Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Family's Dinner Part 2
Bisa saja, bisa saja Vanya mengikuti alur kuat gairah yang mulai merayap pada pusat intimnya, mengikuti gerak bibir Rendra dan menjelajahi kenikmatan bersama suami pura-puranya ini. Seperti halnya yang dikatakan oleh Rendra, dia juga wanita normal, dia juga merasakan gairah bergelora apalagi ditambah dengan wajah tampan Rendra yang menawan itu, siapa yang tidak akan takluk dan berlutut hanya untuk mendapatkan kepuasan dari Sang Rendra Adiatmaharaja.
"Aku tidak bisa!" Vanya mendorong tubuh Rendra lantas ia melangkah menjauh dari Rendra, berusaha memadamkan kobaran api yang bergelora di setiap nadinya. Vanya memalingkan wajahnya, malu jika ketahuan wajahnya memerah karena bibir mereka yang sempat bertaut sebelumnya.
Mendapat penolakan dari Vanya, seharusnya Rendra marah, seharusnya ia menarik Vanya ke dalam pelukannya, dan menuntaskan hasratnya. Namun, kenyataan lagi-lagi mendobrak angan-angan Rendra. Terakhir kali saat memaksakan ciumannya di depan kantor Vanya, ada perasaan sesal dan sedikit cemas. Seorang Rendra ... cemas? Ya. Perasaan aneh itu menggelayuti hatinya hingga hari ini.
Namun, Vanya selalu punya cara tersendiri untuk membuat gairah dalam diri Rendra bangkit dan menginginkannya lebih dan lebih. Jika saja iblis dalam dirinya lebih kuat, habis Vanya pada malam pertama mereka sampai di rumah ini.
"Buat dirimu lebih baik, jangan sampai memalukan." Hanya itu perkataan yang muncul dari bibir Rendra, ia berbalik dan melangkah keluar dari fitting room. Meninggalkan Vanya sendirian dengan degup jantung yang masih tidak karuan.
"Apa dia marah?" gumam Vanya sembari menoleh ke arah pintu, ia sudah tak mendapati Rendra ada di tempat itu.
Ia pun menghela nafas dengan lega, ya ampun, sudah berapa kali hari ini hatinya dibuat berdebar-debar dengan kacau begitu. Dalam hidupnya ia belum pernah merasakan hal yang seperti ini. Selain jantungnya yang terasa seperti ada kelainan, tampaknya perutnya juga terasa aneh, ia merasa tergelitik geli padahal tidak ada yang sedang menggelitikinya.
"Aku ini kenapa?" tanyanya pada diri sendiri sembari memegangi wajahnya yang masih panas. "Dia benar-benar pria tua mesum!" Vanya menggerutu, ia benar-benar berusaha untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.
**
Selesai merapikan rambutnya dan memastikan bahwa make up-nya malam ini tidak berlebihan, Vanya mematut dirinya lagi di cermin. Melihat pantulannya sendiri, seorang gadis yang tingginya tak lebih dari 160 cm, rambutnya ia biarkan terurai bergelombang hingga ke pinggangnya yang ramping. Pakaian yang dipilihkan oleh Rendra itu pun begitu pas di tubuhnya dan terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya yang sangat putih.
Vanya mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan lipstik merah yang ia gunakan tidak berantakan. Setelah memastikan semuanya perfect menurutnya, ia pun melangkah keluar—dengan ada ketidapercayaan diri di dalam hatinya.
Ya, sepanjang sore ia telah memikirkan skenario palsu di dalam otaknya. Bagaimana nanti jika keluarga suaminya itu tidak menyukainya, karena pada dasarnya mereka ingin menikahi putri sah keluarga Murya bukan putri angkat yang latar belakangnya tidak diketahui ini.
Helaan nafas keluar dari bibir Vanya, apapun yang terjadi ia harus tetap menghadapinya. Ia bisa menghadapinya, pasti. Lantas Vanya pun keluar dari kamarnya, dan mendapati Rendra sudah menunggu di depan pintu kamarnya.
"Sudah lama nunggu aku, Mas?"
"Bukankah perempuan memang selalu lama, apa bedanya semenit atau dua menit," ketus Rendra.
Mendengar Rendra sudah bicara seperti biasanya—ketus dan acuh tak acuh, Vanya menduga jika pria itu tidak mempersoalkan adegan panas mereka di dalam fitting room.
"Bagaimana penampilanku?" tanya Vanya sembari memutar tubuhnya di depan Rendra.
