Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Aldric menatap Arlena yang kini duduk lebih tegak dari sebelumnya.
Ia melihat dengan saksama gerak tangan, cara mengunyah, hingga cara Arlena menatap piringnya.
Masih canggung, masih belum sempurna, tapi ada kemauan. Dan itu cukup membuat Aldric membuka mulut lagi.
“Aku akan memanggil guru,” ucapnya sambil mengambil serbet dan menyeka mulutnya.
Arlena menoleh pelan. “Guru, Tuan?”
“Ya. Untuk mengajarimu sopan santun, etika makan, dan tata krama formal,” jelas Aldric sambil meletakkan sendok ke dalam mangkuk.
“Bukan hanya karena kamu pelayanku. Tapi karena kamu harus tahu… kamu layak tampil anggun dan dihormati.”
Arlena terdiam. Dadanya seperti bergemuruh oleh campuran perasaan tak percaya dan rasa haru.
“Satu hal lagi…” Aldric melanjutkan dengan tatapan tajam namun serius. “Cara jalanmu juga harus diubah.”
“C-cara jalan saya?” gumam Arlena, bingung.
Aldric bangkit dari kursi dan melangkah perlahan mengelilingi meja, lalu berdiri di hadapannya.
“Pelayan Aldric Hartanto harus berjalan dengan anggun. Tegap. Penuh percaya diri.”
Ia menatap mata Arlena dalam-dalam. “Bukan membungkuk seperti seseorang yang meminta maaf atas keberadaannya.”
Arlena menunduk sedikit, tapi kali ini bukan karena rendah diri… melainkan karena berusaha menahan air mata yang menggenang.
Bukan karena disalahkan. Tapi karena… untuk pertama kalinya, seseorang melihatnya lebih dari sekadar beban.
Setelah menyelesaikan makan siangnya, Aldric meletakkan serbet di samping piring dengan gerakan rapi dan teratur.
Tanpa banyak bicara lagi, ia berdiri dan melangkah menuju ruang kerjanya di lantai dua.
Langkahnya tenang, namun tegas seolah setiap keputusan yang akan ia buat sudah tertata jelas di kepalanya.
Sesampainya di ruang kerja, Aldric duduk di kursinya yang besar, membuka laptop, dan mulai menelusuri daftar nama yang sudah sempat ia pikirkan sejak pagi tadi.
Ia mengambil ponselnya dan menelepon dua orang.
Yang pertama, seorang dosen privat terbaik dari universitas swasta ternama.
“Dia hanya lulusan SMA. Tapi aku ingin kau mengajarinya langsung. Dari dasar. Online dan datang langsung ke rumah. Aku ingin dia lulus dengan gelar,” ucap Aldric tanpa basa-basi.
Pihak seberang terkejut, tapi tak berani menolak.
Yang kedua, seorang pelatih etika dan pembentuk karakter yang biasa menangani putri kalangan elite.
“Aku ingin dia belajar cara berbicara, duduk, makan, dan berjalan layaknya wanita terhormat.”
Setelah semuanya beres, Aldric menyandarkan tubuhnya. Tatapannya tajam, namun terselip sesuatu yang baru tujuan yang tidak biasa.
Sementara itu di dapur…
Arlena sedang membereskan meja makan sambil menahan senyum kecil di bibirnya.
Ia mengambil mangkuk-mangkuk sisa makan tadi dan menyusunnya di dekat wastafel.
Lalu ia teringat pada dua staf kebersihan yang sering diam-diam membantunya Maya dan Riko. Mereka berdua selalu bersikap ramah sejak hari pertama datang.
Arlena membuka pintu kecil yang mengarah ke ruang cuci dan berkata dengan sopan, “Maya, Riko… kalian istirahat sebentar, ya. Aku masak soto ayam. Yuk, makan bareng.”
Keduanya saling pandang, terkejut.
“Serius, Mbak Arlena? Boleh?” tanya Riko.
Arlena tersenyum dan mengangguk. “Boleh dong. Kalian bantuanku, aku harus berterima kasih.”
Mereka pun duduk di dapur, dan Arlena menuangkan soto ke dalam mangkuk.
Suasana di dapur hangat, akrab… jauh dari rasa takut dan dinginnya masa lalu. Untuk pertama kalinya, Arlena bisa tertawa kecil tanpa rasa cemas.
Malam mulai larut. Angin bertiup lembut dari celah jendela, membawa udara dingin yang membuat tubuh menggigil.
Setelah seharian penuh membantu di rumah dan memasak, Arlena akhirnya bisa merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.
Ia menarik selimut tipis dan menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya melayang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya sedikit lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia buru-buru bangun dan menghampiri pintu.
Begitu dibuka, berdirilah Aldric di ambang pintu. Wajahnya tampak pucat, sedikit berkeringat. Ia mengusap tengkuknya sambil berkata pelan,
“Apakah kamu bisa kerokan?”
Arlena mengerjap bingung, lalu mengangguk pelan.
“Bisa, Tuan. Kenapa?”
Aldric mengalihkan pandangannya dan menghela napas.
