NovelToon NovelToon
TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Balas Dendam / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dhamar Sewu

Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 9: Api di Balik Kabut

Mereka adalah bayangan di balik bayangan—aliran rahasia yang selama ini mengendalikan keseimbangan dunia persilatan.

Dan kini, Jiang Hao telah menjadi ancaman yang tak bisa mereka abaikan.

Gunung itu tak pernah tercatat di peta mana pun. Ia menjulang tinggi, berselimut kabut dan sunyi, seolah dunia pun memilih untuk melupakannya. Tapi bagi mereka yang pernah dikhianati, dikucilkan, atau dihancurkan oleh hukum tak tertulis dunia persilatan—Gunung Tak Bernama adalah rumah.

Jiang Hao berdiri di kaki gunung, matanya menatap tebing terjal yang menjulang di hadapannya. Kabut malam bergulung seperti napas iblis, menelan hutan dan batu dengan tenang.

“Apakah ini tempatnya?” tanya Mei Lin, menggenggam tongkat bambunya.

“Ya.” Jiang Hao menatap ke atas. “Tempat para buangan. Para pembunuh, pengkhianat, dan orang-orang yang pernah disebut 'iblis' sepertiku.”

“Dan kau ingin bergabung dengan mereka?”

“Tidak.” Jiang Hao melangkah maju. “Aku ingin memimpin mereka.”

---

Pendakian itu bukan sekadar perjalanan fisik. Setiap langkah seperti membawa Jiang Hao ke masa lalu—teriakan saat ia dicambuk oleh sektenya sendiri, rasa dingin ketika ia dibuang ke Lembah Racun, dan suara tawa Li Feng yang masih bergema di telinganya.

Mei Lin mengikuti dari belakang, meski tak bisa melihat, ia tahu jalan yang mereka tempuh tak mudah. Namun ia percaya pada Jiang Hao—bukan karena kekuatannya, tetapi karena luka yang ia sembunyikan.

Setelah dua jam berjalan, mereka mencapai celah sempit yang dijaga dua pria berotot dengan wajah penuh luka. Mata mereka menyipit saat melihat Jiang Hao dan gadis buta di belakangnya.

“Siapa kau?”

Jiang Hao tak menjawab. Ia hanya membuka lengan bajunya—menunjukkan tangan kanannya yang menghitam dan berdenyut, seolah ada racun hidup di bawah kulit.

Kedua penjaga saling berpandangan. Mereka mengenal tanda itu. Mereka tahu siapa yang berdiri di hadapan mereka.

“Masuklah.” Salah satu dari mereka membuka jalan. “Pemimpin kami, mungkin ingin bertemu denganmu.”

---

Di balik celah itu terbentang dunia gelap yang tersembunyi dari mata dunia. Sebuah desa liar yang dibangun di lereng-lereng curam, dihuni oleh pendekar, pembunuh bayaran, dan ahli silat yang tak diinginkan dunia.

Di pusat desa itu berdiri seorang lelaki tua berambut putih bernama Bai Mo—mantan pendekar terhebat dari Sekte Hantu Bayangan, kini memimpin para buangan.

Saat Jiang Hao dan Mei Lin masuk ke aula utamanya, Bai Mo sudah menunggu.

“Aku dengar tangan iblis telah kembali ke dunia,” katanya pelan, sambil menyesap araknya.

“Dan kali ini… dia membawa hati.”

Jiang Hao menatapnya tajam. “Aku tak datang untuk bersahabat.”

“Aku tahu.” Bai Mo tertawa kecil. “Kau datang karena ingin membakar dunia yang membakarmu dulu. Tapi kau lupa, Nak … untuk membakar dunia, kau butuh api yang tak bisa padam.”

Jiang Hao mengangkat tangan kanannya. “Aku punya cukup racun untuk menghancurkan gunung ini.”

Bai Mo bangkit. Wajahnya yang dulu menakutkan, kini terlihat seperti raksasa tua yang kehabisan waktu.

“Kalau begitu, buktikan. Esok malam ... lawan tiga dari pendekar terbaik kami. Jika kau menang, para buangan akan mengikutimu. Jika kalah—aku sendiri yang akan mengubur tubuhmu di dasar gunung.”

“Deal.”

Mei Lin menggertakkan gigi. “Kau gila, Jiang Hao .…”

“Bukan gila,” jawab Jiang Hao pelan. “Tapi ini satu-satunya cara agar dunia benar-benar melihat siapa aku sekarang.”

---

Malam pun turun perlahan. Gunung Tak Bernama bersiap menyambut pertarungan—sebuah ujian yang bukan hanya tentang racun atau jurus, tapi tentang harga diri, luka, dan dendam yang tak pernah mati.

Di luar aula, para pembunuh mulai berkumpul. Desas-desus tentang kedatangan Jiang Hao menyebar cepat.

Mereka tak sabar menyaksikan apakah tangan iblis itu memang masih layak ditakuti, atau hanya legenda yang akan mati malam itu juga.

Langit malam di Gunung Tak Bernama menggantung berat, seolah ikut menanti darah pertama yang akan menetes.

Arena pertarungan dibangun dari batu alami, melingkar dan dikelilingi obor yang menyala redup. Cahaya api menari-nari di wajah para penonton yang haus kekerasan. Para buangan—pendekar yang pernah dianggap iblis oleh dunia luar—berkumpul untuk menyaksikan duel yang dijanjikan.

Tiga lawan satu.