Pria itu, ia menyandarkan tubuhnya di pembatas, memperhatikan sang istri yang dengan ceria menunjukkan setiap lekuk tubuh dalam balutan gaun satin berwarna merah anggur itu. Sorot matanya menelusuri lekuk pinggang Vanya yang ramping, bahu yang jenjang, dan garis punggung yang terbingkai indah oleh kilau kain tipis. Ada kekaguman yang tak berusaha ia sembunyikan, terpancar begitu saja dari cara ia menelan ludah pelan dan napasnya yang nyaris terputus.
"Cantik," gumam Rendra, suaranya rendah, serak, seolah kata itu sendiri tak cukup untuk mewakili apa yang ia rasakan. Tatapan itu—tajam namun penuh selera—menelanjangi Vanya lebih dari sekadar gaun.
"Aku tahu aku memang cantik," celoteh Vanya yang begitu percaya diri dengan penampilannya malam ini.
"Sudah flexingnya?" tanya Rendra yang menyadari bahwa telah mengakhiri sesi fashion show di depannya.
"Kok jadi flexing, aku tuh nggak flexing ya, Mas! Aku memang dilahirkan untuk cantik dan menawan," katanya sambil mengibaskan rambut panjangnya ke belakang tubuh.
Hampir saja Rendra tertawa mendengarnya, darimana datangnya rasa narsis itu dalam diri Vanya. Padahal sepanjan menjadi sahabat kakaknya dulu, dia tidak mendapati adanya bibit narsisistik dalam diri kakaknya. Ternyata adiknya berbeda.
"Tapi kamu juga ganteng malam ini." Vanya melanjutkan. Tanpa basa-basi ia meraih tangan Rendra, memasukkan tangannya ke siku Rendra dan menggandeng pria itu.
"Sepertinya kamu sangat menikmati peranmu sebagai istri saya, Anantari."
"Aku mulai terbiasa," balasnya sambil lalu.
Keduanya melangkah pergi, menuruni lantai dua dan menuju ke bagian depan rumah di mana di sana sudah ada Bima dan Arya yang sudah menunggu. Sebuah mobil mewah sudah terparkir di halaman depan rumah, siap untuk mengantarkan mereka ke tempat tujuan.
Malam ini Rendra sengaja tidak menggunakan sopir untuk perjalanan mereka, ia mengendarai mobilnya sendiri. Yang paling mengejutkan, ia membukakan pintu mobil untuk Vanya.
"Is it called a princess treatment?"
"Why do you think you are a princess and not a queen?" bisik Rendra sembari membantu Vanya mengunci seatbeltnya. Sebelum keluar ia sempat berhenti sejenak, tepat di depan wajah Vanya, jarak mereka mungkin hanya satu inci. Hingga Vanya bisa merasakan hembusan nafas hangat Rendra menyapu seluruh wajahnya.
"So do you prefer to be a queen or a princess, my lady?"
"Maybe a queen of bird."
"Funny ... Jangan tegang, ingat jangan mempermalukan saya nanti." Rendra memperingatkan. Membuat Vanya hanya bisa menahan nafasnya hingga akhirnya ia perlahan mendekatkan wajahnya ke Rendra, sontak membuat pria itu mundur dan hampir membuat kepalanya terpentok atap mobil.
"Sebaiknya kamu yang jangan tegang, mas," ucap Vanya sambil menyeringai samar.
"Jangan sok tahu, Anantari," kesal Rendra lalu ia pun keluar dari mobilnya, berjalan memutar untuk masuk ke dalam jok kemudi. Lantas meninggalkan rumah mereka dan melaju menuju ke rumah orang tuanya.
**
"Gimana kalau orang tuamu tidak menyukaiku ya, Mas?" Sebenarnya Vanya sama sekali tak ingin mengungkit kegelisahannya. Makanya sejak awal ia selalu menutupinya dengan banyak tingkah. Tapi kini ia tak bisa menutupinya lagi.
Bertemu dengan calon, eh, mertua, adalah pertama kalinya bagi Vanya. Apalagi dirinya hanya pengantin pengganti. Bukan pula seorang putri sah, apa yang bisa ia banggakan di hadapan keluarga Widjaya yang berkuasa ini. Vanya menghela nafas sembari menatap tangannya yang saling bertautan di atas pangkuannya.
Tiba-tiba saja tanpa aba-aba, tangannya yang saling bertaut karena gelisah itu digenggam oleh Rendra. Kehangatan menyelimuti tangan Vanya yang sudah dibanjiri oleh keringat dingin. Ia menoleh, tapi Rendra masih fokus menyetir dengan pandangannya lurus ke depan.
"Tidak perlu takut. Saya sudah atur semuanya, makan malam ini hanya formalitas semata. Setelah itu mungkin kalian akan jarang sekali bertemu."
"Tetap saja, sekarang mereka adalah keluargaku juga. Rasanya tidak menyenangkan jika ada keluarga yang tidak menyukai kita."
