Maya dan Leo menikah di usia yang masih belia. Persoalan rumah tangga terasa sulit dihadapi karena belum matangnya usia mereka. Hingga perceraian tak mampu mereka hindari. Kini mereka bertemu kembali. Mampukah benih-benih cinta mempersatukan mereka lagi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trio Julid
⚘⚘⚘ Jangan lupa like dan vote ya 😘⚘⚘⚘
Akhirnya bakso yang kami pesan datang juga.
"Yey... Baksonya datang!" aku bersemangat bahkan sampai bertepuk-tangan segala.
Bu Jojo dan Bu Sri hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap ajaibku.
"Kasihan ya Bu. Makanya masih muda jangan ngebet kawin. Jadi begini nih." bisik Bu sri ke Bu Jojo pelan namun aku masih bisa dengar.
"Udah ayo makan. Jangan ngerumpi dulu. Bu Jojo mau sambalnya dong."
"Jangan banyak-banyak makan cabe. Nanti bayinya rambutnya dikit." ujar Bu Jojo sambil memberikan tempat sambal di sebelahnya padaku.
"Kepanasan ya Bu?" tanyaku dengan polosnya.
"Kata orang dulu sih begitu." Ibu Sri yang jawab sambil mengaduk mangkok baksonya dengan saus dan sambal.
Aku menuang sedikit sambal lalu mengaduknya. Rasanya agak kurang gurih, mungkin karena bakso milikku tidak pakai mecin.
"Kenapa May? Enggak pake mecin kurang enak ya?" tebakan Bu Jojo selalu benar. Hebat memang jiwa emak-emak mah.
Aku mengangguk. "Baksonya sih enak. Tetelannya juga enak. Kuahnya aja yang kurang gurih."
"Sabar aja May. Nanti habis kamu brojol juga bisa makan sepuasnya. Dinikmatin aja masa-masa hamil ini." nasehat Bu Sri.
"Iya, Bu."
Kami bertiga menikmati bakso sesuai racikan masing-masing. Bu Sri yang kepedesan karena kebanyakan sambal dan Bu Jojo yang kemanisan karena kebanyakan kecap.
"Habis ini kita belanja sayur yuk di Mbak Sari. Bawang sama cabe di rumah habis nih." ajak Bu Sri.
"Enggak usah beli bawang, nanti saya bagi." jawab Bu Jojo.
"Saya enggak dibagi Bu?" tanpa malu aku minta sama Bu Jojo. Lumayan loh beli bawang aja bisa 5 ribu. Kan aku bisa lebih hemat lagi.
"Emangnya bawang kamu habis di rumah May?" tanya Bu Sri.
"Ada tinggal sedikit. Saya mah ikutan Bu Sri aja siapa tau dibagi he..he..he... Emangnya Bu Jojo punya banyak stok ya di rumah? Bu Sri aja sampai dibagi."
"Emang kamu gak tau May? Bu Jojo mah juragan bawang." kata Bu Sri membanggakan sahabatnya tersebut.
"Yang bener Bu? Ada lowongan pekerjaan gak buat saya?" kataku tanpa malu-malu.
"Kamu mau kerja May?" tanya Bu Jojo.
Aku mengangguk. "Tapi suami saya enggak kasih ijin, Bu. Kalau di rumah Bu Jojo kan deket sama kontrakkan saya, jadi saya bisa kerja tanpa sepengetahuan Leo."
"Ada sih kerjaan. Tapi kamu beneran mau May?" tanya Bu Jojo agak ragu.
Aku mengangguk lagi dengan yakin. "Mau, Bu. Maya mau nabung buat beli perlengkapan melahirkan nanti kayak popok, kain bedongan dan yang lainnya. Boleh ya Bu?"
Aku menggunakan senjata saktiku yakni mataku yang seperti anak anjing lucu nan berbinar-binar. Tak ada yang bisa menolakku jika kukeluarkan kesaktianku itu.
"Kerjaannya ngupasin bawang. Memang kamu kuat? Berkarung-karung loh. Udah gitu cuma diupahin 8 ribu tiap karungnya." Bu Jojo menjabarkan kerjaan yang akan aku lakukan nantinya.
"Dibayarnya tiap hari Bu?"
