Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Deva berhasil membungkam mulut Gio yang cerewet. Dia mengalihkan pandangannya, matanya menyapu ruangan yang penuh dengan tatapan antusias. Semua orang tampak menikmati pertengkaran kakak beradik itu seperti menonton drama murahan. Perasaan muak bercampur marah menekan dadanya.
Baru saja Deva hendak melangkah pergi, sebuah dorongan keras mendarat di punggungnya. Tubuhnya terhuyung, hampir terjatuh, sebelum akhirnya menabrak meja. Napasnya tercekat, matanya langsung menajam penuh kewaspadaan.
Dengan wajah datar, dia menoleh. Di hadapannya berdiri Gallen, tatapannya sengit menusuk. Tak hanya dia, ada Sera yang berdiri sedikit di belakangnya penampilannya lusuh, wajah pucat, membuatnya terlihat lebih mirip tikus got ketimbang seseorang yang pantas dikasihani.
"Apa maksud lo ngebully Sera, hah?!" tuduh Gallen, napasnya tersengal-sengal. "Belum cukup lo caper sana-sini, sekarang lo juga mulai menindas dia?"
Deva hanya mendesah pendek. Dalam hatinya, dia bisa menebak kalau Gallen pasti berlari ke kelasnya hanya untuk adu mulut, sama seperti Gio sebelumnya.
"Lo punya bukti kalau gue yang bully dia? Coba tunjukin!" sahut Rora yang baru saja datang dari kantin.
Tangannya masih menenteng kantong plastik berisi roti, susu, dan beberapa camilan. Nada bicaranya tajam, menantang.
Gallen mendengus. "Gue nggak perlu bukti. Gue yakin lo yang ngelakuin itu, Dev! Karena Sera banyak disukai orang-orang."
"Lo pikir Sera gula, ya? Sampai-sampai di kerubutin kayak gitu." Ujar Deva mengejek.
"Lo ngejek Sera, hah?!"
Tanpa ragu Deva mengangguk, "Kenapa? Nggak terima?"
"Brengsek!" Gallen menunjuk wajah Deva dengan jari telunjuknya. "Sampah!"
Rora mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena marah. "Lo—"
Namun Deva segera menarik lengan sahabatnya itu, mencegah Rora melangkah lebih jauh. "Biar gue yang urus. Lo jangan ikut terlibat, Ra."
"Tapi Dev—"
Deva menggeleng pelan, suaranya berat. "Dia nggak akan mempan kalau cuma dibalas dengan ucapan."
Rora menatap wajah Deva yang sudah memar di pipi, bibirnya sobek. Rasa khawatir membuncah.
"Dev… pipi lo?" bisiknya cemas.
Deva tersenyum tipis, seolah memberi isyarat kalau dia masih baik-baik saja. Tatapannya lalu kembali tertuju pada Gallen, kali ini lebih tajam, menusuk.
"Tangan lo ringan banget ya, Gal. Mau gue beratin nggak?" ucapnya sinis, sudut bibirnya terangkat.
"Jangan banyak bacot! Lo harus minta maaf sama Sera, sialan!" bentak Gallen, urat di keningnya menonjol karena marah.
"Kenapa? Gue nggak salah. Buat apa gue minta maaf? Harusnya lo yang minta maaf sama gue." Sahut Deva enteng, meski nadanya penuh tantangan.
Amarah Gallen kian membara. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, seakan siap menghantam siapa saja.
"Lo ngurung dia di toilet, kan?!" tuduhnya keras, membuat kantin seketika gaduh. Bisik-bisik penonton semakin ramai.
Deva tersenyum miring, sinis. "Gue butuh bukti, Gal. Bukan cuma tuduhan murahan kayak gitu. Coba lo tanya Sera sendiri, apa gue ada ketemu dia lagi setelah kita ketemu di halaman tadi?”
"Halah, ngaku aja, Dev!" timpal Gio, nadanya penuh benci. "Lo cuma nggak mau orang-orang tahu sikap busuk lo."
Deva mendelik, lalu menyahut dingin, "Wah, jadi kalian mainnya keroyokan nih? Jelek amat."
Beberapa mahasiswa yang ada di sana tersenyum, mereka mulai berbisik-bisik dan membenarkan ucapan Deva. Bahwa Gallen dan Gio sedang mengeroyoknya.
Gio maju, berdiri sejajar dengan Gallen. "Kalau lo nggak percaya, lo bisa tanya langsung ke Sera."
Deva mengangkat bahu santai. "Boleh. Kebetulan gue juga penasaran apa bener dia bilang gitu."
Gallen makin geram. Dengan wajah merah padam, dia mengangkat tangan, hendak menampar Deva lagi.
Namun Deva lebih cepat. Tangannya melayang keras ke pipi Gallen.
PLAK!
Tak cukup sampai di situ, dia menyambar susu kotak dari kantong Rora dan membukanya, setelah itu Deva menyiramkannya ke wajah Gallen.
