalu blak-blakan," pikirnya. "Lagipula itu benar, dan aku nggak punya alasan untuk membantah."
"Dan kamu tinggal sendiri tapi tidak bisa urus rumah tangga?" Cindy melanjutkan dengan nada menasehati. "Aku yakin kamu setiap hari berpikir optimis ah nanti juga terbiasa." Tangannya menunjuk ke dalam. "Sekarang kamu bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Coba renungkan sedikit gaya hidupmu."
Kevin menunduk. Dia tidak bisa membantah.
"Ibuku pernah bilang kalau aku rajin sedikit-sedikit membersihkan, pasti tidak akan segini parahnya," ingatnya dalam hati. "Tapi aku selalu menunda-nunda, dan inilah hasilnya. Aku menuai apa yang aku tabur."
Cindy sepertinya bisa membaca pikirannya. "Lagipula ini tidak akan terjadi kalau kamu rajin bersih-bersih setiap hari," katanya tegas. "Ini akibat kemalasanmu sehari-hari."
Kevin mengangguk pelan. "Kamu benar."
Salah satu alasan Kevin tidak marah meski diceramahi begini adalah karena Cindy selama ini sudah merawatnya. "Aku berhutang budi padanya," pikirnya. Selain itu, Cindy benar-benar memahami pola pikir dan kebiasaannya.
"Semua berakhir seperti ini karena aku selalu menunda," aku Kevin dalam hati. Dia hanya bisa mengangguk pelan mendengar kata-kata Cindy.
Tiba-tiba Cindy bersuara. "Boleh aku membersihkan apartemenmu?"
Kevin terkejut. "Beneran mau bantu?"
Cindy mengangguk pasti. "Tentu, aku yang menawarkan." Dia melihat sekeliling. "Aku akan mulai persiapkan. Kamu sebaiknya mengunci atau menyimpan barang-barang pribadi yang tidak ingin dilihat orang."
Kevin tersenyum kecut. "Tidak perlu khawatir soal itu."
Meski kata-katanya tajam, Kevin tahu Cindy sungguh-sungguh menawarkan bantuan. "Aku juga nggak khawatir dia akan mencuri apa-apa," pikirnya.
"Bagaimanapun, Cindy adalah tipe orang yang selalu ikut campur tapi sangat patuh pada norma," Kevin merenung. "Tidak mungkin dia akan menyakiti orang lain."
Tiba-tiba Cindy bertanya. "Kamu tidak khawatir?"
Kevin menggeleng. "Kamu bukan tipe orang yang melakukan hal buruk."
Cindy menyeringai. "Bukannya kamu harusnya khawatir aku akan melihat barang-barang memalukan milik cowok?"
Wajah Kevin memerah. "Maaf mengecewakan, tapi aku nggak punya koleksi semacam itu."
"Baiklah kalau begitu." Cindy mengangkat bahu. "Aku akan ganti baju dan bawa peralatan bersih-bersih." Matanya berbinar tekad. "Aku akan membereskan apartemen ini sampai bersih."
Kevin hanya bisa tersenyum masam melihat Cindy berbalik dan kembali ke apartemennya. Dia berdiri di depan pintu, memperhatikan sosok Cindy yang pergi sambil menggeleng-geleng. "Dia benar-benar berbeda dari orang lain," gumamnya pelan.