"Terserah kamu, May. Mau harian atau mingguan atau juga bulanan saya sih enggak masalah. Tapi kamu siap gak ngupasin bawang? Takutnya kamu mual kan kamu lagi hamil." jawab Bu Jojo.
Aku mempertimbangkan kembali keputusanku. 8 Ribu memang sedikit tapi kalau aku bisa kupasin sehari 2 atau 3 karung aku kan lumayan. Bisa aku tabung buat beli perlengkapan bayi.
"Mau, Bu. Tapi jangan bilang sama suami Maya ya?"
"Beneran? Ah nanti saya kena getahnya lagi kalau Maya sama suaminya berantem." Bu Jojo pun angkat tangan.
"Tenang aja Bu. Saya mainnya rapi. Sebelum suami saya pulang udah saya rapihin. Jadi Dia enggak akan tau kalau selama ini saya kerja." kata ku beralasan.
"Terserah kamulah May. Pokoknya, saya enggak mau ikut-ikutan kalau sampai suami kamu marah." kata Bu Jojo.
"Ah, biarin aja lah Leo marah. Kan kita sebagai seorang ibu pasti pengen dong kasih yang terbaik buat anak kita nanti. Apa salahnya kalau misalnya aku pengen membelikan perlengkapan bayi yang bagus juga kan? Aku nggak mau jadi perempuan yang cuma bisa bergantung sama suami aja."
Duo Julid lalu bertepuk tangan. Mereka salut dengan pendirianku dan pola pikir ku.
"Nah... Itu baru namanya perempuan mandiri. Saya dukung!" kata Bu Jojo.
"Saya juga!" kata Bu Sri tak mau kalah.
" Ya udah, mulai besok kamu boleh kerja di tempat saya. Nanti saya akan suruh anak buah saya untuk mengantarkan satu karung dulu ke kamu. Kalau kamu kuat ngerjain 1 karung dan kamu mau nambah lagi kamu tinggal bilang aja nanti sama karyawan saya. Ia akan membawakan lagi bawang yang belum kamu kupas. Gimana?"
"Setuju Bu Boss!"
"Ah bisa aja kamu mujinya. Udah yuk kita ke tukang sayur. Saya mau masak buat keluarga saya nih." Bu Jojo lalu bangun dan membayar bakso, patungan dengan Bu Sri yang juga membayariku minuman.
Aku masih tidak menyangka dengan kedekatanku dengan ibu-ibu Julit ini. Makan bakso bareng, belanja bareng dan ngobrol bareng. Mereka baik kok. Akunya aja yang dulu udah mikir jelek tentang mereka.
Sambil menenteng belanjaan, kami berpisah di depan rumah Ibu Sri. Hatiku sudah tidak segusar tadi. Aku lihat motor Leo sudah ada di depan rumah yang artinya Leo sudah pulang.
Baru saja aku membuka pintu dan masuk ke dalam rumah tatapan kilat Leo seakan menyelidik dan mengintimidasi ku.
"Dari mana aja kamu? Jangan bilang kamu ngegosip ya di tukang sayur." kata Leo dengan judesnya.
"Aku nggak ngegosip kok di tukang sayur. Aku habis jalan-jalan di taman menenangkan diri. Habis itu aku makan bakso deh dan belanja sayuran." Aku berjalan ke dapur diiringi dengan tatapan curiga dari Leo.
Aku pikir interogasi yang Leo lakukan udah selesai, ternyata tidak loh. Leo menutup laptop yang tadi Ia pegang lalu berjalan mengikutiku ke arah dapur.
"Makan bakso sama siapa? Bukannya selama ini kamu tuh bener-bener ngirit ya sampai nggak mau jajan sama sekali." masih dengan nada mencurigai.
"Sama ibu-ibu. Aku ditraktir makanya aku mau makan. Kalau keluar duit sendiri sih aku juga ogah, lebih baik uangnya aku tabung buat biaya persalinanku."
"Jangan bohong deh, mana mungkin kamu temenan sama ibu-ibu? kamu pasti pergi kan sama cowok lain?"
kenapa Leo Jadi curiga kayak gini ya? padahal aku beneran loh pergi sama ibu-ibu.
