Elina adalah seorang pengacara muda handal. Di usianya yang terbilang masih muda, dia sudah berhasil menyelesaikan banyak kasus penting di karirnya yang baru seumur jagung.
Demi dedikasinya sebagai seorang pengacara yang membela kebenaran, tak jarang wanita itu menghadapi bahaya ketika menyingkap sebuah kasus.
Namun kehidupan percintaannya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Wanita itu cukup sulit melabuhkan hati pada dua pria yang mendekatinya. Seorang Jaksa muda dan juga mentor sekaligus atasannya di kantor.
Siapakah yang menjadi pilihan hati Elina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saksi Penting
Setelah Desi duduk di kursinya dan diambil sumpahnya, Elina mendekati wanita itu. Bersiap melayangkan pertanyaannya.
"Ibu Desi, apa Ibu kenal wanita yang di sana?" Elina menunjuk pada Santi.
"Kenal. Dia tetangga saya."
"Sudah berapa lama Ibu bertetangga dengannya?"
"Sejak dia pindah ke rumah suaminya."
"Berarti Ibu kenal dengan suaminya?"
"Ya."
"Apa Ibu pernah mendengar pertengkaran mereka atau saat Pak Hadi melakukan KDRT?"
"Sering."
"Saat malam di saat Pak Hadi terbunuh, apa Ibu juga mendengar pertengkaran mereka?"
"Ya."
"Apa yang terjadi setelah itu."
"Saya memang mendengar suara mereka bertengkar dan suara Santi yang merintih kesakitan. Setelah pertengkaran hebat mereka, saya tidak mendengar apa-apa lagi."
Santi terus menyimak apa yang disampaikan Desi. Dia sungguh berharap pernyataan Desi bisa membuatnya keluar dari tuduhan sebagai pembunuh suaminya sendiri.
"Jam berapa Ibu tidur malam itu?"
"Saya tidur malam karena sedang menunggu suami saya pulang kerja."
"Setelah pertengkaran di rumah sebelah, apa Ibu mendengar suara-suara atau melihat hal mencurigakan?"
"Saya sedang berada di dapur untuk menghangatkan makanan. Lalu saya keluar rumah untuk membuang sampah. Saya biasa menaruh sampah di pintu belakang rumah. Saat saya sedang menaruh sampah, saya melihat seseorang keluar dari rumah Bu Santi."
"Apa Ibu mengenalnya?"
"Tidak. Waktu itu sudah malam dan sebenarnya saya tidak terlalu memperhatikan juga."
"Jam berapa waktu itu?"
"Sekitar jam setengah dua belas malam."
"Bisa Ibu gambarkan ciri-ciri orang itu?"
"Laki-laki, dia memakai jaket berhodie warna hitam."
"Apa pria ini yang Ibu lihat?"
Elina menekan alat di tangannya dan gambar pria yang tertangkap keluar dari gang di mana Santi tinggal. Kemudian wanita itu memutar video ketika pria itu keluar dari gang.
"Iya, itu dia."
"Yang Mulia, Ibu Desi adalah tetangga sebelah rumah terdakwa. Dia menyaksikan kalau ada orang lain keluar dari rumah terdakwa setelah tidak terdengar lagi suara-suara dari dalam rumah. Orang ini adalah pembunuh sebenarnya. Dia datang setelah Ibu Santi dan melakukan pembunuhan pada korban."
"Keberatan Yang Mulia, penasehat hanya berspekulasi."
"Saya hanya mencoba menggambarkan apa yang terjadi malam itu. Bukankah terbuka kemungkinan kalau klien saya tidak bersalah? Berdasarkan hasil autopsi diketahui tusukan yang terjadi di perut korban ada sedikit perbedaan. Memang benar terdakwa menusuk korban. Setelah menusuk korban dia langsung pergi bersama anaknya dan orang kedua muncul menyelesaikan pekerjaan terdakwa. Dia menusuk kembali korban, mencabut pisau dan meninggalkannya begitu saja sampai korban meninggal dunia."
"Hasil autopsi mengatakan kalau tusukan hanya terjadi satu kali. Jika berdasarkan asumsi anda, maka pelaku kedua menarik pisau baru menusuknya kembali. Itu tidak sesuai dengan hasil autopsi."
"Saya tidak mengatakan kalau pelaku kedua menarik pisau. Pelaku kedua melakukan penusukan kembali. Dia bisa saja mendorong pisau lebih dalam membuat pisau mengenai organ vital, mencabut pisaunya lalu pergi meninggalkannya."
"Bisa saja terdakwa yang melakukan itu. Setelah menusukkan pisau, dia mendorong lebih dalam dan mengenai organ vital."
"Tapi terdakwa tidak menarik pisaunya. Tidak mungkin pisau itu keluar sendiri dari perut korban."
"Dalam keadaan panik, terkadang seseorang tidak sadar kalau melakukan sesuatu dan meyakini sesuatu yang bertolak belakang setelahnya."
"Tapi kita tidak bisa mengabaikan pria asing yang keluar dari rumah terdakwa malam itu. Sekian, Yang Mulia."
