"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gaun Cely
...Happy reading ...
Cely berdiri di depan cermin, matanya berbinar penuh kekaguman saat ia mengamati siluet tubuhnya dalam balutan gaun hitam bergradasi putih yang dipilihkan Rayna.
"Buset ... cantik banget dah gue! ga sabar banget pake ini besok malem!" ucapnya, hampir tidak percaya melihat pantulan dirinya di cermin.
Senyum puas terukir di wajahnya. "Leo ... Leo, rugi banget ga sih, kalo Lo ga jadi pacar gue?" gumamnya, lalu berputar perlahan untuk melihat bagaimana gaun itu bergerak mengikuti lekuk tubuhnya.
Perlahan, ia berjalan dan merebahkan dirinya di kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk. "Apa besok gue tembak aja ya, dia?" tanyanya pada diri sendiri, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu, mencoba membayangkan bagaimana reaksi Leo nanti.
Cely menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Nggak, nggak! Mau ditaro mana muka gue, kalo sempet gue nembak dia duluan?" keluhnya, lalu menutup mukanya dengan bantal.
"Stop bayangin itu Cely!" katanya, tiba-tiba terbangun dari lamunannya dan langsung duduk di tepi kasur.
"Lo harus tidur cepet supaya besok bisa keliatan seger," gumamnya, ia berjalan ke depan lemari, memilih piyama yang nyaman untuk tidur.
Pagi harinya, Leo berdiri dengan sabar di depan gerbang rumah Cely, matanya sesekali melirik jam tangannya. Langkah ceria milik Cely membuat senyumnya merekah.
"Yuk!" seru Cely riang, menggandeng tangan Leo erat.
Ibu dan Helena, kakak tirinya, saling menatap dengan mata jahat ketika mereka menyadari bahwa Cely sudah pergi. Mereka berdua memiliki niat yang tidak baik, yaitu mengambil gaun Cely agar ia tidak bisa menghadiri pesta perpisahan sekolah.
"Mah, ayo!" bisik Helena.
Mereka berdua bergegas naik ke kamar Cely, dengan hati yang penuh dengan niat jahat. Namun, ketika mereka mencoba membuka pintu, pintu itu tidak bergeming. "Dikunci!" kata Helena dengan nada yang kesal. Mereka berdua mencoba memikirkan cara yang tepat untuk membuka pintu itu. "Mamah punya ide!" sahut Fianna.
Fianna menyeringai licik. "Minggir, biar Mama yang urus!" serunya sambil mengambil obeng dari laci dapur. Dengan cekatan, ia mencongkel kunci pintu kamar Cely.
Lalu dengan beberapa kali percobaan, akhirnya mereka mampu membuka pintu itu. Mereka bersorak gembira lalu menyusup masuk ke kamar cely. Mereka mengobrak-abrik isi lemari cely, mencari sebuah gaun yang akan dipakainya besok malam.
Keduanya terus mencari tanpa menyerah. "Di mana sih dia nyimpan gaun itu?" tanya Helena kesal. Lalu mencoba berjalan ke kamar mandi. "Ga mungkin juga dia nyembunyiinnya di kamar mandi!" monolog Helena. Ia menggelengkan kepala tidak percaya. Namun, begitu ia masuk ke dalam kamar mandi, matanya terbelalak lebar, mulutnya ternganga tidak percaya. Sesuatu yang berkilauan tertangkap oleh sudut matanya, pandangannya jatuh pada gaun yang ia cari-cari.
"Ini dia!"
"Mah, mamah!" seru Helena. Ia melesat keluar dari kamar mandi, sambil membawa gaunnya keluar kamar mandi. "Kayaknya dia tahu deh kita bakal ngambil gaunnya," lanjutnya.
Matanya menatap gaun itu dengan tatapan berbinar. "Mama nggak peduli dia tahu atau nggak!" sergahnya. "Yang penting, besok malam dia nggak akan bisa pergi ke pesta itu!"
Helena mengangguk setuju. "Ayo, Mah, kita cepat pergi dari sini!"
Keduanya pun bergegas meninggalkan kamar Cely, membawa serta gaun hitam itu. Mereka yakin, Cely tidak akan bisa pergi ke pesta perpisahan sekolah besok malam.
Dengan perasaan puas dan rencana yang matang, Fianna dan Helena bersiap-siap untuk pergi. Mereka tidak ingin mengambil risiko ketahuan oleh Cely, jadi mereka memutuskan untuk menginap di hotel dan membawa serta gaun itu.
Di siang hari, ketika cely sudah selesai dengan sekolahnya, Cely melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati riang. Senyum lebar menghiasi wajahnya, membayangkan betapa bahagianya ia nanti malam di pesta perpisahan sekolah.
Namun, begitu ia membuka pintu utama, Cely merasakan keanehan. Rumah itu tampak sunyi senyap, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
"Di mana mereka? Biasanya jam segini pada ngumpul di ruang keluarga," tanya Cely dalam hati.
