Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Between Us
Xavier menghabiskan perjalanan menuju rumah sakit dengan pikiran yang berputar. Ia mencoba fokus pada jalanan yang sibuk, tetapi bayangan Luna dan percakapan mereka pagi itu terus mengganggunya. Kata-kata Luna terasa seperti palu yang memukul hatinya—sederhana, tapi penuh dengan arti yang membuatnya semakin bingung.
“Aku ingin kau bahagia, Xavier.”
Sungguh, ia hanya ingin Luna memahami bahwa kebahagiaannya tidak akan pernah ditemukan bersama orang lain. Bukan Zora, bukan siapa pun, selain Luna. Tapi bagaimana mungkin ia bisa mengutarakannya ketika Luna begitu keras menjaga dinding di antara mereka?
Sesampainya di rumah sakit, Xavier segera berganti ke seragam dokternya. Ia berjalan melewati koridor yang sudah akrab baginya, memberikan anggukan kecil kepada para kolega yang ia temui di jalan. Namun, hari itu, bahkan suasana rumah sakit yang biasanya menjadi pelariannya pun tidak mampu mengalihkan pikirannya.
Di ruangannya, Xavier memulai rutinitasnya dengan memeriksa laporan pasien. Konsentrasi yang biasanya menjadi kekuatannya kini terganggu oleh pikiran yang terus kembali ke Luna. Apa sebenarnya yang ia harapkan? Bukankah ia tahu dari awal bahwa Luna tidak ingin memiliki hubungan yang lebih dalam darinya?
Lamunannya terpecahkan oleh suara dering telepon.
"Dokter Xavier, pasien darurat baru saja tiba di UGD. Perdarahan hebat. Kehamilan usia 34 minggu. Dokter bisa segera ke sini?" suara Martha terdengar tegang.
Tanpa berpikir panjang, Xavier langsung berdiri dan menuju UGD. Dalam perjalanan, pikirannya berputar. Kasus seperti ini selalu penuh risiko. Bayi prematur, ibu kritis—keputusan cepat harus diambil.
Saat tiba di UGD, pasien itu sudah terbaring dengan wajah pucat pasi. Seorang pria, yang tampaknya suami pasien, berdiri gelisah di sisi tempat tidur sambil menggenggam tangan istrinya yang lemah.
"Dokter Xavier, ini Ny. Livia, usia kehamilan 34 minggu. Perdarahan mendadak, kemungkinan abruptio plasenta. Tekanan darahnya menurun, janin mengalami stres," jelas Martha dengan cepat.
Xavier memeriksa kondisi pasien. Denyut jantung janin lemah, dan tekanan darah ibu terus menurun. Tidak ada waktu untuk ragu.
"Kita harus segera lakukan operasi caesar darurat. Hubungi tim bedah, siapkan ruang operasi, dan pastikan unit darah tersedia," kata Xavier, suaranya tegas namun tenang.
Suami pasien tampak panik. "Dok, istri saya... bayi kami... Apa mereka akan baik-baik saja?"
Xavier menatap pria itu dengan serius. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tapi, saya harus jujur, ini situasi kritis. Kami butuh izin Anda untuk menyelamatkan nyawa istri Anda atau bayi Anda."
Dengan tangan gemetar, pria itu menandatangani dokumen persetujuan operasi. Xavier bergegas menuju ruang operasi, mengganti pakaian, dan memimpin tim.
Di ruang operasi, waktu seakan berjalan lambat namun cepat sekaligus. Setiap detik penuh tekanan.
"Suction!" perintah Xavier, saat darah terus menggenangi area operasi. Dengan tangan terampil, dia bekerja mengeluarkan bayi yang terbungkus dalam kantung ketuban yang hampir pecah.
"Bayi lahir!" seru perawat, membawa bayi mungil itu ke tim pediatrik yang sudah siaga. Bayi itu menangis pelan, pertanda hidup. Tapi, tugas Xavier belum selesai. Dia harus menghentikan perdarahan yang mengancam nyawa sang ibu.
"Kompleksi plasenta tidak lengkap. Suction lagi! Tambahkan oksitosin!" Xavier tetap tenang, meskipun peluh membasahi dahinya.
Setelah beberapa saat menegangkan, perdarahan akhirnya terkontrol. Tim bedah mulai merapikan prosedur. Xavier menghela napas panjang.
"Pasien stabil. Bagus kerja tim," ucap Xavier dengan lega.
