seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Angin sore di lembah mulai berubah arah. Udara yang semula tenang kini terasa menegang, seolah ikut menahan napas.
Fei Rong maju lebih dulu.
Tangannya mengepal kuat, dan dari dalam tubuhnya muncul cahaya keemasan yang menyelubungi kedua lengannya. Bentuknya perlahan menebal, memadat, dan akhirnya membentuk sepasang sarung tangan tempur berwarna emas, seperti dilapisi logam yang hidup.
"Akar spiritual: Tangan Emas Penumbuk."
Langkahnya mantap, tubuhnya condong ke depan, siap menerjang.
Zhou Lan mengayunkan tangan kanannya.
Dari balik udara, muncul sebuah tombak panjang berwarna biru kehijauan, dengan ujungnya seperti sisik ular air, ramping dan lentur. Tubuh Zhou Lan dipenuhi aura ketenangan, tapi dari tatapannya terlihat tekad yang tak kalah keras.
"Spiritual Tombak, jurus andalanku di masa lalu. Hari ini, aku akan buat orang ini tersungkur."
Chen Mo berteriak kecil, lalu mengayunkan kedua tangannya.
Dari punggungnya, menyembul dua bilah pedang ringan yang tampak menyatu dengan tubuhnya. Ia memutar tubuhnya satu kali, lalu mengambil posisi kuda-kuda.
"Gaya Kembar Angin Retak. Jangan remehkan aku hanya karena aku pendek!"
Dan terakhir…
Miya menarik napas panjang.
Dari balik punggungnya, muncul busur panjang dengan tarikan energi ungu. Jari-jarinya lentik membentuk satu panah tipis dari cahaya, dan ujungnya bergerak perlahan di udara… mengarah tepat ke jantung Li Jiu.
Rynz hanya berdiri di belakang, menyaksikan semuanya.
Lengan kirinya tetap tersembunyi dalam balutan kain. Ia tidak mengeluarkan kekuatan apa pun.
Li Jiu berdiri tenang di tengah lapangan.
Tak ada senjata di tangannya. Tak ada aura mencuat dari tubuhnya.
Namun wajahnya tetap tak berubah. Tidak sombong. Tidak gugup. Hanya… biasa saja.
Lu Ban duduk di sisi lapangan, menyilangkan kaki dan menatap semua itu dengan sorot mata tajam, namun diam.
Lalu, dalam satu detik berikutnya—
Fei Rong menerjang.
Tinjunya yang dilapisi emas menghantam langsung ke arah kepala Li Jiu dengan kecepatan yang membuat udara berdesing.
"HAAAAA!!"
Tapi…
"TAP."
Dengan satu gerakan pelan, Li Jiu hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Pukulan itu lewat di sisi telinganya, nyaris menyentuh, tapi tidak kena.
Dan tanpa mengangkat tangannya,
Li Jiu mengayunkan lututnya ke perut Fei Rong.
"BUK!!"
Tubuh Fei Rong terangkat dari tanah, lalu terpental ke belakang, menghantam tanah dan berguling dua kali sebelum berhenti dengan napas tercekat.
"Satu tumbang," ucap Li Jiu pelan.
Zhou Lan langsung menusukkan tombaknya dari sisi kanan, bersamaan dengan Chen Mo yang menyerbu dari kiri dengan dua pedangnya. Miya sudah menarik tali busur, dan—
Tiga arah serangan…
Tiga gaya berbeda…
Satu lawan berdiri sendiri.
Sementara pertarungan di tengah lapangan berlangsung panas,
Lu Ban tetap duduk diam di atas batu panjang, satu kaki menyilang di atas lutut, tangan bersandar santai di lututnya. Tatapannya tertuju pada Li Jiu yang kini dikepung dari tiga arah.
Namun alih-alih tegang, ia justru berbicara pelan. Suaranya tenang, namun terdengar jelas di seluruh halaman. Seolah suara itu membawa kekuatan sendiri yang tak bisa diabaikan.
"Di dunia ini," ucapnya, "roh spiritual terbagi menjadi tiga jenis utama."
"Pertama, roh senjata—bentuknya pedang, tombak, busur, bahkan perisai."
Pandangan matanya melirik Chen Mo, Zhou Lan, dan Miya yang masing-masing menggunakan roh senjata mereka.
"Mereka yang mendapatkannya biasanya memiliki kedekatan dengan teknik bela diri dan seni bertarung."
"Kedua, roh binatang—makhluk hidup yang menyatu dengan jiwa pemiliknya.
Roh ini lebih sulit dikendalikan, namun bisa berkembang seperti tubuh hidup, dan kekuatannya naik seiring pertumbuhan batin."
"Dan terakhir, roh elemen—yang mengalir seperti api, petir, angin, atau air.
Roh jenis ini paling jarang muncul… karena tidak memiliki bentuk fisik tetap, namun bisa menghancurkan dalam skala besar."
"Dan di atas semuanya itu…
**ada tingkatan."
"Rendah, Menengah, Tinggi… dan Langit."
Suara Lu Ban merendah ketika mengucapkan yang terakhir.
Dan saat itulah…
"ZRAAAKKK!!"
Angin tiba-tiba berputar di sekitar Li Jiu.
Tanpa bergerak, tubuhnya dikelilingi pusaran lembut, dan…
Seekor serigala muncul dari balik tubuhnya.
Bukan sembarang serigala.