Elina segera kembali ke mejanya. Kini giliran Carya yang bertanya pada Desi.
"Jam berapa waktu itu Ibu keluar untuk membuang sampah?"
"Sekitar jam dua belas malam."
"Bagaimana keadaan di luar waktu itu? Apa ada penerangan di bagian belakang rumah?"
"Hanya bohlam lima watt saja yang ada di rumah saya."
"Bagaimana dengan rumah terdakwa?"
"Sudah beberapa malam lampu belakang rumah mati."
"Apa jalan di sana ada penerangan?"
"Tidak ada."
"Lalu bagaimana Ibu bisa yakin kalau yang Ibu lihat adalah orang yang ada di dalam rekaman?"
"Cara berjalan laki-laki itu terlihat berbeda dari belakang, tapi saya tidak tahu apa yang menyebabkannya."
"Apa Ibu yakin kalau dia keluar dari rumah terdakwa?"
Desi tidak langsung menjawab pertanyaan Carya. Dia masih bingung dengan arah pertanyaan sang Jaksa.
"Biar saya ganti pertanyaannya, saat Ibu melihatnya apakah dia baru keluar rumah atau sudah berada di luar rumah?"
"Sudah di luar rumah."
"Lalu bagaimana Ibu yakin kalau dia baru keluar dari rumah terdakwa?"
"Karena dia berada di depan rumah Bu Santi?"
"Berapa jarak dari pintu belakang ke jalan?"
"Mungkin sekitar setengah meter."
"Apa jalanan di belakang rumah Ibu lebar?"
"Tidak. Hanya jalan kecil."
"Jadi kalau berjalan, bisa saja pejalan kaki berada di dekat rumah yang dilewati?"
"Ya."
"Ibu melihat pria itu berada di depan rumah terdakwa atau berada di jalan depan rumah terdakwa?"
"Di jalan depan rumah terdakwa."
"Sekian, Yang Mulia. Saya tidak ada pertanyaan lagi."
Usai Carya melakukan sesi tanya jawab, Hakim Ketua mempersilakan Desi meninggalkan kursi saksi. Hakim Ketua berdiskusi dengan dua Hakim Anggota. Pria itu memutuskan sidang akan dilanjutkan tiga hari lagi. Hakim Ketua mengetuk palu tiga kali dan membubarkan sidang.
Carya segera membereskan semua berkas-berkasnya. Saat akan keluar dari ruang sidang, pria itu mendekati Elina lebih dulu.
"Apa yang coba kamu hadirkan di ruang persidangan tadi? Apa kamu coba menghadirkan pelaku fiktif untuk menyelamatkan klienmu?"
"Aku mencoba membuka mata Hakim dan juga anda kalau ada pelaku lain dalam pembunuhan ini."
"Kalau begitu mana buktinya? Polisi tidak menemukan jejak siapa pun di TKP kecuali milik klienmu. Lebih baik kamu menyerah, aku akan memberikan tuntunan ringan untuknya mengingat ini adalah pembelaan diri. Tapi kalau kamu terus memaksa klienmu menyangkal, maka aku akan menuntutnya hukuman yang lebih lama."
Tanpa memberi kesempatan pada Elina untuk menjawab, Carya segera keluar dari ruang sidang. Dengan kesal Elina membanting berkas yang ada di mejanya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Gerald kalau sosok Carya adalah orang yang menyebalkan. Setelah memasukkan berkas ke dalam tas kerjanya, Elina segera meninggalkan ruang sidang.
***
Elina sedang sibuk mempersiapkan bahan untuk persidangan ketiganya. Wanita itu terus berada di belakang meja kerjanya. Fathir ditugaskan di lapangan untuk mencari jejak pria misterius yang dilihat oleh Desi. Di tengah kesibukannya, ponsel miliknya bergetar. Wanita melihat sekilas pada ponselnya. Di layar tertera nama Zahran, dia pun segera menjawabnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Busy?"
"Lumayan."
"Aku ingin mengajakmu makan malam. Apa kamu ada waktu?"
"Ehm.. I don't know."
"C'mon, El. Aku tahu kamu sibuk dengan kasusmu. Tapi aku juga butuh bertemu denganmu."
"Ada sesuatu yang penting?"
"Kalau sesuatu itu adalah kerinduanku, ya.. itu adalah hal penting."
Terdengar tawa kecil Elina. Berbincang dengan Zahran setidaknya bisa sedikit membuat pikiran penatnya rileks sejenak.
"Ehm.. okey. Tapi tempat makannya harus spesial."
"Tentu saja. Aku jemput jam tujuh malam."
"Oke."
"Bye, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Panggilan di antara keduanya sudah berakhir namun senyum di wajah Elina masih tertinggal. Wanita itu menghembuskan nafas panjang sejenak lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Baru sebentar dia tenggelam dalam pekerjaannya, seseorang memasuki ruangannya.
"Apa aku mengganggu?" tanya Gerald.
"Tidak. Ada apa, Bang?"
"Kamu tahu kalau kita sedang menangani kasus salah satu klien kita, Dien's Design?"
