NovelToon NovelToon
Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Beda Dunia / Wanita Karir
Popularitas:778
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.

Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.

Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 08 (Langkah Pertama Menuju Damai)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Keesokan paginya, Letta terbangun dengan semangat yang berbeda. Ada keteguhan dalam sorot matanya—ia merasa lebih kuat, lebih siap. Hari ini, ia telah memutuskan satu hal penting: ia akan berdamai dengan masa lalu.

Pertemuannya dengan Zidan memang mengguncang hati, namun Letta tidak ingin terus terjebak dalam bayang-bayang kenangan lama. Ia memilih untuk menutup lembaran itu dan mulai menata perasaannya.

Sebagai langkah awal, ia memutuskan kembali mengunjungi lokasi proyek pembangunan hotel—tempat yang kemungkinan besar akan mempertemukannya lagi dengan Zidan.

Hari ini Letta tampil dengan penuh percaya diri. Ia mengenakan mantel panjang berwarna sage green, yang memberi kesan hangat namun tetap elegan.

Di dalamnya, ia memilih cardigan putih berpotongan pendek, dikenakan sebagai atasan utama tanpa lapisan lain—simpel namun tetap feminin.

Celana panjang hitam berpotongan lurus mempertegas siluet rampingnya, menambah kesan profesional namun tetap anggun. Di tangannya tergenggam tas kecil berwarna putih gading, netral dan chic.

Kalung perak tipis menghiasi lehernya sebagai pemanis, sementara sepatu putih bersih menyempurnakan penampilannya pagi itu.

Hari ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang keberanian Letta untuk menghadapi kenyataan, menatap masa depan tanpa lagi dibayangi masa lalu.

Setelah memastikan penampilannya sempurna, Letta melangkah keluar dari apartemennya dengan langkah mantap. Begitu tiba di area basement, ia langsung disambut oleh Etan, asistennya yang selalu hadir tepat waktu dan setia menjalankan tugas.

Hari ini Letta dijadwalkan melakukan pengecekan lanjutan terhadap proyek pembangunan hotel. Dalam hati, ia mencoba meneguhkan tekadnya. Ia siap terlibat secara langsung dalam proyek ini—meski itu berarti harus kembali berada di satu lingkungan dengan pria yang hingga kini masih diam-diam mengisi ruang di hatinya.

Sesampainya di lokasi, suara deru mesin dan teriakan mandor menyambut Letta dengan riuh khas dunia konstruksi. Sebelum melangkah lebih jauh, Etan menyerahkan helm pelindung padanya. Letta menerimanya sambil menarik napas panjang.

“Semangat, Letta,” gumamnya pelan, mencoba memberi dorongan pada dirinya sendiri.

Dengan helm di kepala dan keyakinan baru di dada, ia pun melangkah masuk ke area proyek, ditemani Etan yang berjalan setia di sisinya.

Langkah Letta mantap menapaki tanah berdebu dan jalanan kayu sementara yang membelah area proyek. Suasana di sekelilingnya riuh—pekerja lalu-lalang membawa material, suara logam beradu, dan percakapan teknis terdengar di sana-sini.

Namun semua itu justru menegaskan betapa hidupnya proyek ini, dan Letta ingin menjadi bagian dari denyut itu.

Etan, seperti biasa, berjalan sedikit di belakang, memperhatikan sekitar dengan awas. Sesekali ia mencatat sesuatu di tablet kerjanya, namun tetap waspada pada setiap pergerakan Letta.

“Bagian mana dulu yang ingin Nona periksa?” tanyanya sopan.

Letta menunjuk ke arah barat daya bangunan, tempat fondasi utama tengah ditinjau ulang. “Ke area basement dulu. Aku ingin tahu perkembangan terakhir setelah perombakan desain.”

Mereka menyusuri lorong antara bangunan setengah jadi. Sesekali Letta mencatat sesuatu di ponselnya, menandai hal-hal yang perlu dievaluasi atau ditindaklanjuti.

Ketika Letta tengah berbicara dengan salah satu supervisor mengenai rencana jalur kabel listrik, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang begitu ia kenal.

Zidan.

Ia berdiri tak jauh dari sana, sedang membantu mengatur peralatan dengan seorang teknisi. Seragam kerjanya lusuh oleh debu dan keringat, namun posturnya tegap, tegas seperti dulu. Namun tatapan matanya tetap sama—tajam, dan penuh tanggung jawab.

Letta terdiam sejenak. Dunia seolah melambat.

Menyadari ada yang mengawasi Zidan pun menoleh seketika mata mereka bertemu. Sesaat saja. Namun cukup untuk mengguncang keduanya.

Letta tersenyum tipis, sopan—nyaris seperti senyum formal pada siapa pun di tempat kerja.

Zidan membalas dengan anggukan kecil. Tak ada kata.

Letta berpaling lebih dulu, kembali menatap peta proyek di tangannya. Tapi kali ini, ia tahu: ia tak bisa pura-pura tak merasa. Ia tak bisa selamanya menjadi wanita kuat yang tampak tak tergoyahkan.

Namun setidaknya hari ini, ia berhasil berdiri di hadapan seseorang dari masa lalunya—tanpa gemetar, tanpa mundur.

Dan bagi Letta, itu cukup.

Setelah berkeliling cukup lama dan merasa semua yang perlu ditinjau sudah tercatat, Letta memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum meninggalkan lokasi proyek pembangunan hotel. Ia melangkah menuju area istirahat yang telah disediakan, namun pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang tak asing.