"Saya tidak peduli mereka menyukaimu atau tidak, kamu adalah istri saya, pilihan saya, tidak ada yang akan bisa menyangkal kenyataan itu."
"Tetap saja."
"Jangan buat saya mengatakan berkali-kali, Anantari. Tidak perlu banyak dipikirkan, jangan takut."
Vanya kemudian mengangguk samar, untuk apa juga dia takut, pernikahan mereka hanya sementara kan. Mereka akan segera berpisah, dan seperti kata Rendra sebelumnya, makan malam ini hanya formalitas belaka. Meski keluarga Widjaya memiliki kekuasaan mereka masih manusia, untuk apa takut dengan sesama manusia.
Tak berapa lama kemudian mereka pun sampai pada kawasan elit perumahan tempat Widjaya tinggal. Berdiri kokoh pintu gerbang yang sangat tinggi menjulang. Tak lama kemudian gerbang itu terbuka secara otomatis. Rendra langsung melajukan mobilnya memasuki area tersebut.
Rupanya perjalanan mereka untuk menuju ke rumah utama belum sampai di sana, mereka harus menemph sekitar lima ratus meter lagi untuk sampai di halaman utama sebuah rumah yang lebih mirih dengan lobi hotel itu.
Sebagai seseorang yang selalu hidup dalam kesederhanaan dan meskipun Harun Murya adalah orang yang kaya raya, tapi dibandingkan dengan rumah Widjaya ini, rumah Harun sama sekali tidak ada apa-apanya. Vanya bahkan mengagumi pilar besar dan tinggi yang menyangga di lobi rumah.
"Tuan Muda, selamat datang." Begitu Seorang pelayan menyapa ketika Rendra dan Vanya sudah keluar dari mobil.
"Apa semua orang sudah berkumpul?"
"Ya, mereka sudah menunggu di ruang keluarga, Tuan Muda."
"Terima kasih."
Rendra menoleh saat merasa Vanya tak ada di sisinya, saat itu ia menemukan istrinya sedang memandangi lukisan bergaya renaisans di salah satu dinding selasar menuju ke ruang utama rumah tersebut.
"Apa kamu menyukainya, sayang?" tanya Rendra sengaja memakai panggilan seperti itu dengan nada yang dibuat-buat. Seketika membuat Vanya merinding dibuatnya, ia pun langsung menoleh, menatap Rendra dengan satu alis yang terangkat.
"Ayo, ayah dan Ibu sudah menunggu kita." Rendra mengulurkan tangannya, membuka telapak tangannya. Vanya menatap Rendra tak mengerti lalu pria itu memberi isyarat agar Vanya menggenggam tangannya.
Vanya menurut, ia meletakkan tangannya di atas tangan Rendra dan akhirnya mereka berjalan dengan tangannya digenggam oleh Rendra sepanjang jalan menuju ke ruang keluarga.
Semakin dekat langkah mereka menuju ke ruang keluarga itu, semakin erat genggaman tangan Vanya pada telapak tangan Rendra.
"Tenangkan dirimu, Little cat," bisik Rendra. Lantas pelayan yang menunjukkan jalan membuka sebuah ruangan.
Ruangan yang cukup megah dengan interior ala eropa, ada perapian, di tengah ruangan, ada sebuah lukisan lama yang tergantung di tengah-tengah dinding ruangan tersebut. Namun hal itu rupanya tak bisa membuat fokus Vanya terpecah, kali ini pandangannya jelas tertuju pada beberapa orang yang sedang duduk di tengah ruangan.
"Selamat malam, semuanya." Suara Rendra memecah keheningan dalam suasana tersebut.
Seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke arah Rendra, seorang anak lelaki kira-kira berusia tiga tahun setengah dengan rambut kecokelatan dan senyuman yang lebar.
"Paman El, Paman El, akilnya kamu datang!! Aku melindukanmu!"
"Kami sudah menunggumu, bagaimana perjalanannya?" tanya Seorang pria yang umurnya tampak tidak terpaut jauh dari Rendra. Ia menghampiri anak lelaki itu lalu menggendongnya. "Jaga sikap malam ini, ya?"
"Iya, Ayah ...," katanya dengan lembut tapi tampaknya ia masih merindukan Rendra.
"Rendra ... ayo kenalkan itu yang disebelahmu." Suara Ibu Rendra begitu lembut.
Rendra menoleh pada Vanya yang mematung di tempatnya, ia menarik lembut tangan perempuan itu dan melangkah menuju ke arah orang tuanya. Seorang pria tampak tua dengan jambang tipis di wajahnya itu berdiri dibantu perempuan di sebelahnya.
