NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pulang tapi tidak benar-benar kembali.

Senja itu menggantung muram di langit Jakarta, mewarnai awan dengan semburat jingga pucat. Aditya melangkah masuk ke rumahnya setelah dua hari absen menjejakkan kaki di sana. Bukan karena ia lupa jalan pulang, tetapi karena hari-harinya penuh oleh tumpukan pekerjaan di kantor dan jadwal kunjungan ke rumah sakit—tempat Larasati, mantan kekasih yang pernah ia cintai teramat dalam,sedang terbaring lemah.

Begitu pintu rumah terbuka, yang menyambutnya bukanlah kehangatan, melainkan sunyi yang menggantung di udara. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, membiarkan kesunyian menelusup ke dalam dadanya. Biasanya, saat seperti ini, Raina akan terlihat sibuk menata ruang makan, sesekali melirik ke arah pintu dengan senyum kecil yang tak pernah gagal menenangkan lelahnya.

Kini, ruang itu kosong. Tak ada aroma masakan, tak ada denting piring, tak ada Raina.

Hanya keheningan yang menjawab kepulangannya.

Tiga hari. Hanya tiga hari tak melihat Raina, namun rasanya seperti kehilangan musim yang paling ia nanti. Ada kekosongan yang menganga, perasaan tidak utuh yang sulit dijelaskan.

Sementara itu____

Di belahan bumi yang berbeda.Sebuah Kampung nampak sunyi dibasuh cahaya bulan. Suara jangkrik bersahut-sahutan, samar di antara desir angin yang menyusup lewat celah-celah bambu rumah panggung tua milik Paman Kusno. Di serambi belakang, Raina duduk sendiri, mengenakan cardigan tipis dan memeluk lutut. Matanya menatap kosong ke arah hamparan sawah yang berkilau ditimpa cahaya bulan.

Di tangannya, secangkir teh jahe yang sudah hampir dingin. Bukan untuk diminum, hanya untuk sekadar memanaskan telapak tangan yang dingin oleh angin malam—dan mungkin juga oleh kenangan.

Paman bibi datang menyusul, mengenakan sarung dan kaus oblong. Ia membawa bangku kecil, dan duduk di samping Raina tanpa banyak bicara. Lama mereka diam, hanya ditemani suara alam dan desahan napas yang pelan.

“Masih kepikiran?” tanya bi Yati akhirnya, suaranya dalam, tenang, seperti air sumur tua.

Raina tak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan mengangguk pelan.

Bibi menatap langit. “Kamu tahu, Nak… rumah tangga itu bukan cuma soal cinta. Cinta bisa datang dan pergi. Tapi rasa tanggung jawab, kesetiaan, itu yang harus dibangun… tiap hari, dari nol.”

Raina menunduk. Suaranya lirih saat menjawab, “Rain sudah berusaha, bibi. Bertahun-tahun. Tapi rasanya… saya sendirian. Aku yang ngalah, aku yang bertahan. Dia sibuk, dia dingin, dia… bahkan tak tahu Raina menangis.”

Bok yati menoleh, menatap wajah keponakannya yang pucat diterpa sinar bulan. “Laki-laki kadang nggak sadar, Raina. Mereka pikir diam itu cara mencintai. Tapi perempuan butuh dipegang, dirangkul, didengar. Kamu berhak lelah. Tapi jangan hilang arah.”

Raina menahan air mata. Ia menggigit bibir bawahnya, seperti menahan gelombang perasaan yang ingin meledak.

“Kalau semua yang aku korbankan nggak pernah dihargai, masih layak saya bertahan, bibi?”

Bik yati tersenyum samar, pahit tapi penuh kasih. “Bertahan itu bukan soal layak atau nggak. Tapi soal hati. Kalau hatimu sudah tak bisa tinggal di situ… pulanglah. Tapi kalau masih ada satu saja alasan untuk berjuang—maka jangan menyerah hari ini.”

Raina menatap Bik Yati lama, lalu memalingkan pandangan ke arah sawah. Angin malam bertiup pelan, dan di matanya, setitik air jatuh juga akhirnya.

Malam itu, di bawah langit kampung yang hening, Raina tak menemukan jawaban pasti. Tapi setidaknya, ia tak merasa sendiri lagi.

...----------------...

lknya langit kampung berwarna pucat,ut tipis yang masih menggantung di pucuk-pucuk pohon. Udara lembap dan sejuk menyelimuti rumah panggung sederhana milik Paman Kasno. Dari kejauhan, suara ayam berkokok masih terdengar samar, bersahut-sahutan dengan langkah Raina yang pelan menapaki pematang sawah.