Bukan pertarungan yang adil. Tapi di tempat ini, tak ada yang adil. Yang kuat bertahan. Yang lemah dikubur.

Di sisi utara arena berdiri tiga pendekar:

1. Hei Zhu\, wanita bertopeng dari sekte racun ular\, terkenal karena gerakan cepat dan racun lidah berbisa.

2. Tie Lang\, pria bertubuh raksasa dari barat\, memakai kapak ganda\, ahli menghancurkan tulang dalam satu pukulan.

3. Mu Ying\, mantan biksu yang berubah menjadi algojo setelah kuilnya dihancurkan. Jurusnya menggabungkan ketenangan dan kebrutalan.

Di sisi selatan—Jiang Hao berdiri sendiri.

Bajunya sederhana. Wajahnya tenang. Tapi tangan kanannya terbalut kain hitam—berdenyut, seperti jantung iblis yang belum sepenuhnya tertidur.

Bai Mo berdiri di tengah, mengangkat tangan.

“Pertarungan ini bukan sekadar adu jurus. Tapi adu jiwa. Bila Jiang Hao mampu bertahan, maka ia layak bicara di tempat ini.”

Ia menurunkan tangan.

“Mulai!”

---

Tie Lang menerjang lebih dulu. Kapak kembar menyambar dengan kecepatan mengejutkan untuk ukuran tubuhnya. Suara anginnya saja sudah cukup membuat sebagian penonton menahan napas.

Tapi Jiang Hao bergerak.

Satu putaran tubuh. Satu sentuhan.

Jari telunjuk tangan kanannya menyentuh lengan Tie Lang—dan dalam hitungan detik, kulit si raksasa melepuh, pembuluh darahnya membiru.

“GRAAAAH!!” Tie Lang berteriak, menjatuhkan kapaknya.

“Satu,” gumam Jiang Hao pelan.

---

Mu Ying langsung menyusul, melompat dari belakang Tie Lang, menendang ke arah kepala Jiang Hao. Tapi Jiang Hao menangkis dengan lengan kiri, dan menggunakan kain hitam dari tangan kanannya untuk menjerat kaki lawannya.

Mu Ying menarik kembali kakinya—hampir terlambat. Ujung kain sudah meresap ke kulitnya.

Tapi ia sempat melepaskan dirinya.

“Racunmu… menjijikkan,” kata Mu Ying, meludah.

“Tapi ampuh,” sahut Jiang Hao.

---

Sementara itu, Hei Zhu menghilang dari pandangan. Ia muncul kembali dari balik kabut arena, mengayunkan bilah pedang melengkungnya ke arah punggung Jiang Hao.

Tapi ia terlalu lambat.

Jiang Hao berputar cepat dan meraih bilah pedang dengan tangan kanannya.

Pedang itu meleleh seperti lilin.

“Dua.” Jiang Hao menatap mata Hei Zhu yang membelalak dari balik topeng. Ia menjatuhkan tubuhnya, tak sadarkan diri.

---

Tinggal satu.

Mu Ying berdiri sendiri di ujung arena, bernapas cepat. Tapi kali ini ia tak menyerang.

Ia menarik nafas panjang, dan menggulung jubahnya—memperlihatkan simbol tua yang tergurat di dada kirinya. Simbol yang… dikenal Jiang Hao.

“Itu ... lambang Sekte Langit Selatan,” gumam Jiang Hao, menegang.

Mu Ying menatapnya tajam.

“Aku tahu siapa dirimu, Jiang Hao. Dan aku tahu siapa yang menjebakmu dulu. Kau pikir pengkhianatan hanya terjadi padamu? Tidak… Kita semua di sini adalah korban dari sistem yang sama.”

Penonton mulai gaduh. Bai Mo sendiri maju, suaranya berat.

“Cukup! Jiang Hao, kau telah membuktikan dirimu. Tapi jangan berpikir kau bisa memimpin kami hanya karena tanganmu bisa membunuh.”

Jiang Hao menatap Bai Mo.

“Aku tak ingin memimpin kalian karena takut. Tapi karena kita punya musuh yang sama: dunia persilatan yang menolak kita.”

1
Daryus Effendi
pegunungan menjulang tinggi dan di tutupi kabut yg tebal
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh
Dhamar Sewu: wkwk, 🙈. Maaf, bos. Untuk tambahan jumlah kata, masukan diterima 😁
total 1 replies
spooky836
sampai bila2 pun penulis dari cerita plagiat ni,tak mampu nak teruskan. cerita ini tamat di sini. kerana mc otak kosong. cerita hasil plagiat. benar2 bodoh dn sampah.
spooky836: baguslah. jangan sampai mampus di bab 26 tu. banyak dh karya lain terbengkalai macam tu je.
Dhamar Sewu: Plagiat di mana, kak? Karya siapa?
Cerita ini masih bersambung 😁oke.
total 2 replies
Abah'e Rama
lanjut 💪💪
Dhamar Sewu: Semoga suka, kak. Siap 💪🔥
total 1 replies
Zainal Tyre
coba simak dulu ya
Dhamar Sewu: Semoga suka, bos!
total 1 replies
Suki
Terinspirasi
Dhamar Sewu: Semangat, Kak 💪 hehe 😊
total 1 replies
PanGod
mantap bang. jangan lupa mampir juga ya bang🙏🏻
Dhamar Sewu: Siap, Kak. Terimakasih sudah berkunjung. Nanti setelah download aplikasinya, masih bingung ini 😁.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!