NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ezra sakit

Elara menggendong Rafa dengan hati-hati saat turun dari mobil Arsenio dan  berhenti di halaman rumah besar keluarga Mahesa. Lampu teras sudah menyala, suasana rumah tenang.

“Hati-hati, El,” ucap Arsen pelan sambil membuka pintu lebih lebar.

“Iya,” balas Elara singkat.

Rafa masih tertidur lelap. Kepala kecilnya bersandar di bahu Elara, napasnya teratur, sesekali menggerakkan bibir seperti sedang bermimpi. Elara melangkah masuk, mengikuti Arsen menuju kamar tamu di lantai bawah yang memang disiapkan khusus untuk Rafa jika menginap.

Ia menurunkan tubuh kecil itu perlahan ke kasur, menarik selimut tipis, lalu merapikan posisi bantal. Rafa bergerak sedikit, tapi tidak terbangun.

“kak el…” gumam Rafa lirih.

“sst ka El disini,tidur lagi ya” bisik Elara sambil mengelus rambutnya.

Arsen berdiri di ambang pintu, menyaksikan pemandangan itu tanpa berkata apa-apa. Dadanya terasa aneh—hangat, tapi juga sesak. Elara selalu seperti itu. Perhatian kecil, tapi tulus. Tanpa sadar, hal-hal seperti itulah yang membuatnya semakin sulit bersikap biasa.

Setelah memastikan Rafa benar-benar tidur, Elara berdiri dan menutup pintu pelan-pelan. Mereka berjalan ke ruang keluarga, hanya diterangi lampu temaram.

Akhirnya… ada waktu untuk berdua.

Itu yang terlintas di benak Arsen.

Elara duduk di sofa, menghela napas pelan. “Capek juga ya,” ucapnya sambil tersenyum kecil.

Arsen duduk di seberangnya. Ia membuka mulut, berniat mengatakan sesuatu—tentang perasaan yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya, tentang rasa cemburu yang bahkan ia sendiri tak sepenuhnya pahami.

Namun sebelum satu kata pun keluar, ponsel Elara yang tergeletak di sampingnya bergetar.

Arsen melirik layar itu.

Nama Ezra terpampang jelas.

Decakan kecil keluar dari mulut Arsen tanpa ia sadari.

Elara mengambil ponselnya. “Halo, Ez?”

Suara dari seberang terdengar serak dan lemah. “Ell…” rengek Ezra.

Alis Elara langsung mengernyit. “Kok suara kamu beda, Ez?”

“Gue lagi sakit,” jawab Ezra, suaranya dibuat-buat lebih lemah. “Badan gue nggak enak… huhu…”

Arsen yang mendengar itu refleks mengernyit jijik. “Drama,” gumamnya pelan.

Dari seberang terdengar suara lain, lebih nyaring. “Ell, nggak usah diturutin. Manja banget nih anak,” celetuk Kairo.

“Diem lo, Ireng!” bentak Ezra kesal.

Elara sedikit tersenyum, tapi raut wajahnya tetap khawatir. “Kalian lagi di rumah Ezra?”

“Iya,” jawab Kairo cepat.

“Plis ya, El,” lanjut Ezra, nada suaranya berubah lebih memelas. “Ke rumah gue ya. Masa lo nggak mau ngurusin sahabat kecil loh sendiri sih.”

Elara terdiam sejenak. Ia melirik Arsen tanpa sadar.

“Iya, aku ke sana. Tunggu ya,” ucap Elara akhirnya.

Telepon ditutup.

Keheningan langsung menyelimuti ruangan.

Elara menatap Arsen yang sejak tadi menatapnya dengan ekspresi tenang, terlalu tenang malah.

“Nio…” panggil Elara pelan.

“Hm?” jawab Arsen singkat.

“Aku mau ke rumahnya Ezra,” ucap Elara hati-hati. “Kamu mau ikut?”

Arsen menghela napas kecil. “Kenapa lagi dia?”

“Katanya sakit.”

“Cuma sakit biasa, kan?” tanya Arsen, nadanya datar tapi sorot matanya tajam.

“Tapi kasihan, Nio. Dia sahabat kita,” jawab Elara jujur.

Arsen memalingkan wajah sesaat. Rahangnya mengeras. Dalam hati, ada sesuatu yang berontak—bukan pada Ezra karena sakitnya, tapi pada kenyataan bahwa Elara selalu datang saat Ezra memanggil.

