Rahim Yang Tergadai
"ITU DIA!"
Di klub malam yang ramai dan penuh gemerlap cahaya, seorang wanita mendorong troli dengan langkah cepat dan napas memburu. Tangannya erat menggenggam pegangan troli, seolah berlari melawan waktu. Namun tiba-tiba, seorang pria menghalangi jalannya. Tanpa ragu, wanita itu menghempaskan troli dengan keras hingga menahan pria tersebut agar tidak bergerak. Dengan wajah tegas, ia menembus kerumunan dan masuk ke dalam ruang VIP.
Nafasnya memburu, tubuhnya menahan pintu dengan sekuat tenaga. Namun, matanya tertumbuk pada pria yang berdiri di hadapannya—tatapan tajam dan sorot mata dingin seolah siap menerkam.
"DIA ADA DI DALAM!"
Teriakan itu menggema, membangkitkan adrenalin wanita itu. Ia melepas cepolan rambutnya, membiarkan helaian panjangnya terurai liar, lalu berlari menghampiri pria bermata tajam tersebut. Tanpa sepatah kata, ia meloncat ke pangkuan pria itu dan membelakangi pintu dengan tubuhnya.
BRAK!
Pintu terbanting dengan keras ketika tiga pria berbadan besar membukanya paksa. Mata mereka mengelilingi ruangan, hingga berhenti pada pria dan wanita yang kini duduk bersama. Salah satu dari mereka melangkah maju, namun kedua lainnya menahannya.
"Apa kalian ingin m4ti?" Suara pria bertubuh tegap itu dingin dan mengancam.
Ketiganya segera tunduk dan berkata, "Maaf, Tuan Raffa. Silakan lanjutkan keseruan Anda." Mereka pun mundur dan menutup pintu, bergegas mencari wanita itu di ruangan lain.
Saat ruangan terasa aman, wanita itu menarik napas lega, menatap pria bernama Raffandra Mahendra yang kini memegang pinggangnya dengan kuat. Nafas mereka saling bertemu, hidung mereka pun hampir bersentuhan.
"Eum ... terima kasih sudah menolongku," ucap wanita itu dengan suara bergetar, berusaha turun dari pangkuan Raffa.
Namun, pria itu menariknya lebih dekat. Refleks, tangan wanita itu menekan d4da bidang Raffa.
"Berani sekali kamu mengganggu kesenangan, saya."
"Ma-maaf, anggap saja hari ini Anda berbuat baik terhadap sesama manusia yang bernapas," jawab wanita itu, memaksa bangkit.
Raffa melepaskan tangannya. Ia menatap kepergian wanita itu dengan ekspresi dingin, lalu membenarkan jas abu-abu yang dikenakannya. "Dasar wanita gil4," gumamnya sebelum melangkah pergi.
Sebenarnya, Raffa berada di klub malam bukan untuk bersenang-senang. Ia tengah membicarakan kerja sama bisnis dengan rekannya. Namun, kehadiran wanita itu yang tiba-tiba duduk di pangkuannya tanpa izin membuat suasana menjadi kacau.
Di perjalanan pulang, Raffa menyetir dengan santai, pikirannya melayang entah ke mana. Sampai mobilnya memasuki gerbang rumah yang terbuka lebar. Alisnya berkerut saat melihat sebuah mobil yang tak asing terparkir di halaman. Dengan cepat ia menghentikan mobil dan turun.
Matanya terus menyapu mobil itu. Tidak salah lagi, itu adalah mobil milik keluarganya. Bergegas, Raffa masuk dan mencari sosok yang dirinya duga tengah berada di dalam rumahnya saat ini. Matanya menangkap pasangan paruh baya yang duduk di ruang keluarga seolah tengah menunggu kepulangannya.
"Sudah pulang?" suara tajam seorang wanita memecah keheningan.
"Ma, kenapa datang tanpa kabar?" jawab Raffa pelan, berusaha mengendalikan emosinya.
Tania, istri dari Ferdi Mahendra, dia terlihat berdiri dan menatap putranya. Tatapannya dingin menvsuk.
"Haruskah Mama mengabari putra Mama yang sudah melupakan keluarganya?" Suaranya mengandung kecewa dan kesal.
Raffa menarik napas panjang, "Kalau aku pulang, pertanyaan Mama pasti tentang menikah. Aku belum siap, Ma. Mama datang hanya untuk itu, kan? Aku muak."
Langkahnya hendak naik ke lantai atas, namun terhenti oleh suara keras Tania.
"Umurmu sudah 35 tahun, Raffaaaa! Adikmu sudah punya lima anak, kamu malah belum menikah juga?! Mama hanya punya satu anak laki-laki, seharusnya Mama dulu hamil lagi agar ada penerus marga Mahendra, biarlah dengan resiko besarnya. Tapi sekarang Mama sudah tidak bisa hamil lagi. Jadi kamu lah yang terbebani, karena kesalahan Mama. Mama minta maaf Raffa,"
Raffa menghela napas berat, "Ma ...,"
Tania berlalu pergi, sementara Raffa berdiri dengan hati yang terasa remuk menatap kepergian sang Mama. Ferdi mendekat dan menepuk pelan bahu putranya.
"Kami tidak bermaksud membebanimu, Raffa. Kami hanya ingin nama Mahendra terus berlanjut. Tapi kalau kamu memilih untuk tidak menikah, itu keputusanmu. Kebahagiaanmu yang utama, bagi Papa. Hanya saja, kami ingin melihat kamu versi kecil. Tapi jika kamu putuskan untuk tidak menikah, Papa akan hargai."