Di kedua tangannya, ia membawa rantang berisi nasi hangat, tumis labu, dan ikan goreng—makanan kesukaan pamannya. Tubuhnya sedikit basah oleh embun, wajahnya dibingkai kerudung tipis berwarna lembut. Saat ia mendekati halaman rumah, langkahnya terhenti seketika.

Di teras rumah, seorang pria muda bersetelan rapi duduk bersila. Di sampingnya, Bibi sedang menyuguhkan teh dan pisang goreng. Raina mengenali pria itu. Dika. Asisten pribadi suaminya.

Hati Raina mencelos.

Ia tahu, kedatangan Dika pasti membawa satu pesan: waktunya kembali ke Jakarta.

Dengan tenang, ia melangkah ke teras. Dika langsung berdiri dan sedikit membungkuk sopan. “Selamat pagi, Bu Raina.”

Raina tersenyum kecil, menyembunyikan rasa kikuk yang mendadak menyelimuti. “Pagi, asisten Dika. Tumben sampai kampung.”

Bibi menoleh, tersenyum hangat pada keponakannya. “Tadi baru datang subuh-subuh. Bawa kabar dari Tuan Aditya, katanya begitu.”

Raina duduk di anak tangga teras, tangan di pangkuan, pandangan lurus ke depan. Sementara itu, Dika masih di kursi kayu, gelisah. Pisang goreng di piring kecil tak disentuh. Bibi berdiri di balik pintu, menyimak sambil melipat kain jemuran.

Suara Raina memecah keheningan, tenang tapi tak bisa menyembunyikan getirnya.

“Asisten Dika,” ucapnya pelan, “apa suamiku memang sesibuk itu? Sampai tak ada waktu sedikit pun untuk datang menjemput istrinya?”

Dika terdiam. Ia tahu pertanyaan itu tak sekadar minta penjelasan. Itu jeritan kecil dari hati yang sudah lama ditahan-tahan. Ia menunduk, menekuk jemarinya sendiri.

“Maaf, Bu...” katanya pelan, “Yang bisa saya sampaikan hanya… Tuan sedang sangat sibuk dengan pekerjaan.”

Raina menoleh, menatap langsung. Tatapannya tak tajam. Justru sebaliknya—terlalu tenang untuk tidak menyakitkan.

“Pekerjaan,” gumamnya. “Selalu pekerjaan.”

Dika menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak bicara lebih jauh. Ia tahu tentang Larasati. Tapi itu bukan haknya untuk dibeberkan, meski hatinya ingin Raina tahu bahwa dia tak sekadar ditinggal karena urusan kantor.

“Saya tidak bisa menyampaikan lebih dari itu, Bu.” Suaranya pelan. “Tuan tidak memberi penjelasan lain.”

“Tentu tidak,” Raina mengangguk kecil, senyumnya tipis. “Karena yang tidak penting memang tidak perlu dijelaskan, ya, kan?”

Bibi yang dari tadi diam akhirnya maju, duduk di sebelah Raina. Tangannya menepuk pelan bahu keponakannya.

“Sudah, Nak… luaskan hatimu, barangkali memang suamimu sedang sangat sibuk,dan banyak urusan,semuanya bisa di bicarakan dengan Kepala dingin, nanti begitu tiba di rumah." bibi mengelus punggung Raina.

Raina menoleh ke Bibi, matanya mulai berkaca. Tapi tak satu pun air mata jatuh. Sudah terlalu lama ia belajar menyembunyikan luka.

“Aku tidak butuh penjelasan panjang, Bi. Saya hanya ingin tahu… saya ini masih dianggap istri, atau cuma kewajiban yang harus dikirim pulang saat waktunya.”

Dika berdiri perlahan, merasa tidak pantas untuk tetap duduk di situ. Ia merapikan bajunya, menunduk dalam-dalam.

“Saya minta maaf, Bu Raina. Saya hanya menjalankan perintah.”

“Saya tahu, ” Raina bangkit berdiri juga. “Dan saya tidak marah sama kamu. Tugas tetap tugas. Tapi hati orang… tidak bisa dibawa seperti koper.”

Bibi mengusap pelan punggung Raina. “Kalau kamu pulang, jangan bawa semua kecewa ini di pundakmu, Nak. Letakkan di sini saja. Di rumah ini. Di kampung ini.”

Raina mengangguk. Suaranya nyaris tak terdengar. “Saya akan berkemas.”

Dika hanya bisa menatap punggung Raina yang masuk ke dalam rumah. Ia tahu, hari ini dia bukan hanya menjemput seorang istri. Tapi juga menjemput hati yang sedang belajar mempersiapkan kemungkinan paling sunyi: pulang, tapi tidak benar-benar kembali.

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!