Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Tempat tinggal Celine.
Setelah meninggalkan rumah sakit, Celine langsung kembali ke rumah kecilnya yang sunyi. Malam itu, ia berdiri di dapur, menatap panci di atas kompor. Uap dari rebusan sop naik perlahan, namun tidak menghangatkan hati Celine yang terlihat lesu dan pucat. Tubuhnya lemah, tapi tangannya tetap bergerak, mengaduk pelan kuah bening yang mengepul di panci. Hatinya sesak, pikirannya penuh luka.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari ruang tengah.
"Celine, apakah kau sudah memberi tiket dan uang kepada kakakmu?" suara ibunya, Sania, terdengar lantang, tak pernah mengenal kelembutan.
Celine menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak di dadanya. Ia menjawab dengan suara pelan tapi cukup jelas, "Sudah, Ma. Kakak sudah berangkat dan dia akan menghubungi kita setelah situasinya membaik. Untuk sementara, lebih baik dia menghilang."
Suaranya lirih, seperti menahan sesuatu yang tak sanggup lagi ditahan. Ia kembali mengaduk sop di panci. Matanya mengarah ke sebuah bungkusan kecil berisi serbuk putih yang diletakkan di sudut meja. Tangan Celine bergetar, tapi akhirnya ia membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam sop, mencampurnya perlahan hingga tak lagi terlihat.
"Setelah malam ini... semua akan berakhir," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. "Aku bisa bebas dari penderitaan dan trauma. Tak perlu lagi takut tidur, tak perlu hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Mama juga... Mama akan segera menemui Mike di alam sana. Dan aku yakin... Mike pasti tidak akan terlepas dari Kakak Wallace."
Air mata jatuh membasahi pipinya, tapi senyum tipis menggurat di wajahnya—penuh luka, namun penuh tekad.
Makan malam bersama.
Sania menyantap sop dengan lahap, sama sekali tak menunjukkan kecurigaan. Wajahnya terlihat puas.
"Kau harus ingat, rutin transfer uang untuk kakakmu. Dia adalah harapan keluarga ini," ucap Sania sambil menatap tajam ke arah putrinya. Tatapan penuh tuntutan, tanpa sedikit pun rasa iba.
Celine menunduk, menusuk makanan di piringnya dengan garpu. Suaranya lirih, namun tegas, "Semua gajiku sudah kukirim. Aku tidak ada uang lagi."
Sania mendengus kesal. Ia meletakkan sendoknya dengan kasar, lalu berkata dengan nada tajam yang penuh hinaan, "Tidak ada? Kau harus cari lagi! Kalau tidak, jual saja tubuhmu. Bukankah kau sudah pernah melayani dua pria itu?"
Ucapan itu menusuk seperti pisau tajam di dada Celine. Tubuhnya menegang, matanya membelalak, dan nafasnya tercekat. Seketika, ingatan tentang malam gelap itu menyeruak—malam saat tubuhnya dijadikan alat, ketika ia dipaksa menyerahkan diri demi permintaan keluarga yang menyebut itu sebagai "pengorbanan."
Tangannya mengepal di bawah meja. Tapi ia tak lagi menangis. Tidak malam ini.
Setelah makan malam berakhir.
Celine berdiri diam di tepi ranjang ibunya. Sania telah tertidur pulas, wajahnya tenang, tidak menyadari apa yang telah masuk ke dalam tubuhnya melalui semangkuk sop hangat. Lampu kamar menyala temaram, hanya menyisakan bayangan samar di dinding.
Celine memandang wanita itu dengan tatapan kosong, namun dalam sorot matanya tersembunyi gejolak amarah dan luka yang terpendam begitu lama.
"Ma... malam ini kau akan tidur nyenyak," bisiknya lirih, hampir menyerupai doa. "Aku mencampur obat tidur untukmu. Jangan khawatir, kau tidak akan tersiksa saat mati. Aku juga... Aku akan ikut bersamamu. Kita akan pergi bersama."
Namun, suara Celine gemetar. Air matanya menetes satu per satu, jatuh ke lantai dingin. Ia kembali mengingat malam itu—malam yang telah menghancurkan hidupnya, malam yang tidak pernah benar-benar ia tinggalkan.
Flashback: Dua bulan lalu, malam hari.
Hujan mengguyur deras di luar jendela. Petir sesekali menyambar langit, seperti mencerminkan kekacauan di dalam rumah kecil itu.
Celine menjerit panik saat Mike, kakaknya sendiri, menyeret tubuh lemahnya ke kamar. Kakinya terseret lantai kasar, dan ketika sampai di ambang pintu, Mike mendorongnya begitu keras hingga ia terjatuh ke lantai.
"Akhh!!" teriak Celine, tubuhnya menghantam keras lantai dingin. Air mata bercucuran, namun tidak ada yang peduli.
"Uangnya sudah kami terima," kata Mike sambil mengibas segepok uang di tangannya. Senyumnya dingin, seperti iblis.
"Mereka bayar dua kali lipat. Jadi kau harus melayani mereka sampai puas."
Di belakang Mike, dua pria bertubuh besar melangkah masuk ke kamar. Pandangan mereka penuh nafsu, seperti binatang buas yang menemukan mangsa.
"T-tidak... aku tidak mau... Ma, Kakak, tolong aku. Jangan lakukan ini padaku!" tangis Celine pecah. Ia merangkak ke arah ibunya yang berdiri di ambang pintu.
"Aku bisa bekerja... aku bisa cari uang... jangan jual aku... Ma, aku mohon!" tangisnya memilukan, mengguncang jiwanya sendiri.
Namun Sania hanya menoleh sekilas, dengan wajah tanpa ekspresi. "Mereka bayar mahal, jadi lakukan saja," ucapnya dingin.
Mike mendekat ke dua pria itu, lalu berkata dengan suara datar, "Kalian nikmati saja dia. Dia masih perawan. Mau berapa lama pun, itu terserah kalian."
Setelah itu, Mike menutup pintu dan menguncinya dari luar. Suara dentuman kunci yang terkunci terdengar seperti palu godam yang menghantam harapan terakhir Celine.
"TIDAAAKKK!!!" jeritnya yang menggema di dalam kamar, disambut suara hujan dan petir dari luar. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang menyelamatkan.