“Ckk,” Arsen mendecak pelan. “Yaudah. Ayo.”

Elara menoleh cepat. “Kamu ikut?”

“Iya,” jawab Arsen singkat. “Gue ikut.”

Elara tersenyum kecil. “Makasih.”

Arsen berdiri lebih dulu, mengambil kunci mobil. Sebelum keluar, ia menoleh ke arah kamar Rafa. “Rafa aman. Pembantu bakal ngecek.”

“Iya,” balas Elara.

Perjalanan menuju rumah Ezra terasa lebih sunyi dari biasanya. Elara duduk di kursi penumpang depan, sesekali memainkan ujung sabuk pengaman. Arsen fokus menyetir, tapi pikirannya bercabang ke mana-mana.

“Ezra sering manja gitu ya kalau sakit,drama banget tuh anak" celetuk Arsen tiba-tiba.

Elara menoleh. “Hah? Iya sih. kan dia dari dulu emang gitu”

“Hm.”

Jawaban Arsen pendek, tapi Elara bisa merasakan nada tidak suka di sana.

“Kamu kenapa sih, Nio?” tanya Elara akhirnya. “Sejak tadi kamu keliatan kesel.”

“Enggak.”

“ tapi Keliatanya gitu,” bantah Elara pelan.

Arsen terdiam. Lampu jalan memantul di kaca mobil, menyoroti wajahnya yang tegang. “aku cuma… lagi capek.”

“Oh,” Elara mengangguk. “Maaf kalau aku bikin kamu ngerasa gitu.”

Arsen meliriknya sekilas. “Ini bukan salah kamu.”

Tapi juga bukan sepenuhnya bukan.

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Ezra. Lampu rumah menyala terang, suara tawa Kairo dan Leonhardt terdengar dari dalam, kontras dengan drama sakit yang tadi didengar Elara lewat telepon.

Elara membuka pintu dan turun. “rame bangett ya?” gumamnya.

Arsen turun menyusul, menutup pintu mobil dengan sedikit lebih keras dari biasanya.

Di dalam rumah, Ezra terlihat duduk di sofa dengan selimut menutupi setengah tubuhnya. Begitu melihat Elara, ekspresinya langsung berubah dramatis.

“Elll,” panggil Ezra begitu melihat Elara mendekat.

Elara melangkah menghampiri sofa tempat Ezra duduk berselimut. Alisnya sedikit berkerut melihat wajah Ezra yang tampak pucat—atau setidaknya berusaha terlihat pucat.

“Ezra, kamu sakit apa sih?” ucap Elara, nadanya khawatir tapi lembut.

Ezra mengangkat tangan lalu menunjuk dahinya. “Pusing.”

“Bohong,” celetuk Kairo tanpa dosa dari kursi seberang.

Ezra melirik tajam ke arahnya. “Lo diem napa.”

Elara mendesah kecil, tapi tetap duduk di sisi Ezra. “Kenapa bisa pusing?”

Ezra menghela napas panjang seolah kisahnya berat sekali. “Gue kemarin kehujanan. Waktu beliin mamah makanan.”

Elara langsung menoleh. “Hujan-hujanan?”

“Iya,” jawab Ezra lirih. “Mamah lagi ngidam. Gue disuruh beliin makanan yang mama mau”

“Kamu tuh,” Elara menggeleng pelan. “Harusnya nunggu hujan reda.”

“Gak bisa,” bantah Ezra cepat. “Nanti mamah marah.”

“Terus kamu malah sakit,” gumam Elara.

“Udahlah, Ell,” potong Ezra, nadanya melembut. “Jangan dimarahin.”

“Siapa juga yang marahin kamu,” balas Elara. “Aku nanya doang.”

Arsen yang berdiri tak jauh dari mereka sejak tadi menyilangkan tangan. Tatapannya tak lepas dari Elara—atau lebih tepatnya, dari jarak Elara yang terlalu dekat dengan Ezra. Dadanya terasa mengencang, perasaan yang sama kembali muncul, menolak untuk ditekan lebih lama.

“Kamu udah makan?” tanya Elara sambil refleks mengelus dahi Ezra.

“Belum~” rengek Ezra manja.

Detik itu juga, keempat cowok lain yang ada di ruangan—Arsen, Kairo, Kaizen, dan Leo—sontak menunjukkan ekspresi yang sama.