Setelah operasi selesai, Xavier keluar menemui suami pasien. Pria itu berdiri cemas di luar ruang operasi.
"Istri Anda selamat, begitu juga bayi Anda. Tapi, kami harus memantau kondisi mereka selama beberapa hari ke depan," kata Xavier sambil menepuk bahu pria itu.
Mata pria itu berkaca-kaca. "Terima kasih, Dokter. Terima kasih sudah menyelamatkan mereka."
Xavier hanya mengangguk, lalu berbalik. Di balik ketenangannya, perasaan lega sekaligus letih menyelimuti dirinya. Ini adalah salah satu momen yang membuatnya menyadari betapa besar tanggung jawab di pundaknya. Sebagai dokter, hidup dan mati orang lain berada di tangannya, dan tidak ada ruang untuk kesalahan. Dan untuk sesaat, ia benar-benar melupakan kekesalannya pada Luna.
Saat ia berjalan kembali menuju ruang kerjanya, ia berpapasan dengan Zora di lorong. Wanita itu terlihat rapi seperti biasa, dengan senyum yang ramah terpampang di wajahnya.
“Xavier,” Zora menyapanya, suaranya terdengar tenang.
“Zora? Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya sambil menghentikan langkah.
“Aku ada rapat dengan direktur rumah sakit,” jawab Zora, lalu menatap Xavier lebih lama. “Oh, dan aku bertemu dengan Luna pagi ini.”
Xavier terkejut mendengar nama itu disebut. “Kau bertemu dengannya?”
Zora mengangguk, senyumnya kecil. “Ya, dia sangat berbakat. Tidak heran kau begitu menghargainya.”
Xavier hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Hatinya terasa berat mendengar Zora berbicara tentang Luna. Ada sesuatu dalam nada bicara Zora yang membuatnya merasa tidak nyaman, tetapi ia tidak ingin menunjukkannya.
“Baiklah, aku harus pergi,” kata Zora akhirnya. “Aku harap kau tidak keberatan jika aku sering menghubungi Luna untuk proyek ini.”
“Tidak masalah,” jawab Xavier singkat.
Zora pergi, meninggalkan Xavier berdiri di lorong dengan pikiran yang kembali kacau. Dalam hatinya, ia tahu, perasaan yang ia miliki untuk Luna tidak akan pernah bisa ia abaikan. Tetapi, apakah ia memiliki keberanian untuk mengungkapkannya?
*
Sementara itu, Luna duduk di sofa dengan sketsa yang berserakan di sekitarnya. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali pada percakapan pagi tadi.
“Kenapa dia marah?” pikir Luna, menggigit ujung pensilnya. “Bukankah aku sudah mengatakan apa yang menurutku benar?”
Ia tahu, Xavier memiliki alasan untuk merasa kesal. Tetapi, Luna tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya.
Pikirannya terganggu ketika ponselnya berbunyi. Ia mengambilnya dan melihat nama Zora muncul di layar. Luna menghela napas sebelum menjawab panggilan itu, bersiap untuk menghadapi percakapan dengan Zora.
“Luna, maaf mengganggumu,” suara Zora terdengar dari seberang. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar untuk pameran minggu depan.”
“Tidak masalah, Zora,” jawab Luna, mencoba bersikap profesional. “Aku sedang menyelesaikan beberapa sketsa terakhir. Akan kubawa semuanya ke galeri besok.”
“Bagus,” kata Zora dengan nada ramah. “Oh, dan Luna, aku harap kau tidak keberatan jika aku bertanya sesuatu yang pribadi.”
Luna mengernyitkan dahi. “Tentu, apa itu?”
“Apa hubunganmu dengan Xavier?”
Pertanyaan itu membuat Luna membeku sejenak, wajar jika Zora mengkhawatirkan hubungan Luna dengan Xavier.
“Kami hanya sahabat,” jawab Luna akhirnya, mencoba terdengar ringan.
“Oh, aku mengerti,” kata Zora dengan nada yang sulit diartikan. “Baiklah, aku tidak ingin mengganggumu lebih lama. Sampai jumpa besok, Luna.”
Panggilan itu berakhir, meninggalkan Luna dengan perasaan tidak nyaman. Ia menatap ponselnya sejenak, lalu menghela napas panjang.
"Apa aku harus menjaga jarak dengan Xavier, jika pada akhirnya Xavier memutuskan untuk kembali menjalin hubungan dengan Zora?” gumamnya.
To Be Continued ♡♡♡
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