Cely mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Mungkin saja ibu dan kakaknya sedang pergi keluar sebentar. Ia pun melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.
Tepat di depan pintu kamarnya, langkah Cely membeku. Ia tertegun menatap pintu yang sedikit terbuka. "Loh, kok ga terkunci?" gumamnya. Padahal, ia sangat ingat untuk selalu mengunci pintu kamarnya setiap kali akan keluar.
Perasaan tidak enak mulai menghantuinya. Dengan jantung berdebar, Cely mendorong pintu kamarnya. Dan betapa terkejutnya ia melihat kamarnya sudah seperti kapal pecah! Baju-baju berhamburan keluar dari lemari, laci-laci terbuka, dan buku-buku berserakan di lantai.
Cely mengamati kamarnya dengan tatapan nanar. Lalu, tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Gaun!"
Tanpa berpikir panjang, Cely berlari menuju kamar mandi. Pikirannya dipenuhi firasat buruk. Dan benar saja! Begitu ia membuka pintu kamar mandi, matanya langsung tertuju pada tempat di mana ia menggantung gaunnya. Kosong. Gaun itu hilang!
Cely terpatung di tempatnya, matanya memanas. Ia tidak percaya gaunnya hilang. Siapa yang tega melakukan ini padanya? Pikiran Cely langsung tertuju pada seseorang, ibu dan kakak tirinya. Mungkinkah mereka yang melakukan ini?
"Gue duga pasti mereka yang ngelakuin ini!" tuduh Cely. "Kalo bukan mereka, siapa lagi yang iri sama gue?" ia mengepal tangannya kuat.
Cely merosot ke lantai, isaknya tertahan di antara kedua telapak tangannya yang menangkup wajahnya. Hari kelulusannya, yang seharusnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini terasa bagai mimpi buruk.
Tepat di hari istimewa yang telah lama dinantikannya, Zein turun dari taksi, ranselnya menyentak di punggungnya saat ia berjalan cepat menuju rumah. Ia mengetuk pintu kayu itu dengan keras, tiga kali. Namun, tidak ada jawaban dari orang di dalamnya.
"Cely, Abang pulang!" serunya, suaranya memecah kesunyian yang mencekam, sebelum perlahan mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Ruang tamu menyambutnya dengan kehampaan, setiap sudutnya dipenuhi bisu.
"Cel?" panggilnya lagi, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong, kekhawatiran mulai mencengkeram hatinya.
Tanpa menunggu jawaban, Zein bergegas menaiki tangga. Dan betapa terkejutnya ia setelah melihat kamar Cely. Kamar itu berantakan, buku-buku dan pakaian berserakan di lantai. Matanya kemudian menangkap sosok Cely yang duduk terisak, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Pundaknya bergerak naik turun, menandakan betapa hebatnya tangis yang ia tahan. Tanpa ragu, Zein berlari menghampiri adiknya.
"Cel, lo kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir, tangannya memegang erat pundak Cely yang bergetar.
Mata Cely yang sembab akhirnya menemukan Zein yang sedari tadi mengawasinya dengan cemas. Tanpa ragu, Cely menerjang Zein, memeluk erat tubuh tegap abangnya. Tangisnya pecah bagai bendungan jebol, membasahi pundak Zein. Zein memilih diam, tangannya terangkat membalas pelukan erat Cely. "Kalo udah tenang, lo bisa cerita." Zein berbisik lembut di telinga Cely.
Menit-menit berlalu dalam keheningan, hanya diisi napas Cely yang masih sesenggukan. Air matanya sudah mengering, kelopak matanya terasa berat dan perih, tanda badai tangis yang baru saja berlalu. Perlahan, Cely menarik diri dari dekapan Zein, wajahnya pucat dan lelah.
"Udah tenang?" tanya Zein lembut, mengamati wajah adiknya dengan saksama.
Cely mengangguk lemah. "Gaun gue, Bang ..." suaranya lirih hampir tak terdengar, kemudian menguat sedikit, "Gaun yang gue beli minggu kemarin ... hilang." Ia menyeka sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan.
Zein menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dan adiknya. "Udah, udah, nanti kita cari yang baru ya," ujarnya lirih, tangannya tetap menepuk-nepuk bahu Cely dengan lembut, namun pikirannya terasa berat dan keruh. Di balik kata-kata penenang itu, benaknya berputar cepat, langsung tertuju pada satu sosok yang paling mungkin menjadi penyebab masalah ini, ibu tirinya. "Ga mungkin orang lain," pikirnya getir. Kerutan dalam muncul di dahi Zein. "Ibu di mana, Cel?" tanyanya, suara lelahnya bercampur dengan nada menyelidik. Sebagai jawaban, Cely hanya menggeleng lemah.