"Sangat berani, aku tidak mengira kamu akan benar-benar membawanya kemari." Pria itu tampak tidak suka dengan kehadiran Vanya. Ia bahkan tidak repot-repot untuk memandang perempuan yang sudah menjadi menantunya.
"Jangan begitu, Widjaya... bagaimana pun juga dia adalah menantu kita." Perempuan di samping Widjaya Adiatmaharaja adalah istri pertamanya, ibu tiri Rendra. Melihat perilaku suaminya seperti itu, ia pun menghampiri Vanya.
"Nak, jangan salah paham. Dia sudah tua jadi pikirannya sedikit kacau. Kamu adalah bagian keluarga Adiatmaharaja sekarang."
"Tidak sembarang orang bisa masuk keluarga Adiatmaharaja," sabda Widjaya, terdengar sangat tidak terbantahkan. Suasana ruang keluarga itu mendadak hening, hanya ada deru nafas setiap manusia yang ada di sana menjadi irama halus. Lantas dia melangkah pergi dari tempat tersebut.
Melihat suaminya pergi begitu saja, Dewisuri, istri pertama Widjaya itu langsung mengambil alih Vanya dari Rendra. "Aku akan membujuknya nanti, jadi jangan mencemaskannya. Aku Dewisuri, aku ibunya Rendra. Panggil saja Ibu, ya? Siapa namamu, Nak?"
"Saya Vanya Anantari, Bu. Terima kasih sudah menerima saya."
"Jangan sungkan begitu, sini ...." Ia mengajak Vanya ke tempat anggota keluarga yang lain, sementara Rendra hanya mengamati bagaimana istri pertama ayahnya itu berinteraksi dengan Vanya.
Dewisuri memang wanita yang luar biasa, Rendra bahkan tidak pernah merasakan yang namanya 'ibu tiri', karena Dewisuri menjaganya seperti mendiang ibu kandungnya. Sejak awal pertemuan mereka, Dewisuri tidak pernah membedakan perlakuan antara Kane dan dirinya.
"Ini anak sulungku, Kane Lodra dan ini istrinya, Hazel, dan ini adalah cucuku yang paling manis, Kavish," tuturnya lembut sembari mencubit pipi gembul Kavish, anak usia tiga setengah tahun yang merindukan pamannya itu.
"Hallo, Vanya. Aku sudah berharap ketemu kamu sejak awal. Sayangnya, Rendra tidak mengadakan resepsi pernikahan untuk kalian, sekarang aku bisa bertemu kamu, ternyata kamu sangat cantik!" seru Hazel, perempuan itu tampak ceria dan tulus.
"Terima kasih, kamu juga sangat cantik. Kamu fasih sekali bahasa Indonesia, sudah lama tinggal di sini?" Vanya tahu jika Hazel bukan asli Indonesia dari hasil researchnya di Google tempo hari. Hazel adalah orang Amerika, keduanya bertemu saat Kane berkuliah di NYU.
"Wah, sepertinya kamu sudah tahu banyak tentang keluarga kami."
"Tidak juga, kalian keluarga suamiku tentu aku harus cari tahu."
"Pilihanmu tidak buruk, bro," sahut Kane, ucapan itu ditujukan kepada Rendra yang diam mengamati setiap pergerakan di dalam ruangan tersebut.
"Ayah, ayah, aku lapar ...." Kavish berseru.
"Sepertinya memang sudah waktunya makan malam, ayo kita bicarakan sambil makan saja."
"Apakah ada yang perlu dibicarakan?" tanya Rendra sembari berjalan menghampiri ibu dan istrinya, ia merangkul bahu ibunya dengan hangat dan menggenggam tangan Vanya dengan lembut.
"Tentu saja, aku ingin kalian melakukan resepsi pernikahan."
"Resepsi pernikahan?!" Vanya terkejut bukan main. Tidak hanya Vanya, bahkan Rendra yang biasa bersikap tenang pun ikut terkejut dengan ucapan sang ibu.
Sejak memutuskan untuk menikahi putri dari keluarga Harun Murya, tidak terbesit dalam benaknya untuk membuat sebuah resepsi pernikahan. Karena itu pernikahan kerja sama, Rendra tak ingin membuat kehebohan pada media jika akhirnya pernikahannya hanya sebatas kontrak saja.
"Tentu saja, anak keluarga Adiatmaharaja harus memiliki pernikahan yang megah." Ibu berkata dengan bahagia. Tentu saja bahagia.
Sementara Vanya Anantari kehilangan ketenangannya dan Rendra Adiatmaharaja hanya bisa tersenyum menerima ide dari sang ibu.
...
 ...
...--Bersambung--...
OBJECT OF DESIRES | 2025
semangat nulisnyaa yaaaa