Zidan.

Ia duduk menyendiri di sudut, tampak lelah namun tetap tegap. Entah dorongan dari mana, Letta tiba-tiba memberanikan diri untuk menghampirinya. Jantungnya berdebar, tapi langkahnya tak ragu.

"Hai," sapanya pelan.

Zidan menoleh, sedikit terkejut mendapati Letta berdiri di hadapannya. Sebelum ia sempat merespons, Letta mengulurkan sebotol air mineral ke arahnya.

"Minum?" tawarnya, sambil tersenyum ramah.

Zidan sempat terdiam. Ada rasa dejavu yang menghantamnya—adegan ini seperti potongan dari masa lalu, ketika Letta juga pernah menawarkan hal serupa di bangku SMA. Perlahan, ia menerima botol itu, meski tak sepenuhnya tahu harus berkata apa.

Letta kembali membuka suara, kali ini dengan nada lebih hati-hati. "Boleh aku duduk di sini?"

Zidan tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Letta pun duduk tak jauh darinya, menyisakan jarak yang cukup aman, namun cukup dekat untuk menciptakan ruang percakapan.

Beberapa saat, hanya keheningan yang mengisi udara di antara mereka. Suasana terasa canggung, namun tidak sepenuhnya tidak nyaman.

"Lama nggak ketemu. Apa kabar?" Letta akhirnya memecah keheningan, mencoba membuka pintu dialog.

Zidan menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka hari ini, ia menjawab dengan suara yang lebih hangat. "Aku baik. Kamu sendiri?"

Senyum Letta terukir, tulus dan tenang. "Sekarang jauh lebih baik," ucapnya, dengan nada yang menyiratkan makna lebih dalam—tentang berdamai, tentang bangkit, tentang menerima.

“Umm... Aku dengar kamu sudah menikah,” ucap Letta hati-hati, mencoba memastikan apa yang ia baca dalam dokumen kemarin bukan sekadar kesalahan ketik.

Zidan mengangguk ringan. “Ya, lima tahun yang lalu,” jawabnya singkat.

Letta tersenyum kecil, meski di dalam dadanya ada sesuatu yang sedikit mengencang. Ia berusaha tetap bersikap santai. “Kalau begitu, udah ada Zidan junior dong?” godanya pelan, berusaha mencairkan suasana.

Namun, Zidan hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan. “Sayangnya, belum.”

Jawaban itu membuat Letta sedikit mengernyit. Lima tahun menikah tapi belum punya anak? Ia sempat bingung, meski dalam hati mengingatkan diri bahwa tak semua pasangan langsung dikaruniai anak—bisa jadi memang belum saatnya.

“Aku dan istri aku memang sengaja menunda dulu,” jelas Zidan cepat, seolah menangkap ekspresi heran Letta. Ucapannya terdengar meyakinkan, meski dalam hati ia tahu itu bukan sepenuhnya benar.

Bukan niatnya untuk berbohong, hanya saja... ia tak ingin Letta tahu kenyataan di balik dinding rumah tangganya yang mulai retak.

Letta mengangguk, mencoba memahami. Namun saat mendengar Zidan menyebut “istri aku,” ada bagian di hatinya yang kembali terasa sesak. Ia menunduk sebentar, lalu tersenyum kecil, menutupi perasaan yang tidak seharusnya muncul lagi.

Beberapa saat berlalu dalam diam, sebelum Zidan tiba-tiba bertanya, “Kamu?”

Letta mengangkat wajahnya, sedikit bingung. “Iya? Kenapa?”

Zidan menatap Letta, kali ini dengan sorot mata yang lebih hangat. “Kamu sendiri... sudah ada pasangan?”

Letta tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan. “Ah... aku terlalu sibuk bantu Papi. Sampai-sampai nggak sempat mikirin hal begituan.”

Zidan menyipitkan mata, seolah tak percaya. “Sulit dipercaya.”

Letta mengernyit. “Maksud kamu?”

“Seorang Letta... nggak punya pasangan?” ucap Zidan, nadanya seperti menyimpan keheranan yang tulus.

Letta tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Bukankah itu hal yang wajar? Nggak semua orang harus buru-buru punya pasangan.”

Zidan menatap Letta beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Itu nggak wajar... untuk wanita secantik kamu.”

Letta tersentak kecil, tidak menyangka. Kata-kata itu datang begitu saja, sederhana namun mampu menggetarkan hatinya. Ia menunduk sebentar, menyembunyikan rona merah yang mulai muncul di pipinya.

Apa Zidan baru saja memujiku? batinnya bergema pelan.

TBC...

1
Mira Esih
ditunggu terus update terbaru nya thor
Leo Nuna: siap kak🫡
total 1 replies
Mira Esih
sabar ya letta nnti jg ada perubahan sikap Zidan masih menyesuaikan keadaan
Mira Esih
terima aja Zidan mungkin ini takdir kamu
Leo Nuna: omelin kak Zidan-nya, jgn dingin2 sma Letta😆🤭
total 1 replies
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah hidupnya pas²an..
Okto Mulya D.: sama²
Leo Nuna: iya nih kak, makasih loh udh mampir😉
total 2 replies
Okto Mulya D.
Kasihan ya, cintanya ditolak
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah cinta putih abu-abu yaa
Okto Mulya D.
semangat Letta
Okto Mulya D.
udah mentok kalii sudah 28 tahun tak kunjung ada
Okto Mulya D.
Letta coba kabur dari perjodohan.
Okto Mulya D.
jadi pelakor yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!