"Jangan mulai nyari masalah deh. Aku beneran pergi sama Ibu Sri dan Ibu Jojo. Kalau kamu enggak percaya, ayo aku anterin ke rumah mereka biar kamu tahu kalau aku tuh nggak bohong. Aku pikir kamu tadi pergi nenangin diri juga sama kayak aku. Ternyata setelah kamu pulang kamu malah nyari gara-gara lagi sama aku. Mau kamu apa sih? Kamu enggak ngebolehin aku kerja, bahkan aku pergi keluar ke taman aja kamu nggak ngasih izin. Emangnya aku tuh burung yang harus ada di dalam sangkar terus? Aku bosen Leo." kataku dengan emosi. Tanpa kusadari lagi-lagi aku menangis. Ah kenapa aku cengeng banget ya semenjak kami. Aku jadi makin Mellow. Sebentar-bentar nangis.
"Kamu pikir aku mau hidup seperti ini? Aku juga maunya hidup enak dan bisa ngajak kamu jalan-jalan kayak dulu. Bukan hidup serba kekurangan kayak sekarang!" kata Leo dengan nada tinggi dan membentakku.
Aku menggelengkan kepalaku. Tak percaya kalau Leo sudah berubah. Kenapa sekarang Leo sering sekali bicara dengan nada tinggi padaku? Apa Ia sudah tidak mencintaiku lagi?
"Ada apa sama kamu Leo? Kamu berubah! Kenapa kamu jadi tempramental sama aku? Apa salah aku?" Aku melepaskan plastik belanjaanku yang sejak tadi kupegang dengan kesal. Aku berlari ke kamar dan menangis sesegukan.
Sejak menikah dengan Leo sudah bukan pertama kalinya aku dibentak-bentak. Leo benar-benar sudah berubah. Ia tak lagi mencintaiku. Apa memang ini sifat aslinya?
Sadar akan kesalahannya, Leo langsung menghampiriku.
"May..... Aku minta maaf sama kamu.... Aku... Aku enggak bisa ngendaliin diri aku. Aku lagi ada masalah di kantor. Dan aku emosi ngeliat kamu yang terus membantah setiap perkataanku. Maafin aku, May. Maaf...."
Aku tak menggubris perkataan Leo. Aku sudah terlanjur kesal. Walaupun Ia ada masalah di kantor bukan berarti Ia bisa seenaknya membentak-bentakku seperti itu.
Tak juga mendapat respon dariku, Leo pun membiarkanku menenangkan diri dulu. Aku mendengar Leo berkutat di dapur. Entah apa yang Ia lakukan.
Kebanyakan menangis membuatku mengantuk. Aku pun jatuh tertidur dan bangun saat mencium wangi masakan.
"Sayang, makan dulu yuk. Aku udah masak nih." Leo menghidangkan makanan yang Ia masak dan menaruhnya di depan TV tempat kami biasa makan. Ia mengambil piring dan gelas untuk minum.
Leo menghampiriku dan menepuk lembut bahuku. "Ayo makan dulu. Inget kamu lagi hamil, butuh asupan ekstra untuk anak kita."
Aku tidak bisa berpura-pura tidak mendengarnya. Aku bangun dari tidurku dan duduk dalam diam di tempat tidur.
"Maafin aku ya. Aku udah terlalu curiga sama kamu. Lain kali kalau aku bentak kamu lagi kamu langsung tampar aja muka aku ya." suara Leo kali ini amat lembut. Leo kembali jadi suamiku yang kukenal.
"Enggak mau kamu kayak gitu lagi pokoknya." aku menggelengkan kepalaku lagi dan menetes lagi air mataku.
"Iya, aku janji. Ayo kita makan, nanti keburu dingin. Aku enggak tau enak apa tidak masakanku. Kalau gak enak jangan dipaksa ya."
Aku pun duduk di depan makanan yang Leo hidangkan. Ada telur dadar dan tahu goreng. Menu yang sederhana.
"Aku suapin ya." tanpa menunggu ijin dariku Leo pun menyuapiku. "Enak gak?"
"Enak, cuma agak asin dikit aja."
"Ah masa?" Leo mencicipi telur dadar buatannya dan mengakui kalau memang keasinan. "Aku buatkan lagi ya?"
"Enggak usah. Kalau pakai nasi jadi enggak begitu asin." tolakku. Kasihan Ia sudah berusaha memasakkanku. "Memangnya kamu ada masalah apa di kerjaan kamu?"
