Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8 Hembusan Napas
Happy reading
"Saya juga boleh berkunjung ke rumah Dokter Dira?" Seseorang menyela obrolan dan sukses mengalihkan atensi Dira yang semula tertuju pada Veronika.
Ternyata orang itu adalah Risma. Seorang pasien yang harus opname di Rumah Sakit Sehati karena mengalami musibah kecelakaan sepulang dari KUA. Tepatnya setelah mengikrarkan janji suci bersama sang kekasih yang kini telah berstatus sebagai suami barunya.
Dira menerbitkan senyum dan menanggapi pertanyaan Risma. "Tentu saja, Bunda. Pintu rumah saya terbuka lebar untuk Bunda, Mommy, dan teman-teman yang lain," ucapnya.
"Alhamdulillah. Setelah sembuh, Insya Allah saya akan berkunjung ke rumah Dokter Dira dengan membawa hasil panen."
"Saya tunggu kedatangan Bunda ke rumah saya, karena itu ... Bunda Risma harus segera sembuh. Jika Allah berkenan mengizinkan Bunda datang ke rumah saya, jangan hanya membawa hasil panen. Tetapi bawa juga seekor sapi jantan," ujar Dira sekedar bercanda.
"Siap, Dokter. Bukan hanya hasil panen dan seekor sapi jantan yang akan saya bawa, tapi suami baru saya juga akan saya bawa ke rumah Dokter Dira." Risma tertawa kecil, memperlihatkan gigi palsunya yang berjajar rapi.
"Para pasien boleh berkunjung ke rumah Dokter Dira, tentu saja saya juga boleh berkunjung 'kan?"
Terdengar suara khas yang sangat tidak asing di telinga dan sukses membuat jantung berdesir.
Dira enggan menoleh ke belakang, karena ia sangat hafal dengan pemilik suara khas itu.
"Dokter Dira, bolehkah malam ini saya berkunjung ke rumah untuk berbincang?"
Dira membisu. Bibirnya serasa kelu untuk menjawab tanya yang terucap.
Kenapa tiba-tiba dia ada di sini? Batinnya bertanya, tanpa mengharap jawaban dari pria yang berhasil membuat hidupnya serasa jungkir balik.
"Dok, ditanya pacarnya tuh." Veronika setengah berbisik dan menunjuk ke arah pria bertubuh gagah yang berdiri di ambang pintu dengan gerakan dagu.
Pria itu ... Dariel. Sahabat sekaligus pria yang teramat mencintai Dira.
"Tuan itu bukan pacar Dokter Dira, tapi sahabatnya." Hani menimpali selorohan Veronika dengan melirihkan suara agar tak terdengar oleh Dariel.
"Tapi mereka cocok banget lho, Sus. Yang perempuan cantik, yang laki-laki cakep banget mirip Omar Daniel. Bahkan lebih cakep. Ups."
"Sttt, jangan keras-keras bicaranya, Bu. Nanti mengganggu pasien lain."
"Xixixi iya, Sus. Maaf, saya terlalu bersemangat mendukung mereka."
"Dimaafkan, Bu. Tapi jangan diulangi lagi ya. Lebih baik Bu Vero istirahat dulu. Jangan banyak bergerak dan bergibah, supaya cepat diperbolehkan pulang oleh Dokter Dira."
"Oke, siap Sus."
Dira enggan mengacuhkan obrolan Hani dan Veronika. Ia berpura-pura fokus membaca lembaran kertas yang berada di tangan dan berusaha untuk tidak mengacuhkan Dariel.
"Ra, aku boleh meminta waktu sebentar?"
Tanpa Dira sadari, Dariel sudah berdiri tepat di belakangnya.
Hembusan napas yang menyapu tengkuk membuat Dira meremang dan mematung.
Sekelebat bayangan khilaf yang pernah mereka lakukan, dengan lancangnya menari di pikiran.
Dira sekejap memejamkan mata untuk menghempas bayangan itu.
"Ra --"
"Maaf, Riel. Aku masih bertugas," sahutnya tanpa menoleh ke arah lawan bicara.
"Baiklah, aku tunggu sampai kamu selesai bertugas."
"Pergilah, hari ini aku lembur sampai malam."
"Aku akan tetap menunggu."
Dasar kepala batu! Umpatan yang hanya terlontar di dalam hati diiringi ayunan langkah.
Dira bergegas meninggalkan ruangan. Ia yakin, Dariel tidak akan menunggunya sampai malam.
Hari ini, ada banyak pasien yang harus ditangani, sehingga Dira terlalu sibuk dan terlupa untuk mengisi perutnya yang kosong sejak tadi siang.
"Dok, sudah malam. Sebaiknya Dokter Dira segera pulang dan mengisi perut, karena sejak tadi siang Dokter tidak makan apapun." Hani tampak perhatian, meski ia sama sibuk dan sama lelahnya seperti Dira.
"Iya, Sus. Suster Hani juga ya. Segera pulang dan isi perutnya."
"Siap, Dok. Saya duluan ya. Kakak saya sudah menunggu di depan."
"Silahkan, Sus." Dira tersenyum dan menjabat tangan Hani yang terulur.
Selesai berkemas, Dira menggeser layar gawai, kemudian membaca beberapa pesan yang dikirim oleh ayahnya.
Segera pulang, Nak. Jangan lembur sampai larut malam.
Ayah meminta Dariel untuk menjemputmu, karena Ayah dan Bunda harus berangkat ke Jakarta malam ini. Nenekmu sakit dan harus opname.
Jangan memesan ojek online, karena Dariel sudah menunggu. Dan kamu lebih aman jika pulang bersamanya.
Dira berdecak, lalu menghela napas panjang.
Inginnya menjauh dari Dariel. Namun sang ayah malah meminta Dariel untuk menjemput.
Dira dilema. Mematuhi ayahnya atau memesan ojek online.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah