Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tenang Ketenangan Dalam Sebuah Kebohongan Yang Tak Merubah.
.
.
Sudah pukul setengah tujuh malam lewat, dan dia baru saja sampai di rumahnya setelah melewati hari yang melelahkan di pusat perbelanjaan itu, dan sepanjang siang sampai waktu pulang dia hanya berdiam di ruangan Flauza tanpa melakukan apapun sama sekali.
Dengan pria itu sendiri tampak sibuk pada pekerjaan yang di bawakan oleh bawahannya setiap satu jam sekali ke ruangan pribadinya.
Ya...
Walaupun tampaknya Flauza tidak meminta dia melakukan apa pun kepadanya, hanya benar-benar duduk diam.
Revander berjalan masuk ke rumah miliknya dan mendengar mobil mewah itu perlahan mundur berbalik arah sebelum memelan dan menjauh dari wilayah ini.
Terduduk sejenak pada sofa di ruang utama, sembari membuka sepatu dan kaus kaki miliknya itu.
Sejenak di gelapnya ruang tamu rumah itu, mata hitam miliknya terfokus pada luka sayatan besar pada kaki kirinya yang bermula lutut sampai ke ujung tumitnya.
Ah....
Ya.... luka ini.
Sudah berapa tahun dia punya luka ini? Sembilan sepuluh?
Sudah cukup lama, namun itu meninggalkan bekas yang terlihat sangat jelas, dan begitu tidak bagus di sana.
“Baru pulang?” suara sang ibu menyadarkan dirinya dari lamunan masa-masa kelam itu, dan dengan cepat dia menoleh kepada wanita paru baya berambut hitam ikal sebahu itu.
“Iya, baru sampai. Di antar teman sampai rumah juga.” Jawabnya tenang, memasukkan kaus kaki itu ke dalam sepatu kets hitamnya.
“sampai malam seperti ini? Memang ngapain saja di sana?” tanya ibunya lagi, kembali menginterogasi dirinya.
Hah.....
Selalu saja begini.
Apa yang harus di katakan?
“Tadi terlalu seru bermainnya sama teman, banyak teman dari.... kuliah dulu datang, jadi kebanyakan bercerita sama mereka.” Oh di berkatilah mulutnya yang entah kenapa bisa bergerak sendiri untuk memberikan jawaban itu kepada sang ibunda.
“Memang adek ngumpul di mana?” tetapi pertanyaan itu sepertinya tidak akan berhentikan?
Perlahan pun dia bangkit dari duduknya, membawa sepatunya pada salah satu tangnya itu. “Di kota sekitar jalan titik Nol.” Balasnya lagi tetap sesingkat mungkin.
Dengan begini dirinya tidak sepenuhnya berbohong bukan?
“Adek mandi dulu bu, sudah risih sekali ini...”
Dengan sama dia bisa melihat wanita itu mengangguk pelan. “Itu masih ada nasi sepiring lagi dan beberapa lauknya, jangan lupa makan” gadis itupun hanya mengangguk pelan dan berjalan melewati ruang tengah sebelum ke ruang dapur dan belakang untuk meletakkan sepatunya terlebih dahulu.
Lalu mengambil handuk yang menggantung dan kembali melewati dapur menuju kamar mandi.
Ah...
Ya inilah yang dia perlukan, air yang mengalir pada tubuhnya, membawa rasa penat dan suntuk dari luar walaupun dia tidak terlalu banyak melakukan apa-apa.
Tapi berhadapan dengan orang-orang kaya seperti Flauza, Ya Tuhan itu benar-benar melelahkan.
Kembali melakukan kegiatan dirinya seperti sebelum-sebelumnya, dan dia kembali memasuki kamar bernuansa biru itu dan mengurung diri dengan ponsel suang yang sudah ada di tangannya.
Melihat-lihat menu pada ponsel tersebut sembari memosisikan tubuhnya untuk merebah pada kasurnya itu, menarik napas dalam dan membuangkannya berusaha menenangkan tubuhnya yang benar-benar lelah luar biasa.
Dia membuka aplikasi obrolan itu, dan melihat nomor Flauza yang tampaknya tidak memberikan kabar tentang kedatangannya untuk esok hari atau tidak.
Namun nomornya aktif!
Mungkin sibuk atau ada sesuatu?
Atau mungkin esok pagi baru di beri kabar?
Ya sudahlah....
Toh nanti juga berjalan, dan akan ada jalannya.
Sedikit melemparkan ponsel itu ke bagian atas kasurnya, perlahan dia memejamkan matanya.
Haa....
Apa sekarang dia benar-benar sudah bekerja??
Tapi....
Tidak seperti itu pula rasanya....
Apa dia harus mencoba melempar lamaran kerjanya ke perusahaan-perusahaan yang lain?
Tapi dia sudah pergi pagi pulang malamkan?
.
.
.
Ha...... capek juga ternyata....
.
.
.
Gadis itu terbangun dan segera terduduk saat mendengar suara besar yang samar-samar menggema memenuhi rumahnya itu.