"Jadi kemarin tuh ada Hp pelanggan yang jatuh. Aku sudah dititipkan ke resepsionis tapi ternyata resepsionisnya memberikan kepada pacarnya. dan pelanggan itu marah. Entah apa yang dilihat sama pacarnya, mungkin foto Ia dengan selingkuhannya? yang pasti mereka jadi bertengkar hebat. Bukan kesalahanku sih, seandainya aja aku nggak kasih ke resepsionis mungkin mereka nggak akan bertengkar. Aku tidak akan disalahkan jadinya oleh managerku."
"Terus gimana kelanjutannya? Apakah pelanggan itu memperpanjang masalahnya?" tanyaku penasaran.
"Baru aja aku dapat info kalau semalam sudah diselesaikan baik-baik. Maaf ya jadi kamu kena pelampiasan amarahku. Maklum saja aku baru kerja jadi belum pengalaman ngadepin masalah."
"Sudahlah nggak usah kita bahas lagi. Aku juga salah karena pergi tanpa ijin dulu sama kamu. Maafin aku juga ya." kataku mengakui kesalahanku.
Kami pun saling memaafkan. Semudah itu bertengkar dan semudah itu pula kami saling memaafkan.
******
"May, Maya!" Ibu Jojo memanggil namaku dari depan rumah.
Aku berjalan ke pintu dan membukakan pintu. Kulihat Bu Jojo sedang menenteng satu karung bawang merah.
"Loh kok Bu Jojo yang nganterin sendiri? Katanya mau anak buahnya Bu Jojo yang anterin. Kan Maya jadi nggak enak nih Bu. Maya bisa ambil sendiri kok."
"Ya janganlah May. Kamu kan lagi hamil. Kamu tuh nggak boleh ngangkat yang berat-berat nanti kamu bisa flek. Bahaya ah. Saya nggak mau kamu nanti kenapa-napa, bisa saya yang kena diomelin sama suami kamu." Bu Jojo meletakkan karung bawang di teras rumah kontrakanku.
"Udah tau belum cara ngupas nya?" tanya Bu Jojo lagi.
"Udah tau, Bu. Kan setiap hari aku juga masak dan ngupas bawang." jawabku sok tau.
"Yeh dasar ya bocah. Beda tau. Yang kamu kupas tuh paling cuma 10 biji. Ini sekarung Neng. Pakai sarung tangan dan pakai pisau kecil ini. Saya sudah duga kamu belum tau caranya jadi saya bawain sekalian sama sarung tangannya." Bu Jojo memberikan sarung tangan dan pisau kecil padaku.
"Kenapa harus pakai sarung tangan, Bu?"
"Biar tangan kamu enggak bau dan tidak hitam. Kan kamu bilang jangan sampai suami kamu tau. Kalau tangan kamu sampai bau dan hitam bisa curiga Dia." jawab Bu Jojo dengan sabar.
"Makasih banyak ya Bu udah ajarin Maya yang oon-nya nggak ketulungan he..he...he..."
"Tumben ngaku. Biasanya juga ngeyel. Kemarin kemana seharian enggak keluar?" tanya Bu Sri yang ikut nimbrung melihat aku dan Bu Jojo yang sedang mengobrol.
"Paling lagi ehem-ehem, Bu. Kayak Bu Sri nggak pernah muda aja." celetuk Bu Jojo.
"Ehem-ehem tuh apa ya?" tanyaku bingung.
"Main maksudnya." kata Bu Sri menjelaskan tapi aku masih belum mengerti.
"Main? Maya enggak main kemana-mana kok kemarin." jawabku dengan polosnya.
"Tuh kan kumat lagi Oon-nya nih anak. Ehem-ehem alias main alias kawin. Sekarang ngerti enggak?" kata Bu Jojo sambil meledekku.
"Oh... Kawin. Enggak kok. Kemarin enggak ehem-ehem. Maya lagi berantem sama Leo makanya enggak keluar rumah."
"Kalau kawin aja nih anak cepet. Dasar bocah! Berantem kenapa?" jiwa julid Bu Sri keluar lagi.
"Kepo." jawabku yang disambut dengan tawa Bu Jojo dan aku menertawakaj Bu Sri yang memanyunkan bibirnya.