Mual.

“Ez, gue jijik banget tau gak liat lo kayak gini,” ucap Kaizen terang-terangan.

Ezra mendengus. “Ngapa? Iri lo karena gak diperhatiin El?”

“Najis,” sahut Leo singkat.

Elara menahan senyum, lalu berdiri ketika seorang pembantu datang membawa semangkuk bubur hangat. “Udah, sini,” ucap Elara sambil menerima mangkuk itu. “aku suapin.”

Belum sempat Elara duduk kembali, tangan Arsen tiba-tiba mengambil mangkuk tersebut.

“Biar gue aja,” ucap Arsen tenang tapi tegas.

Semua mata langsung tertuju padanya.

“Hah?” Elara menoleh kaget. “Nio—”

“Lo capek,” potong Arsen. “Baru pulang juga.”

Ezra langsung bereaksi. “Ehh, gue gak mau ya disuapin sama si Arsen.”

“Kenapa?” tanya Arsen santai.

“Ya… gak mau aja.”

Leo menyeringai. “Tumben banget lo, Sen, mau nyuapin tuh anak.”

Arsen melirik sekilas ke arah mereka, lalu tersenyum tipis—senyum yang jelas bukan senyum ramah. “Kan kita sahabat kecil.”

Ia mengedipkan mata ke arah Kairo, Kaizen, dan Leo.

Mereka bertiga langsung saling pandang, lalu senyum lebar seolah baru menangkap maksud tersembunyi Arsen.

“Ohhh iya,” sahut Kairo cepat. “Kita sahabat kecil. Harusnya perhatian dong sama Ezra.”

“Iya kan,” sambung Kaizen.

Arsen duduk tepat di depan Ezra, mengambil sendok, lalu menyendok bubur dengan porsi yang… tidak kecil.

“Sini,” ucap Arsen.

Ezra melotot. “Ehh itu kebesaran!”

“Ssst,” sela Kaizen. “Katanya mau cepet sembuh.”

Arsen mendekatkan sendok ke mulut Ezra tanpa ragu. “Buka.”

Ezra terpaksa membuka mulut, walau wajahnya jelas tidak rela. Begitu sendok masuk, ia langsung mengernyit.

“Ini kebanyakan!”

“Makanya harus cepet sembuh" balas Arsen datar.

“Tapi gue maunya disuapin El,” protes Ezra.

Arsen menatapnya lurus. “Si El lagi capek. Baru pulang dari kebun binatang. Jadi kita yang urusin. Oke?”

Nada suaranya terdengar tenang, tapi ada tekanan di sana—cukup untuk membuat Ezra terdiam.

“Kok ke kebun binatang gak ngajak-ngajak,” gumam Ezra kesal.

“Kan lo lagi sakit, dodol,” jawab Kaizen cepat.

Leo berdiri sambil mengambil obat dari meja. “Udah. Minum obat dulu.”

Elara yang sejak tadi memperhatikan wajah Ezra—yang kini tampak tertekan dan sedikit kesal—tersenyum tipis. Ada rasa bersalah di sana.

“Sini,” ucap Elara akhirnya. “Aku aja yang bantu Ezra minum obat.”

“Eh, gak usah,” sahut Kairo cepat.

Elara menoleh bingung. “Kenapa?”

“El,” ucap Kairo lebih lembut. “Lo pasti capek. Duduk aja. Biar Ezra kita yang urusin.”

“Iya,” sambung Leo. “Bener.”

Elara ragu sejenak. Ia menatap Ezra yang menatapnya balik—tatapan memelas, seolah minta diselamatkan.

“Beneran nih?” tanya Elara pelan.

Ezra hendak membuka mulut, tapi Arsen lebih dulu bicara. “Bener.”

Nada Arsen tegas, tanpa ruang bantahan.

Elara akhirnya mengangguk. “Yaudah…”

Ia duduk sedikit menjauh, sementara Arsen mengambil obat dan segelas air. “Minum,” ucapnya singkat.

Ezra mendengus, tapi menuruti.

Dari kejauhan, Elara memperhatikan pemandangan itu—empat cowok yang ribut mengurusi satu orang sakit. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga sesuatu yang aneh… terutama saat melihat Arsen.

Tatapan Arsen tidak pernah lepas darinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!