Suara-suara itu, seperti adu argumen yang sudah dia kenali selama dua puluh empat tahun hidupnya.
Ah...
Itu suara ayahnya yang tengah membentak ibunya dalam argumen yang entah apa mereka bahas.
Haaa........
Pintu kamarnya masih terkunci bukan?
Jadi setidaknya dia tidak perlu khawatir tentang ini bukan?
Dengan pelan dia kembali merebahkan tubuhnya pada kasur, masih dengan suara yang saling bersahut-sahutan di luar sana.
Sekilas dia melirik kearah jendela yang tertutup oleh gorden cokelat kemerahan itu tampak sedikit benderang menandakan jika hari sudah terang.
Jam berapa sekarang?
Dengan malas dia mengambil ponselnya lagi, dan melihat jam digital yang tampil pada layar pertama ponselnya itu.
09.47.
Huh...?
Sudah hampir jam sepuluh!
Dia menggeser layar ponselnya dengan pelan.
Tidak ada pesan apa pun dari pria itu.
Berarti hari ini dia tidak di suruh masuk bekerja kan?
Ya baguslah kalau begitu bisa bermalas, malasan juga bukan?
Suara sang ayah terdengar lebih keras di bandingkan beberapa waktu yang lalu, seakan membuat tanah di rumah ini bergetar.
Suara ibunya juga menyusul seakan ingin mengimbangi perkataan sang suami.
Dan dia hanya bisa memiringkan tubuhnya mengambil sebuah bantal dan menutup kepalanya, sembari memejamkan matanya.
HAAAA....
Mau sudah bekerja atau tidak....
Yang jelas hal-hal seperti ini tidak akan berubah bukan?
Ya Tuhan.....!
Dirinya lelah.... benar-benar lelah Ya Tuhan...
.
.
.
Dua hari berikutnya, masih belum ada panggilan dari Flauza, yang juga berarti Tobito juga tidak datang menjemputnya.
Dia berdiri dengan tenang di halaman rumahnya sembari mengotak-atik sedikit sepeda miliknya itu menggunakan baju kaos berlengan pajang menutupi tangannya berwarna hijau, serta celana training hitam bergaris hijau.
“Ehhh... Reva...” merasa dirinya di panggil, dengan cepat dia menoleh kearah sumber suara itu. Mendapati seorang wanita yang sebaya dengan sang ibu tengah berdiri di balik pagar rumahnya dengan senyum.
Senyuman yang dia tahu itu adalah pertanda tidak baik~
Huss.... kamu itu.
“ya Bu Diva? Ada apa?” tanya gadis itu dengan tersenyum pula.
“Waktu itu... ibu lihat kamu pergi naik mobil hitam, memang siapa yang datang?”
Nah....kan! benar-benar bukan senyuman yang baik!
“Ah... itu teman Reva datang menjemput” masih dengan senyuman yang melekat pada wajah gadis itu dia menjawab pertanyaan sang Ibu Diva serama mungkin.
Namun tentu saja dia terus menerus menggerutu berharap wanita paru baya di depannya itu segera mengakhiri pembicaraan mereka.
“Teman apa teman Anak Reva...~ tidak apa loh kamu punya seorang yang lebih dari seorang teman..~ toh umurmu sudah cukup untuk segera menikah~...” kali ini sang Ibu berkata sedikit menggoda sang gadis.
Tuh... kan....!
Pasti ujung-ujungnya ke sini arah pembicaraan mereka!
“ha-ha-ha... Ibu Devi bisa saja....” Revander masih berusaha menjawab dengan ramah “Kalau Reva masih ingin sendiri dulu bu Devi, menitik karier dulu, dan jodoh pasti mengikuti kok...”
“memang Anak Revan sudah bekerja sekarang? Apa kemarin itu kah?”
“Tidak kok tidak... semalam itu cuma ada reuni dengan teman-teman dan kebetulan ada yang mau jemput Reva di sini, makanya pakai pakaian yang formal seperti itu...”
Dia benar-benar harus bersyukur banyak kepada mulutnya yang seperti memiliki pemikiran sendiri untuk menyelamatkan dirinya saat ini.
“O....”
Tapi bisakah sekarang kepalanya bekerja untuk memikirkan cara untuk keluar dari pembicaraan absurd ini?
Ayolah.... apa kamu tidak bisa berguna sedikit hanya untuk saat ini?
“Itu maaf ya bu Dev, Reva mau pergi keluar sebentar ada urusan di luar...” gadis itu tampak merogoh saku celana trainingnya berusaha mengambil ponsel miliknya dan mengecek sekilas jika ada sebuah pesan masuk atau tidak.
Tapi tujuan utamanya hanya berpura-pura sibuk dan terlihat sedikit terburu-buru.
“Ah..ya sudah... hati-hati ya kalau begitu...” dan itu tampaknya berhasil membuat wanita paruh baya di seberang sana tersadar dan juga berniat segera meninggalkan dirinya.
