Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir dilecehkan pacar
Suasana hati Bianca menjadi sangat buruk setelah semalam dirinya juga Kaivan berdebat, sebenarnya hanya Bianca saja yang terus berbicara ini itu, sedangkan Kaivan sendiri sudah berkali-kali menyuruhnya untuk tidur. Tapi karena ia marah mendengar Kaivan mengatakan jika dirinya dijadikan alat untuk balas dendamnya, ia mengamuk dengan menyumpah serapahi Kaivan, ia bahkan tidak segan memukul tangan Kaivan yang masih belum terlalu sembuh pasca terjatuh dari tangga.
Padahal Bianca melihat jelas bagaimana Kaivan mencoba menahan rasa sakitnya ketika ia memukul tepat dimana letak cederanya, Bianca awalnya menyangka jika cedera di tangan Kaivan sudah sembuh karena ia melihat kedua tangannya sudah dapat menggenggam tongkat, jadilah ia memukul tangannya.
Sebenarnya Bianca tidak mau tahu apapun tentang Kaivan, entah itu hal yang dialaminya ataupun tentang dirinya, tapi memang Kaivan sendirilah yang bercerita jika dirinya sempat terjatuh dari tangga darurat dan itu membuat lengannya terkilir hingga mengalami sedikit pembengkakan.
"Pagi-pagi udah cemberut aja,"
Tiba-tiba Alden duduk di kursi sebelahnya dan menatap Bianca yang masih cemberut.
"Ada apa?" tanya Alden lembut.
Bianca menggelengkan kepalanya, "aku gak tau, tiba-tiba aja pas bangun pagi aku langsung badmood," jawab Bianca dengan nada lemahnya.
"Kamu kemaren kemana aja seharian gak bisa aku hubungi?" tanya Bianca teringat kejadian kemarin siang ketika Alden membatalkan makan bersama dan berakhir tidak bisa dihubungi sampai malam.
Alden terkekeh kecil, "ada acara keluarga, ponselnya di pinjam sama adik sepupu aku yang masih kecil," jawab Alden.
Bianca mengangguk percaya, memang pada dasarnya Bianca itu memiliki sifat yang mudah percaya dengan orang lain, sehingga dulu ketika ia masih semester tiga banyak teman-temannya yang ingin berteman dengannya, dengan senang hati, Bianca menerima mereka, dan terjadilah pada awal semester empat, jika mereka meminta dirinya untuk menjadi teman mereka karena untuk dijadikan ATM mereka, yang waktu itu ia memang terlihat seperti orang kaya, karena diantar sepupu laki-lakinya ke kampus setiap hari.
"ada bimbingan hari ini?" tanya Alden yang diangguki Bianca dengan lesu, sungguh ia benar-benar tidak bisa mengembalikan moodnya kembali bagus. Suasana hatinya terlalu kacau dan otaknya terlalu banyak memikirkan hal yang terjadi semalam.
Bianca melirik Alden begitu ia mendengar suara sering ponsel berbunyi cukup nyaring di tempat yang sepi ini, Bianca memperhatikan raut wajah Alden ketika ia melihat siapa yang menelponnya.
"Aku angkat telpon dulu, ya!" izin Alden yang tentu saja diangguki Bianca.
Alden langsung bangkit dan sedikit menjauh dari Bianca, setelah berdiri cukup jauh di depan Bianca, Alden langsung menempelkan ponselnya ke telinga.
Bianca tidak peduli dengan siapa Alden berbincang di ponsel sampai membuat Alden tertawa, ia juga tidak peduli dengan Alden yang tampak menikmati perbincangannya, tapi ketika suara Alden yang samar-samar terdengar di telinganya, Bianca tidak bisa untuk tidak peduli lagi, ia berusaha menanamkan pendengarannya lagi agar ia bisa mendengarnya dengan jelas.
"Oke, setelah aku pulang dari kampus, aku beliin lagi alat untuk pumpingnya,"
"Pumping?" lirih Bianca kebingungan, ia tidak salah dengar kan? untuk apa Alden membeli pumping? bukankah itu alat untuk seorang ibu yang sedang menyusui ya? Semua pertanyaan-pertanyaan mulai berkumpul pada pikiran Bianca.
"Apa itu untuk saudaranya yang lain?" tanya Bianca lagi dengan pandangan menerawang.