BYUR!
"Akh, bangsat!" Gallen memaki, mengusap wajahnya yang basah oleh susu coklat.
Deva kini menatap Sera tajam, penuh amarah. Kedua tangannya terlipat di dada, suaranya dingin menusuk. "Jelasin. Apa yang udah gue lakuin sama lo?"
Sera terkejut, tubuhnya gemetar. Dia hanya bisa bersembunyi di belakang Gallen, wajahnya pucat pasi.
"Cukup, Dev! Lo bikin masalah makin panjang!" bentak Gallen, berusaha melindungi Sera.
Alih-alih takut, Deva malah tertawa. "Pfft… heh, Gal. Dari awal justru lo yang bikin masalah jadi ruwet, bukan gue."
Sera menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Rasa tertekan membuat air matanya hampir pecah. Gallen sendiri frustasi, berusaha menjaga agar jarak di antara mereka tak semakin dekat.
"Ser, tenang. Deva nggak bakal berani ngapa-ngapain lo," bisik Gallen lembut pada Sera, meski jelas terlihat dia sendiri tertekan oleh tatapan adiknya sendiri.
Deva melangkah maju, mendekat. Tatapannya menusuk, membuat udara di sekitarnya seakan menegang.
"Jadi lo mau diem aja? Atau lo emang berniat bikin kesalahpahaman ini makin panjang?" suaranya meninggi.
Dia merasa dikhianati. Baru tadi pagi dia menurunkan egonya, meminta maaf pada Sera. Dan sekarang? Gadis itu malah menjadikannya kambing hitam. Sungguh kejutan yang sulit Deva telan secara nyata.
Sera menggeleng dengan suara bergetar. "G-gue… gue nggak bermaksud, Dev. Gue cuma…”
Namun kalimatnya terputus, seakan tenggelam dalam ketegangan.
"Cuma mau jatuhin citra gue, kan?" potong Deva sarkastis. "Dasar munafik. Sok polos. Nyesel gue tadi pagi sempet minta maaf sama orang muka dua kayak lo."
"Deva!" pekik Gio keras, nadanya penuh kemarahan.
Deva menoleh cepat, menatap Gio dengan tatapan dingin. "Apa? Jangan panggil nama gue mulu. Gue tahu nama gue cantik, tapi telinga gue alergi denger suara lo yang mirip tikus kejepit."
Suara tawa tertahan pecah dari mahasiswa lain. Bahkan Rora pun tak bisa menahan senyum tipis meski dia khawatir dengan kondisi sahabatnya. Dia segera menarik lengan Deva.
"Ayo, Dev. Obatin dulu luka lo. Percuma ngomong sama binatang, mereka bakal tetep nyalahin lo." ujarnya tegas.
Deva mengangguk. Namun sebelum pergi, dia melemparkan tatapan permusuhan pada Sera dan juga kedua kakaknya.
'Baru juga sebentar gue di sini… sikap asli mereka langsung muncul.' Batinnya getir, menahan gejolak di dada yang kian membakar.
***
Setibanya di ruang kesehatan, Rora menemani Deva yang sedang di obati oleh petugas medis. Gadis itu merasa ngilu ketika bibir Deva yang sobek di oleskan obat.
Beberapa saat kemudian, petugas medis selesai mengobati Deva. Dia bergegas pergi dan meninggalkan Deva serta Rora di ruangan itu.
"Sakit, Dev?" Tanyanya cemas.
Deva menggeleng, "Nggak. Cuma luka kecil, kok."
"Cuma?" Wajah Rora penuh keheranan. "Dev, jangan lo anggap enteng luka kayak gitu."
"Lah, terus gue harus gimana? Lukanya emang kecil, gue bahkan udah sering ngalamin luka yang lebih besar lagi."
Jawaban Deva membuat Rora terdiam, dia lupa jika sahabatnya itu sudah sering di jadikan kambing hitam oleh Sera.
"Pasti cape jadi lo, Dev." Gumam Rora yang masih terdengar oleh Deva.
Namun, gadis itu hanya diam sambil menatap lantai di bawah kakinya. Dia pikir menjadi karakter novel bakalan mudah, dia tinggal menghindari plot yang akan mempersulit hidupnya tapi ternyata semua tidak semudah itu.
Perannya sebagai antagonis menyeret dirinya ke dalam masalah, meski dia sudah mencoba berbaik hati untuk berteman dengan protagonis utama nyatanya semua itu hanya ada dalam bayangannya saja.
Deva menghela napas panjang, dia menegakan kepalanya dan menatap Rora yang kini masih berdiri di depannya. "Ra, kenapa gue nggak mati aja, ya?"
Sontak Rora melotot tak percaya. "Lo ngomong apa sih?"
"Lo mau nggak kalo gue suruh buat bunuh gue, Ra?"