Bagus...
Bagus! jangan balik kalau bisa lagi!
Saat melihat wanita itu telah menjauh dari rumahnya. Sang gadis kembali menghembuskan nafasnya dengan kuat.
Belum ada dia mengayuhkan sepedanya keluar dari rumah, malah dirinya sudah lelah duluan.
Haa....
Mau di luar mau di rumah.... tetap saja buat dia merasa lelah tidak ketulung.
.
.
.
Esok harinya lagi dia masih belum dapat kabar dari Flauza.
Yang mengartikan, dirinya masih tidak akan ‘bekerja’ pula hari ini. Dan dia kembali menghabiskan waktunya dengan mengurung diri pada kamar dan melihat-lihat apa yang sedang terjadi di luar sana menggunakan sosial media.
Dan sebuah berita sedikit banyak menarik perhatiannya lagi.
Berita tentang kabar investor asing yang ingin masuk ke negara ini. Tapi itu masih belum pasti dan masih wacana pula.
Tidak ada nama perusahaan yang di sebutkan, juga tidak ada penjelasan yang lebih lanjut dari pihak pemerintahan.
Melihat dengan keadaan yang sekarang? Mungkin mereka masih menimang-nimang untuk mengambil jalan berbatu tajam bukan?
Sejenak dia berhenti saat merasakan suara sama sepeti kendaraan beroda empat datang mendekat ke arah sini.
Ini mungkin terdengar aneh...
Namun ya... seperti sebuah mobil berjalan mendekat, tapi suara knalpotnya tidak sama dengan mobil milik Flauza.
Lagi pula Flauza kan tidak mengatakan jika Tobito akan menjemputnya.
Berarti....
Itu adalah mobil milik saudara laki-lakinya.
Tumben sekali di hari kamis sudah datang ke rumah? Dia sedikit melirik ke pada pintu kamarnya, memastikan jika pendengarannya itu tidak salah.
Dan tentu itu benar, suara mesin mobil itu kini berhenti di depan rumahnya, di susul dengan suara sang ibunda tampak senang dengan tiba-tiba.
Setelah memastikan itu semua, Revander memutuskan untuk tidak terlalu peduli, dan kembali melakukan kegiatannya lagi.
.
Saat sore menjelang, gadis itu kini juga sudah menggantikan posisinya dengan duduk dia atas kasur dengan tangan yang masih memegang ponsel dan membaca-baca sebuah artikel random yang dia temukan pada internet, dengan mendengarkan beberapa musik menggunakan earphone yang terpasang pada telinganya.
Lalu sebuah ketukan pintu memecah suasana hening kamar miliknya.
“Rev...” dia menoleh cepat kearah pintu kamarnya, mengenali suara itu.
Itu adalah saudara laki-lakinya.
Dengan gerakan cepat, melepaskan earphonenya dan berjalan mendekat ke arah pintu itu, membuka kuncinya dan menarik ke dalam pintu tersebut. Menampilkan seorang pria yang hampir memilik wajah dan sedikit lebih tinggi darinya berdiri di depan pintu kamarnya dengan pandangan yang aneh.
Apa lagi yang akan terjadi sekarang?
“Mau makan apa kamu?” tanya sang abangnya dengan nada yang.... sedikit kesal?
Atau mungkin dia telah melakukan kesalahan tanpa dia sadari?
Entahlah.
“Memangnya abang mau pesan apa?” balas Revander yang juga membalikkan pertanyaan sang abang. “Kakakmu mau membeli mie, jadi kamu mau mie juga?” tebak sang abang.
Mie tidak terlalu buruk.
Gadis itu mengangguk pelan tanda mengiyakan perkataan sang saudara laki-laki itu.
“Dan besok kita akan pergi keluar...” lanjut abangnya lagi.
Eh sebuah liburan mendadak?
“Tumben?”
“ya... keponakanmu itu meminta liburan ke sungai...”
Oh... tidak mengejutkan lagi.
Revander kembali mengangguk pelan tak berbicara lebih lanjut. Melihat dirinya yang tampak setuju dengan rencana sepihak dari keluarganya itu, sang abang mulai melangkah pergi meninggalkan dirinya.
Ting.....
Kembali dengan cepat sang gadis menoleh kepada sumber suara tersebut.
Ponselnya mendapatkan pesan.
Dan berhasil membuat sang abang berhenti berjalan pula.
Revander mengambil ponselnya dan mendapati sebuah notifikasi pesan masuk pada layar utama ponsel itu. Menekan beberapa tombol, lalu membaca asal pengirim pesan itu....
.
.
.
Adalah Flauza.
“Tobito akan menjemputmu besok, gunakanlah pakaian yang lebih santai Rev. Aku menanti untuk melihat mu esok hari.”
.
.
.
“sepertinya... adek gak bisa ikut bang untuk liburan besok.” Dia berkata perlahan kepada abangnya.
Benar-benar sebuah kebetulan yang begitu lucu di kehidupannya.
.