"Ya, soal hak cipta."
"Apa kamu bisa membantuku melakukan deposisi?"
"Sekarang?"
"Ya."
"Oke."
"Meeting room."
Kepala Elina mengangguk. Wanita itu segera bangun dari duduknya lalu mengikuti Gerald menuju ruang meeting yang ada di lantai empat. Di ruangan yang sekelilingnya dibatasi oleh kaca itu sudah terdapat tiga orang di dalamnya. Lawan dari klien mereka, pengacaranya dan petugas yang mencatat deposisi. Di depan mereka juga terdapat kamera kecil untuk merekam pernyataan. Gerald dan Elina masuk lalu duduk berhadapan dengan lawan mereka.
Satu jam lamanya mereka melakukan deposisi. Sedikit perdebatan terjadi di antara mereka. Masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah. Pihak lawan akhirnya mengakhiri deposisi dan meninggalkan meeting room. Kini hanya tinggal Gerald dan Elina saja di sana.
"Bagaimana menurutmu?"
"Penyelesaian yang mereka tawarkan hanya menguntungkan mereka saja. Bukankah seharusnya kita yang harus menekan mereka?"
"Sepertinya mereka hanya menggertak saja. Kita tunggu saja dua atau tiga hari."
"Ya, setelah itu habisi saja."
Gerald terkekeh mendengar ucapan Elina. Sebenarnya pria itu bisa saja melakukan deposisi seorang diri. Tapi dia lebih bersemangat bila melakukannya bersama dengan Elina. Apalagi beberapa hari terakhir wanita itu begitu sibuk dengan kasus pro bononya dan kesempatannya untuk berduaan dengan Elina menjadi terbatas.
"Bagaimana dengan sidangmu?"
"Lumayan lancar. Tapi Carya benar-benar menyebalkan."
"Kamu menaruh tersangka lain sebagai pembunuh korban, tentu saja dia merasa kesal. Secara tidak langsung kamu sudah mengatakan kalau dia tidak becus bekerja."
"Karena dia memang tidak becus bekerja."
"Dan sekarang dia mengejar klien mu?"
"Ya. Tapi Abang tenang saja, aku tidak akan kalah darinya. Aku akan membebaskan Bu Santi dari hukuman."
"Apa yang lebih penting untukmu? Memenangkan kasus dan menyelamatkan klien mu atau mengalahkan Carya?"
"Apa bedanya? Kalau aku memang, aku mengalahkannya."
"Kalau fokusmu hanya ingin menang, maka pikiranmu hanya tertuju pada Carya. Kamu hanya memikirkan bagaimana caranya mengalahkan pria itu, memprediksi apa yang akan dilakukannya. Tapi kalau kamu ingin memenangkan kasus, maka kamu harus melebarkan jarak pandangmu. Kamu harus berpikir lebih teliti, mencari titik-titik kecil yang akan menghubungkan mu pada pelaku sebenarnya. Kamu mengerti maksudku kan?"
"Ya. Terima kasih, Bang. You're the best mentor I've ever had."
"Apa kamu tidak mau membayarku? Dengan makan malam mungkin."
"Malam ini?"
"Ya."
"Ehm.. sorry.. tapi aku sudah ada janji lain."
"Zahran?"
Elina menganggukkan kepalanya seraya menangkupkan kedua tangannya.
"Well I guess He's one step forward from me. Enjoy your dinner (sepertinya dia satu langkah di depanku. Nikmati makan malammu)."
"Oke, Bang. Next time aku janji kita akan makan malam."
Gerald menganggukkan kepalanya. Elina segera keluar dari ruang meeting ketika melihat Fathir menghubungi ponselnya. Semoga saja ada sesuatu yang penting yang didapat pria itu. Sepeninggal Elina, Gerald masih bertahan di tempatnya. Matanya terus memandangi Elina yang baru saja meninggalkan ruangan.
"How can I get you, El? (Bagaimana aku bisa mendapatkanmu, El?)," gumamnya pelan.
***
Ngomong atuh Ge🤭
aku yakin Gita suka sama Gerald , tapi sayangnya Gerald suka sama Elina . dan pada akhirnya nanti Elina malah mendukung Gita dengan Gerald .
pikiranku terlalu jauh gak sih , tapi namanya juga nebak , bener sukur , kalau salah ya udah berarti gak sesuai dengan ide cerita kak othor . jadi nikmati aja ya El......
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi nabila ikutin alurnya mak author deh
sedangkan sama Zahran , Zahran bisa mengimbangi Elina biar kata Zahran menuruti elina tapi dia bisa membujuk Elina dan mengarahkan insyaallah bahagia terus kalau sama Zahran..
E..tapi kok aq lebih sreg EL sam bang Ge ya 🤭🤭🤭
Ya walaupun duda sih, kan skrg Duda semakin didepan 🤣🤣🤣
Tapi aq manut aja apa yg ditulis kak icha.,
Siapa tw dgn kasus ini akhrnya El sama Gita bisa jadi bestie ye kan....
Trys gita jadian sama zahran 🤣🤣🤣