Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 : Aku sudah melakukan segalanya
Tiga puluh cambukan telah menghantam tubuhnya.
Lian Hua tergeletak tertelungkup, tubuhnya bergetar tak terkendali. Jubah putih yang dikenakannya kini kotor, robek di beberapa bagian, dan berlumur bercak darah yang merembes dari luka-luka lama yang kembali terbuka.
Ia mengepalkan jemarinya yang lemah, mencoba menahan nyeri yang terus menyengat. Napasnya berat, tersengal, seakan setiap tarikan udara menjadi beban. Dalam gelapnya ruangan itu, kesendirian merayap masuk, menelan sisa-sisa kekuatannya.
Kini ia mengerti dari mana semua luka itu berasal. Namun, yang tak ia pahami adalah alasan di baliknya. Mengapa wanita itu membencinya begitu dalam? Tatapannya selalu sarat kebencian, seperti menyimpan dendam yang tak akan pernah padam.
Lebih dari itu, ada satu bayangan lain yang tak bisa ia usir dari pikirannya… sosok laki-laki berpasang mata kuning menyala, dingin, dan tak berperasaan. Kehadirannya membekukan udara di sekitarnya.
Pemandangan itu menyeret Lian Hua kembali ke momen terakhir bersama kaptennya, saat pria itu menembaknya tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. Tatapan hampa, sama persis seperti laki-laki itu.
Lian Hua tak mampu mengurai benang kusut di pikirannya. Semuanya bercampur rasa sakit, ketakutan, dan pertanyaan yang tak memiliki jawaban.
“Kenapa? Kenapa semua ini…”
Ya Ting menuntun seorang tabib istana memasuki kamar Wei Jie. Lelaki paruh baya itu meletakkan tas kulitnya di atas bangku, lalu duduk di sisi tempat tidur. Jemari tuanya meraba pergelangan tangan Wei Jie, mencari denyut nadinya. Setelah itu, ia mengangkat wajah mungil anak itu, meneliti bengkak di kelopak matanya.
Alis tabib berkerut ketika melihat olesan daun coca yang menempel di sana. “Siapa yang melakukan ini?” tanyanya, nada suaranya mengandung rasa heran sekaligus curiga.
Ya Ting, yang baru menyadari keberadaan daun itu, sontak menatapnya lekat. Amarahnya meletup, dan pikiran pertama yang muncul hanyalah satu nama. “Pasti Lian Hua!” serunya. “Dia ingin memperburuk keadaan Wei Jie!”
Tanpa berpikir panjang, Ya Ting berbalik hendak keluar, niatnya jelas: melampiaskan kemarahan pada Lian Hua yang bahkan sudah mendapat hukuman.
Namun sebelum kakinya sempat melangkah, tangan mungil Wei Jie menggenggam jemarinya erat. “Ibu mau ke mana?” suaranya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah Ya Ting.
“Aku hanya ada urusan sebentar,” jawabnya singkat. Tapi Wei Jie menggeleng, genggamannya semakin kuat. “Jangan pergi… temani aku.”
Napasku Ya Ting tertahan sejenak. Kemarahannya perlahan mereda di hadapan tatapan memohon putranya. Ia menghela napas, lalu berlutut di samping tempat tidur. “Baiklah. Ibu di sini.”
Ia menoleh pada tabib. “Wei Jie masih merasakan sakit. Obat kemarin sudah habis, tolong beri dia obat lagi.”
Tabib mengangguk tipis. “Obatnya tetap sama, Ramuan Yanshou Gao. Berikan padanya setiap kali rasa sakit datang.”
Namun setelah menutup tasnya, ia menambahkan, “Harganya lima koin perak.”
Ya Ting terkejut. “Lima…? Apa….aku bisa mencicilnya lagi?”
Tabib menggeleng pelan. “Obat ini langka. Banyak yang membutuhkannya. Dan… kau sudah memiliki utang obat yang belum terbayar. Aku tak bisa memberimu lagi sebelum hutang lama dilunasi.”
Kata-kata itu membuat Ya Ting terdiam. Tatapannya penuh rasa cemas, bercampur putus asa. Ia memohon, “Tolong… untuk Wei Jie, kali ini saja.”
Tabib itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Aku… tidak bisa melakukan apa-apa lagi,” ucapnya lirih. Ada nada penyesalan yang terdengar jelas. “Maafkan aku.”
Ia kemudian menutup kotak obatnya, membereskan ramuan-ramuan yang tadi dipakai, lalu berdiri dan pergi dengan langkah berat.
Ya Ting memandang punggung tabib itu hingga menghilang di balik pintu. Saat itu juga, lututnya melemas. Ia jatuh tersungkur ke lantai, kedua tangannya menopang tubuhnya yang gemetar. Raut wajahnya penuh kecemasan, matanya bergetar menahan air mata.
Berbulan-bulan sudah ia berjuang mencari kesembuhan bagi putranya, mengundang tabib dari desa, kota, bahkan wilayah yang jauh, namun semua berakhir dengan jawaban yang sama: tidak ada yang bisa dilakukan.
‘Apa lagi yang harus aku lakukan?’ batinnya bergetar. Ia sudah mencoba segalanya, bahkan mengorbankan harta simpanannya demi harapan tipis itu. Namun, hasilnya tetap sama.
Di ranjang, Wei Jie yang mendengar napas berat ibunya mencoba bangkit. “Ibu…” panggilnya pelan, berusaha menegakkan tubuhnya.
Namun Ya Ting segera bangkit, menghampiri, dan menahan bahunya agar tetap berbaring. “Jangan memaksakan diri,” ujarnya dengan suara bergetar. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini memenuhi matanya. Tangan hangatnya mengelus lembut pipi putranya, seakan ingin menghapus rasa sakit yang tak terlihat.
“Apa yang harus Ibu lakukan lagi, Wei Jie? Katakan pada Ibu… Ibu sudah mencoba segalanya…”
Wei Jie terdiam. Meski tubuhnya lemah, ia mengangkat tangannya untuk menyeka air mata di wajah ibunya. Bibirnya melengkung tipis, mencoba memberi senyum kecil yang menenangkan.
“Bengkaknya sudah tidak sakit lagi,” ucapnya pelan. “Ibu… tidak perlu khawatir.”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