Setelah kata-kata itu, Ferdi pergi meninggalkan Raffa yang menatap kosong. Bukan karena ia tak ingin menikah, tapi hatinya sudah terkunci pada cinta yang pernah hancur dan kini telah menjadi milik orang lain. Sulit baginya untuk membuka hati lagi.
"Maaf, Ma, Pa ... aku tidak bisa menjadi anak yang sempurna," lirihnya, naik ke kamar dengan hati penuh luka.
.
.
.
Akhirnya, Arexa sampai juga di kosannya. Dia sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, tiba-tiba seseorang meneriaki namanya dengan penuh kepanikan.
"Rexaaa!"
Arexa berbalik, menatap wanita itu dengan bingung, "Ada apa, Bu?"
"Meira jatuh dari sepeda dan sekarang dibawa ke rumah sakit sama Bu Tiwi!"
Arexa tercekat, tanpa pikir panjang ia berbalik dan langsung naik ojek yang dia naiki tadi. Bahkan ojek itu belum sempat pergi dan kabar tentang putrinya membuatnya harus bergegas ke rumah sakit.
Di rumah sakit, Arexa membayar ojek dengan tangan gemetar dan berlari masuk. Di lorong panjang itu, kepanikan terpancar dari matanya. Ia mendekati resepsionis dan bertanya tentang kamar putrinya.
"Arexa!"
Suara Bu Tiwi memanggilnya, wanita gemuk itu melambaikan tangan. Arexa pun menghampiri dengan penuh cemas, "Bagaimana kronologi nya, Bu? Kenapa Meira bisa jatuh?"
Bu Tiwi menghela napas, wajahnya penuh penyesalan. "Meira tiba-tiba merasakan sakit di d4da saat main sepeda di halaman rumah, lalu pingsan dan jatuh. Maaf, Rexa. Ibu tidak tahu kalau dia akan kambuh."
Arexa terduduk lemah di kursi tunggu, menatap wajah Bu Tiwi yang terlihat lelah dan bersalah. Pagi sampai malam, Arexa harus bekerja demi menghidupi putrinya yang terkena penyakit jantung bawaan lahir. Sehingga dia terpaksa menitipkan Meira pada tetangganya. Tapi walaupun ia bekerja seharian tanpa jeda, ia tetap tak bisa memberikan perawatan terbaik untuk putrinya. Berhutang sana sini sudah ia lakukan, membuat hidupnya penuh dengan tekanan.
"Maafkan Ibu, Rexa,"
Arexa menarik tangannya yang menutup wajahnya, lalu menatap Bu Tiwi dengan senyuman tipis penuh pengertian. "Ini musibah, justru aku yang harus berterima kasih karena ibu mau dititipkan Meira. Tak apa, dia pasti baik-baik saja."
Tiba-tiba, dokter keluar dari ruangannya, "Keluarga pasien?"
"Saya Dok, bagaimana keadaan putri saya?" tanya Arexa dengan suara gemetar.
Dokter menatapnya penuh empati dan mengajak Arexa masuk ke ruangannya. Mengetahui pembahasan yang sepertinya akan serius, membuat Arexa merasa tak tenang. Ia menatap Bu Tiwi lebih dulu sebelum mengikuti Dokter tersebut. Di sana, dokter menunjukkan rekam medis Meira.
"Sejak bayi, Meira didiagnosis dengan kelainan jantung bawaan. Ada lubang di dinding jantungnya yang tidak menutup sepenuhnya."
Dokter memperlihatkan hasil ekokardiogram di layar. "Obat-obatan hanya menjaga agar jantung tidak bekerja terlalu keras. Sekarang tubuhnya mulai lemah. Operasi adalah satu-satunya jalan."
Tubuh Arexa bergetar, dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Putrinya yang masih kecil harus menjalani operasi besar. "Berapa biaya operasinya, Dok?"
Dokter menghela napas, "Dua ratus juta, bisa juga lebih. Kamu harus menyiapkan dana paling sedikit, dua ratus juta. Itu sudah termasuk biaya perawatan pasca operasi."
Arexa terdiam, lemas. Pikiran dan harapannya seolah terkoyak. Ia menggenggam tangan sendiri, berbisik lirih, "Dari mana lagi aku bisa meminjam uang sebesar itu ...,"
Air mata hampir jatuh, tapi ia menahan. Wajah polos Meira terbayang jelas di matanya, menjadi sumber kekuatan sekaligus kesedihan yang mendalam.
Dalam sunyinya, Arexa berjanji pada dirinya sendiri ... apapun yang terjadi, dia akan berjuang demi putrinya. Karena Meira bukan hanya tanggung jawabnya, tapi alasan mengapa ia terus bertahan di dunia ini.
______________________________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Agnezz
pake BPJS atau bikin surat miskin agar bisa pake kartu JKN. Jadi mungkin operasinya gak bayar. Kalo sakit jantung kan penyakit yg bisa ditanggung.
2025-09-04
17
Srie Handayantie
gak bisa gak bisaa seorang single parent dsn hrus menanggung biaya anak yg sedang sakit baru baca di bab awall aja udh mau mewekk akuu . /Cry/ aduh kak Ra
2025-09-04
19
jumirah slavina
iya ini Aku.... ini Aku..... maafkan Aku yg telat bacaaaaaaa....
2025-09-05
9