"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Bayangan yang Menyimpan Nama
Langit mulai mendung ketika Aisyah dan Khaerul melangkah keluar dari rumah tua itu. Angin membawa bau tanah dan dedaunan basah, seolah alam pun bersiap menyambut babak baru dari perjalanan mereka. Di tangan Aisyah, jurnal tua Mahfudz digenggam erat—seperti sebuah kompas yang memandu arah mereka ke masa lalu yang belum selesai.
Namun mereka tak sendiri.
Dari balik pohon beringin besar di pinggir halaman, seorang pria bertopi cokelat dan berkacamata hitam terus mengamati. Wajahnya tidak asing, tapi kabur dalam ingatan Aisyah. Beberapa kali ia merasa seperti melihat bayangan itu melintas di gang sempit, di halaman masjid, bahkan di pasar tempat ia biasa berbelanja. Kini bayangan itu memiliki wajah.
“Jangan bergerak,” ucap suara berat dari belakang. Khaerul refleks menarik Aisyah ke belakang tubuhnya, bersiap.
Pria itu melangkah maju, membuka kacamata dan topinya.
Aisyah ternganga. “Paman... Latif?”
Ya, pria itu adalah Latif, saudara jauh dari pihak ayah Aisyah, yang selama ini dikira telah pergi merantau dan tak pernah kembali. Namun yang mengejutkan bukan hanya kehadirannya—melainkan apa yang ia ketahui.
“Aku tahu kalian akan menemukannya. Catatan Mahfudz itu... sudah lama dicari banyak orang. Dan kalian sekarang berada dalam bahaya,” katanya, suaranya serak seperti tersimpan banyak luka.
“Kenapa selama ini mengawasi kami?” tanya Khaerul, tegas.
Latif menarik napas panjang. “Karena aku satu-satunya saksi hidup dari malam saat ayah angkat Halimah terbunuh. Kematian itu bukan kecelakaan... tapi pembunuhan yang direncanakan. Dan sejak saat itu, banyak yang ingin rahasia Mahfudz terkubur selamanya.”
Aisyah terduduk lemas. “Siapa yang melakukannya?”
Latif menatap mereka tajam. “Keluarga besar dari pihak Nuraini. Termasuk... ayahmu sendiri, Aisyah. Mereka tak ingin garis warisan jatuh pada Halimah. Jadi mereka memanipulasi catatan, menghapus jejak, dan mengirimku jauh dari Barru.”
Semuanya terasa runtuh di kepala Aisyah. “Ayahku... bagian dari semua ini?”
Latif mengangguk. “Tapi tidak semua yang kau tahu tentangnya adalah kebenaran. Ayahmu juga korban. Ia dijebak oleh para tetua yang ingin menguasai lahan peninggalan Mahfudz. Sebab tanah itu—La Besse—menyimpan sumber air bawah tanah yang kini diperebutkan oleh banyak pihak.”
Mata Aisyah berkaca-kaca. Hubungan darah yang tadinya menjadi penguat, kini seperti pedang bermata dua.
Khaerul menatap Latif. “Lalu, kenapa tidak kau ungkapkan sejak dulu?”
Latif tersenyum getir. “Karena hanya darah dari keturunan Mahfudz yang bisa membuka segel terakhir di makam tua itu. Dan aku bukan bagian dari darah itu. Tapi kalian... kalian adalah kuncinya.”
Hujan mulai turun perlahan, menyirami tanah seperti air mata bumi yang turut bersedih atas kebenaran yang baru saja terungkap. Aisyah memeluk jurnal tua itu lebih erat. Ia tahu, langkah berikutnya akan membawa mereka lebih dalam ke pusaran sejarah yang rumit. Tapi ia tidak sendiri. Kini ia bersama sepupunya, saudara seiman, dan mungkin... belahan jiwanya.
---
Malam harinya, mereka kembali ke rumah nenek tua tempat Aisyah dulu dibesarkan. Dinding kayu rumah itu seperti berbisik dalam diam, memanggil kenangan yang telah lama tertimbun. Di ruang tengah, Aisyah menyalakan lampu minyak. Cahayanya bergetar seperti jantung yang gugup.
“Paman Latif akan tinggal di rumah Pak Imran untuk sementara,” kata Khaerul sambil menutup pintu. “Ia merasa masih bisa dipercaya, walau banyak yang ingin membungkamnya.”
Aisyah mengangguk. “Aku merasa... semua ini terlalu berat untuk ditanggung. Tapi aku juga tidak bisa berhenti di tengah jalan.”
Khaerul duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah Aisyah yang tampak lelah namun tetap bersinar. “Kau tidak sendiri.”
Aisyah menatapnya. “Khaerul... bagaimana kalau ternyata kebenaran yang kita temukan justru menyakitkan?”
“Kalau itu memang kebenaran, berarti Allah ingin kita mengetahuinya. Luka yang dibuka oleh cahaya kebenaran akan sembuh lebih cepat daripada luka yang ditutup dalam gelap,” jawab Khaerul, perlahan tapi pasti.
Suasana mendadak hening. Di antara mereka, rasa yang dulu hanya samar kini mulai menemukan bentuknya. Aisyah sadar, ketertarikannya pada Khaerul bukan sekadar karena ia satu-satunya orang yang mengerti, tapi karena dalam dirinya, Aisyah menemukan tempat untuk kembali. Dan Khaerul pun demikian. Tatapannya pada Aisyah bukan hanya karena ia sepupunya, tetapi karena ada sesuatu yang melampaui ikatan darah—sebuah takdir yang terasa tumbuh di setiap langkah pencarian mereka.
Aisyah memalingkan wajah, menatap jendela yang kini dipenuhi embun. “Besok... kita ke makam Mahfudz. Kita buka segel itu.”
“InsyaAllah,” balas Khaerul.
Malam semakin larut. Angin menari di sela bambu dan dedaunan. Tapi hati Aisyah mulai merasakan ketenangan. Tidak seperti sebelumnya yang penuh kekacauan dan ketakutan. Kini ada harapan. Ada keyakinan bahwa semua ini bukan sekadar peristiwa, melainkan rencana Allah yang luar biasa.
Dan dalam doa malamnya, Aisyah mengucap: "Ya Allah, jika ini jalan yang Engkau pilihkan untukku, maka kuatkanlah langkahku. Jika kebenaran ini harus kubayar dengan air mata, maka jadikan ia air mata yang mencuci dosa. Dan jika cinta ini datang bersamaan dengan misteri-Mu, maka biarlah cinta ini menjadi bagian dari keajaiban-Mu."