“Sepertinya aku masuk angin. Kepalaku berat dan perutku terasa tidak nyaman.”
Ia tidak menunggu jawaban Arlena. Dengan nada tenang tapi tegas, ia melanjutkan:
“Ke kamarku. Sekarang.”
Arlena mematung sejenak. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya berpikir macam-macam. Ia hanya perlu membantu.
Dengan langkah pelan dan hati yang tak karuan, ia mengikuti Aldric menuju kamarnya.
Sesampainya di sana, Aldric membuka kancing atas kemejanya, lalu duduk di tepi ranjang. Punggungnya menghadap Arlena.
“Kerok saja. Gunakan balsem dan koin di laci sebelah,” ucapnya tanpa menoleh.
Arlena menelan ludah gugup, lalu mengambil balsem dan koin dari laci.
Tangannya sedikit gemetar saat mulai mengoleskan balsem ke punggung Aldric.
Kulit pria itu dingin. Nafasnya berat.
Ia mulai mengerok perlahan, mengikuti garis tulang punggung.
Suasana kamar sunyi. Hanya terdengar suara lembut dari goresan koin di kulit dan sesekali tarikan napas Aldric yang menahan rasa nyeri.
Setelah beberapa menit, garis-garis merah mulai terlihat di punggung Aldric.
“Lumayan… terasa lebih ringan,” gumam Aldric akhirnya.
Arlena hanya tersenyum kecil, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya.
Dan malam itu, tanpa disadari oleh mereka berdua, jarak di antara dua hati yang berbeda dunia… mulai terkikis pelan-pelan.
Setelah selesai mengerok punggung Aldric, Arlena merapikan handuk kecil yang ia gunakan untuk mengelap sisa balsem.
Ia memperhatikan pria itu yang kini tampak sedikit lebih rileks, meskipun wajahnya masih menyiratkan kelelahan.
“Tuan Aldric,” ucap Arlena pelan.
Aldric menoleh sedikit. “Hm?”
“Lebih baik Anda beristirahat sekarang. Saya akan buatkan wedang jahe dulu, supaya tubuh Anda lebih hangat.”
Aldric sempat ingin berkata sesuatu, namun tatapan tenang Arlena membuatnya mengangguk.
“Baiklah… Tapi jangan terlalu lama,” jawabnya pelan.
Arlena segera keluar dari kamar, menuju dapur. Di sana, ia mulai menyiapkan potongan jahe segar, gula aren, dan sedikit serai.
Tangannya bekerja cekatan, namun pikirannya melayang-layang. Ia tidak menyangka pria sedingin Aldric bisa menunjukkan sisi rapuh seperti tadi.
Tak lama, uap harum jahe mulai memenuhi dapur. Ia menuangkan minuman itu ke dalam cangkir keramik dan membawanya perlahan ke kamar Aldric.
Sesampainya di sana, pria itu sudah berbaring, namun masih setengah duduk, menyandarkan tubuhnya pada bantal.
Arlena meletakkan cangkir itu di meja samping ranjang.
“Silakan diminum, Tuan. Ini bisa membantu menghangatkan tubuh dari dalam,” ucapnya sopan.
Aldric menatap cangkir itu, lalu memandang Arlena.
“Kau tahu banyak hal, ya?”
Arlena tersenyum kecil, menunduk. “Saya belajar dari nenek dulu.”
Aldric mengangguk pelan. Ia mengambil cangkir itu dan menyeruputnya perlahan.
Hangatnya langsung menjalar ke dadanya, bukan hanya karena minumannya… tapi juga karena perhatian kecil yang tidak pernah ia sangka akan datang dari seorang wanita seperti Arlena.
“Terima kasih,” ucap Aldric akhirnya.
Arlena terdiam sejenak, lalu menjawab lirih,
“Sama-sama, Tuan. Selamat beristirahat.”
Ia pun keluar dari kamar dengan hati yang anehnya… terasa hangat pula.
"Tato naga yang ada di panggung besar sekali," gumam Arlena.
Setelah meninggalkan kamar Aldric, Arlena berjalan perlahan kembali ke kamarnya.
Malam sudah semakin larut, dan tubuhnya mulai terasa berat. Tapi ada sesuatu dalam hatinya sebuah rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Senyuman tipis tergurat di wajahnya saat ia merebahkan diri ke atas ranjang.
“Besok pasti hari yang panjang,” bisiknya dalam hati.
Ia menatap langit-langit sebentar, lalu menarik selimut hingga ke dada.
Pikiran tentang pelatih etika dan dosen pribadi yang akan datang besok mulai memenuhi kepalanya.
Tuan Aldric benar-benar serius ingin mengubah hidupku...
Ia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata.
Besok pagi ia harus bangun lebih awal. Menyiapkan pakaian kerja Aldric, memasak sarapan, dan memastikan semua jadwal berjalan lancar.
Terutama menyambut dua orang penting yang akan mengubah kehidupannya dari titik paling bawah.
Dan malam itu, di antara rasa gugup dan harapan yang samar, Arlena akhirnya terlelap dengan hati yang sedikit lebih berani untuk menghadapi hari esok.