Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah baru yang masih gemetar..
Angin sore menyapu lembut rambut Nayla saat ia berdiri di balkon kecil kosan Siska. Dari tempatnya berdiri, matahari terlihat menggantung rendah di langit, seolah ikut menyaksikan kisah pilu yang belum juga selesai.
Sudah seminggu berlalu sejak percakapan terakhirnya dengan Tania. Sejak hari itu, pesan-pesan dari Raka datang hampir setiap malam. Bukan sekadar kata maaf, tapi juga cerita-cerita penuh penyesalan—tentang bagaimana hidupnya hampa, bagaimana ia merasa seperti orang bodoh yang menghancurkan rumah yang sudah dibangun dengan cinta.
Tapi Nayla tidak membalas satu pun.
Bukannya tak ingin. Kadang kala, ia tergoda. Jari-jarinya sempat melayang di atas tombol "balas". Tapi lalu ia teringat pada malam-malam kosong yang ia lewati sendirian, pada wajah Raka yang tampak bahagia bersama wanita lain. Dan yang paling penting, ia teringat bahwa dirinya sedang mengandung. Bukan hanya tentang rasa cinta atau luka—tapi tentang kehidupan baru yang kini ia jaga sendiri.
“Kalau kamu capek berdiri terus, duduk sini aja,” ucap Siska dari dalam, membawa dua cangkir teh hangat. “Ini favoritmu, teh manis pakai jahe.”
Nayla mengangguk, mengambil cangkir itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia duduk di lantai, bersandar pada tembok, dan memejamkan mata sejenak.
“Aku mulai terbiasa dengan rasa ini, Sis,” bisiknya, “perih yang pelan-pelan berubah jadi kebal.”
Siska menatap sahabatnya itu penuh iba. “Itu tandanya kamu kuat.”
Nayla tersenyum kecil. “Atau mungkin... aku udah kehabisan tenaga untuk merasa.”
Tak ada jawaban. Hanya diam. Kadang, diam memang lebih menenangkan daripada kata-kata yang terburu-buru mencoba menyembuhkan luka yang masih menganga.
“Dia masih ngirim pesan?” tanya Siska hati-hati.
“Masih. Terakhir semalam. Dia bilang... dia siap mundur dari hidupku kalau itu bisa bikin aku lebih damai.”
“Dan kamu percaya?”
Nayla mendesah, menatap langit. “Entahlah. Dulu aku selalu ingin dia berubah. Tapi sekarang... aku gak tahu lagi apakah aku butuh dia berubah, atau aku cuma perlu move on tanpa dia.”
Hening.
“Bayiku... satu-satunya alasan aku mau bangun tiap pagi sekarang,” lanjut Nayla dengan suara bergetar. “Kadang aku takut. Takut sendiri. Tapi aku juga sadar, kalau aku terus menggantungkan harapan ke masa lalu... aku gak akan pernah benar-benar bebas.”
Siska mengusap bahu Nayla pelan. “Kamu gak sendiri. Ada aku. Ada keluarga kamu. Dan yang paling penting, kamu punya dirimu sendiri.”
Sore mulai menjelma senja. Burung-burung kecil terbang pulang. Suara anak-anak tertawa terdengar dari taman depan. Hidup ternyata masih terus berjalan, bahkan saat hati masih tertinggal di masa lalu.
Nayla membuka catatan kecil yang ia selalu bawa. Ia mulai menulis seperti biasa, pelan, dengan huruf kecil yang kadang gemetar:
> “Aku tidak ingin kuat. Aku hanya ingin bisa tidur tanpa mimpi buruk. Tapi hari ini, aku berhasil menahan tangis sampai sore. Itu mungkin artinya aku sedang membaik, meski perlahan.”
Ia menutup bukunya, lalu berkata lirih, “Apa aku jahat kalau aku gak bisa sepenuhnya memaafkan dia?”
Siska menggeleng. “Enggak. Kamu cuma manusia.”
Diam sejenak.
“Tapi kamu tahu kan... memaafkan bukan berarti menerima dia kembali,” tambah Siska. “Kadang, memaafkan justru adalah cara kita menyelamatkan diri sendiri.”
Mata Nayla berkaca-kaca. “Aku mau sembuh. Tapi luka ini... masih menempel erat. Seolah-olah aku harus belajar hidup bersama rasa kecewa.”
Siska menggenggam tangan Nayla. “Dan kamu akan bisa. Kamu sedang menuju ke sana.”
Malam datang dengan pelan. Di dalam kamar, hanya lampu kuning kecil yang menyala. Nayla tidur sambil memeluk perutnya yang kini mulai membuncit. Ia berbisik pada janin di dalamnya, “Mama belum sepenuhnya baik-baik saja. Tapi demi kamu, Mama akan coba.”
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia tidur tanpa mimpi buruk.