Tubuhnya ramping, tinggi setara pinggang orang dewasa. Seluruh bulunya berwarna hijau zamrud, transparan seperti angin padat. Matanya menyala biru kehijauan. Dan dari kakinya, jejak langkah yang ia tinggalkan tampak mengoyak tanah ringan seolah tak menyentuh permukaan.
"Itu…" bisik Zhou Lan dengan suara tercekat.
Lu Ban menjawab pelan,
"Spiritual binatang, Kelas Menengah-Tinggi.
Serigala Angin Lembah Timur.
Milik Li Jiu… murid pertamaku."
Serigala itu mengaum pelan. Bukan suara keras, tapi hembusan panjang seperti angin musim gugur yang menusuk kulit.
Li Jiu membuka mulutnya untuk pertama kali selama pertarungan.
"Kalian bertiga belum pantas menghadapku tanpa mengerti perbedaan antara teknik dan kekuatan."
Dan dalam satu langkah…
ia dan serigalanya bergerak bersamaan.
Saat Li Jiu dan Serigala Angin itu bergerak, udara seolah terkoyak. Hembusan kencang menyapu ke depan, dan sebelum pedang Chen Mo atau tombak Zhou Lan sempat menyentuh sasaran, tubuh mereka terangkat lalu terpental ke belakang seperti daun diterpa badai.
"AAAGHH!!"
Zhou Lan menghantam pohon kecil, tubuhnya terguling dua kali sebelum terhenti.
Chen Mo tergelincir jauh, kedua pedangnya terlempar dari genggaman.
Fei Rong yang sudah berdiri setengah bangkit kembali roboh, dadanya sesak akibat serangan sebelumnya. Kini hanya satu orang yang masih berdiri…
Miya.
Dia menggigit bibir, mata fokus, tangan tetap menegang menarik busur yang sudah ditarik penuh. Tatapannya tidak gentar, tapi tubuhnya sedikit gemetar.
Serigala itu tidak hanya kuat. Tapi cepat. Dan seolah tahu ke mana mereka akan menyerang.
Sementara itu, Rynz masih berdiri paling belakang.
Tubuhnya kaku. Matanya memperhatikan segalanya dengan cermat.
Dalam hati, ia bergumam:
"Orang itu terlalu cepat… bahkan dengan dua orang menyerangnya dari dua sisi, dia tetap bisa menghindar sambil menyerang balik."
"Apa aku harus ikut?"
Ia melirik ke tangan kirinya yang masih terbalut kain. Perban itu terasa dingin, diam tak bergerak. Sejak kejadian di hutan, kekuatan itu belum muncul lagi. Dan sekarang…
ia ragu.
"Kalau aku maju dan gagal…
aku bukan hanya akan mempermalukan diriku.
Tapi juga memperlihatkan sisi yang belum siap kulihat sendiri."
Sementara itu di lapangan, Li Jiu kini berdiri menghadap Miya.
Serigala di sampingnya tidak menyerang. Hanya berdiri, diam, namun mata hijaunya menyala—menandakan bahwa satu langkah lagi bisa berarti kekalahan total.
Miya menarik nafas…
lalu melepaskan anak panah itu.
"WUSHH!!"
Anak panah energi melesat, tajam, akurat, menuju jantung Li Jiu.
Namun…
Anak panah itu melesat menembus udara dengan suara tajam. Cahaya ungu yang mengelilinginya menciptakan lintasan yang jelas—lurus, cepat, dan mematikan. Sebuah serangan yang tak bisa dianggap remeh, bahkan oleh kultivator berpengalaman.
Namun Li Jiu tidak bergeming.
Tubuhnya tidak bergerak sedikit pun.
Dan saat anak panah itu tinggal beberapa jengkal dari dadanya...
"CRAKK!!"
Dengan satu gerakan secepat kilat, tangannya terangkat—murni tanpa bantuan roh binatangnya—dan mematahkan anak panah itu tepat di udara.
Serpihan energi ungu beterbangan.
Sisa kekuatannya menghilang seperti asap yang tertiup angin.
Miya tertegun.
Tangan kanannya masih menegang dalam posisi menembak, tapi matanya melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Li Jiu melangkah maju satu langkah.
Serigala angin di sampingnya menggeram pelan, namun tidak bergerak.
Tak perlu. Pemiliknya bisa menyelesaikan ini sendiri.
"Busurmu tajam. Fokusmu stabil. Tapi hatimu… masih ragu."
Seketika tubuh Miya kehilangan kekuatan.
Ia mundur setapak, lalu jatuh terduduk.
Tidak karena luka. Tapi karena mentalnya runtuh.
Empat orang murid… tumbang.
Hanya tersisa satu orang di lapangan itu yang belum bergerak sama sekali.
Rynz.
Semua mata kini perlahan beralih padanya.
Li Jiu menoleh, matanya tenang. Tidak meremehkan. Tapi juga tidak tertarik.
Lu Ban berbicara dari tempat duduknya:
"Dan sekarang, kau yang tersisa."
Rynz tetap berdiri diam.
Lengan kirinya masih terbalut.
Ia menatap Li Jiu, lalu menatap ke arah serpihan anak panah yang berserakan di tanah.
Hening sejenak.
Lalu dengan suara datar, tanpa semangat tapi juga tanpa rasa takut, Rynz bertanya:
"Kalau aku tidak bisa mengalahkannya…
boleh aku hanya bertahan selama satu menit saja?"