"Untuk saudara yang lain apa?" tanya Alden tiba-tiba yang sudah duduk kembali di samping Bianca, Bianca menoleh, ia memperhatikan wajah Alden yang lebih berseri-seri daripada sebelum ia menerima telpon tadi.
"Apa ada yang aneh dengan wajahku?" tanya Alden menyadarkan Bianca yang malah melamun sambil menatap wajahnya.
Bianca langsung tersadar begitu hidung Alden sudah menyentuh hidung miliknya, cepat-cepat ia menjauhkan wajahnya dari wajah Alden, ia bahkan tidak sadar kapan Alden mendekatkan wajahnya, pikirannya sedang melayang ke mana-mana.
"Ada apa?" tanya Alden mengerutkan dahinya tidak suka.
"Tidak ada, aku hanya gugup kita terlalu dekat," ucap Bianca sedikit canggung. Ia terkejut karena sebelumnya ia tidak pernah berasa sedekat itu denga wajah laki-laki dan itu sedikit membuatnya tidak nyaman.
"Gugup kenapa?" tanya Alden dengan suara rendahnya, dan itu sukses membuat Bianca merinding mendengarnya, ditambah lagi, Alden kembali mendekatkan wajahnya, Bianca diam, tubuhnya tiba-tiba saja menjadi kaku, ia ingin menjauhkan diri dari Alden tapi rasanya seluruh saraf di tubuhnya mati.
"Alden," barulah ia langung mendorong wajah Alden begitu hidung mereka kembali bersentuhan dan tinggal beberapa inci lagi, bibir mereka bertemu.
Alden menatap Bianca tidak suka, ia tidak suka di tolak, menurutnya tolakkan itu sama dengan penghinaan kepada dirinya.
"Kenapa?" tanya Alden dengan kedua alis yang menukik tajam.
Bianca menggulingkan kepalanya, ia tidak tahu mengapa reaksi tubuhnya menolak Alden, membuat dirinya menjadi was-was terhadap Alden.
"Kau menolakku?" tanya Alden dengan suara rendahnya.
Lagi-lagi Bianca hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak bermaksud menolaknya, tapi ia juga tidak tahu ada apa dengan reaksi tubuhnya bahkan di dalam hatinya ia merasa tidak nyaman dengan kedekatan dirinya dan Alden tadi.
"Jawab, Bianca!" Alden menekankan ucapannya membuat Bianca menjawabnya dengan sedikit gagal.
"A-aku tidak t-tau harus seperti a-apa," jawab Bianca memalingkan pandangannya. Rasanya ia ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Alden yang menatap dirinya marah.
Ia tahu, Alden pasti marah karena merasa dirinya ditolak, tapi Bianca juga tidak bisa diam saja, tubuh juga hatinya menolak, bahkan otaknya terus saja menggumamkan kata tidak seharusnya mereka sedekat itu. Jadi apa yang harus Bianca lakukan.
"Kamu tinggal menerimanya, Lauren, tidak perlu melakukan apapun," balas Alden dengan nada yang terdengar sedang menahan emosinya sendiri agar tidak meledak langsung di hadapan Bianca.
"Kita itu sudah pacaran, apa lagi yang harus kamu takuti?" tanya Alden dengan tangan yang menyentuh pipi Bianca.
Alden benar, mereka sudah menjadi sepasang kekasih, tapi entah mengapa semua yang ada di dalam dirinya menolak sentuhan dari Alden, bahkan jantungnya sudah berdegup kencang, bukan karena gugup atau efek dari sentuhan orang yang dia sukai, tapi ia sedang merasa takut sekaligus khawatir.
"Rileks!"
Tubuh Bianca langsung bergetar ketika Alden kembali mendekatkan wajahnya, ia ingin kabur, melepaskan diri dari Alden, tapi tubuhnya kaku dan ia berakhir hanya diam dengan harapan ada seseorang yang melihatnya, sehingga Alden akan menghentikan aksi gilanya.
Bianca menghembuskan napas lega begitu suara sering ponsel milik Alden kembali berbunyi nyaring, dengan wajah penuh rasa marah, Alden kembali menjauhkan tubuh mereka dan melihat siapa penelpon yang membuatnya terganggu.
"Aku harus pergi," ucap Alden langsung bangkit dan pergi meninggalkan Bianca yang menatap lega kepergian Alden.
"Apa yang kalian lakukan?"
Bianca menoleh, dan matanya membelalak tidak percaya begitu ia melihat pria di belakangnya berdiri bersama seorang wanita yang menatap dirinya datar.