Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 — Perasaan yang Tidak Dapat Dihentikan
Alana ingin sekali menyuruh Jendral menyingkir dari hadapannya, tetapi yang keluar dari mulutnya justru hal lain.
"Lo nggak denger gue ngomong apa sebelum keluar kelas?" tanyanya, masih dengan nada sinis seperti biasa.
"Gue denger, tapi lo kelamaan kalau cuma ke toilet," jawab Jendral, tidak mempermasalahkan nada sinis Alana.
"Bu guru juga tadi bilang lo pucat, makanya gue khawatir," tambahnya.
Nisya yang mendengar itu menatap Alana. Ia tidak tahu bahwa Alana pergi ke toilet dengan wajah pucat. Tadi, di toilet, ia terlalu takut membuat Alana marah, jadi tidak terlalu memperhatikan kondisinya.
"Alana, kamu sakit? Aku panggil Naresh, ya?" tanya Nisya, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Jendral.
Alana memang sedang sakit, seharusnya yang dipanggil dokter, kenapa malah Naresh?
Tepat saat pertanyaan itu terucap dan Bu Ika hendak menegur mereka karena berbicara saat pelajaran berlangsung, bel istirahat kedua berbunyi. Bu Ika akhirnya berpamitan dan meninggalkan kelas, diikuti oleh murid-murid lainnya.
"Naresh bukan dokter!" ujar Jendral menyela.
Sekarang, di kelas hanya ada Jendral, Alana, dan Nisya. Murid-murid lain sudah keluar dari kelas. Sebenarnya, sebagian besar murid penasaran dengan drama yang terjadi, namun mereka menahan rasa ingin tahunya, mengetahui bahwa Alana baru saja mengamuk di kelas lain.
"Emang bukan, tapi Naresh yang selalu ngurusin Alana kalau Alana sakit," balas Nisya.
Jendral menatap Alana. Perempuan itu tidak membantah, sepertinya apa yang dikatakan Nisya memang benar. Naresh yang selalu mengurus Alana saat Alana sakit.
"Lo nggak perlu manggil Naresh, gue udah baik-baik aja sekarang," potong Alana, lalu berjalan menuju bangkunya, melewati Jendral.
"Kamu yakin baik-baik aja?" tanya Nisya, memastikan. Kali ini, bukan hanya tatapan Jendral yang tajam, tatapan Alana pun sama tajamnya kepada Nisya.
"Hehe, iya oke. Kamu baik-baik aja," jawab Nisya akhirnya, sambil duduk di bangkunya. Ia memilih untuk tidak terlalu banyak bertanya kepada Alana.
Meski tadi Alana membelanya, kemungkinan Alana marah padanya masih sembilan puluh sembilan koma sembilan persen.
"Beneran nggak suka ditanya kabarnya, ya?" gumam Jendral dalam hati, melihat reaksi Alana saat Nisya terus menanyakan keadaannya.
Setelah cukup lama berdiri di tempatnya, Jendral akhirnya melangkah kembali ke bangkunya dan duduk di samping Alana.
"Maaf, tadi gue udah bentak lo," ucapnya pelan, cukup agar hanya Alana yang mendengarnya.
Alana melirik sekilas ke arah Jendral. Ia tidak tahu mengapa Jendral tiba-tiba saja meminta maaf kepadanya seperti itu.
"Seharusnya gue buktiin kalau gue emang suka sama lo, bukan teriak dan bentak lo kayak tadi," tambah Jendral.
"Lo nggak salah. Tapi kalau emang bener lo suka sama gue, gue saranin lebih baik lo kubur perasaan lo itu," ucap Alana, menatap Jendral setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Kalau perasaan lo tulus, gue bukan cewek yang pantes nerima ketulusan lo," jelasnya.
Jendral tidak suka mendengar Alana mengatakan itu, tetapi kali ini ia menahan diri agar tidak terbawa emosi dan menyakiti Alana.
"Pantes nggak pantesnya bukan lo yang ngatur," ucap Jendral, berusaha bicara setenang mungkin agar perempuan di sampingnya tidak terluka oleh perkataannya.
Alana dan Jendral saling menatap cukup lama. Mereka seakan dibawa ke dunia lain yang hanya dihuni oleh mereka berdua. Nisya, yang duduk di samping kiri Jendral, seolah tidak terlihat.
"Terserah lo," ucap Alana, mengakhiri tatapan mereka dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merasakan sesuatu yang membuat hatinya tidak nyaman saat menatap mata Jendral.
"Oke, terserah gue," balas Jendral, menyetujui perkataan Alana. Memang terserah dirinya mau menunjuk siapa perempuan yang dianggap pantas.
***
Di kelas XI-3, Kaluna menangis histeris karena telah dipermalukan oleh Alana. Teman-temannya berusaha menenangkannya, tetapi Kaluna justru menyalahkan mereka karena tidak membelanya.
"Kenapa kalian diam saja tadi, hah?" tanya Kaluna dengan marah, sementara air mata telah membasahi kedua pipinya.
Seumur hidupnya, baru kali ini ia dipermalukan. Biasanya, ia yang mempermalukan dan merendahkan orang lain yang dianggap tidak sederajat dengannya.
"Ya, maaf. Lo tahu sendiri kan gimana Alana kalau udah marah," ucap Savana, meminta pengertian agar Kaluna tidak menyalahkannya dan menyalahkan Alana saja.
"Iya, bener. Mana Alana anak taekwondo, kan? Ngeri banget gue," timpal Liona.
"Anak taekwondo?" tanya Aska dalam hati, tanpa sengaja menguping percakapan ketiga perempuan itu karena masih berada di dalam kelas.
"Sekarang gue harus ketemu Jendral dan kasih tahu dia tentang Alana." Aska segera keluar dari kelas, tidak memperdulikan ketiga perempuan yang masih terjebak dalam drama mereka. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan daripada mendengarkan percakapan itu.
"Mau ditaruh di mana muka gue sekarang?" teriakan itu terdengar saat Aska sampai di ambang pintu kelas, tapi tidak membuatnya menghentikan langkah. Ia sama sekali tidak menganggap itu penting.
***
Alana tertidur di kelas dengan kepala bersandar di atas meja. Ia bisa tidur di mana pun dan kapan pun saat pikirannya sedang terganggu, seperti sekarang. Jendral yang melihatnya terlelap, melepas jaket hitamnya dan menyampirkannya di bahu perempuan itu.
"Lo beneran sakit, ya?" tanya Jendral sambil memandangi wajah terlelap Alana. Wajahnya memang sudah tidak pucat, tapi ia tetap khawatir.
"Jendral..." Nisya menegur, mengingatkan agar tidak mengganggu Alana yang sedang tidur.
"Iya," jawab Jendral, seakan paham, lalu kembali duduk di bangkunya. Ia memang tidak berniat mengganggu Alana, hanya ingin memastikan perempuan itu baik-baik saja.
Jendral dan Nisya duduk di bangku masing-masing dalam keheningan. Tidak ada percakapan yang terjadi, hingga akhirnya Jendral bertanya ke mana Nisya menghilang saat istirahat pertama tadi.
"Lo ke kantin duluan, kan, tadi? Kenapa gue nggak ngeliat lo di kantin? Terus kenapa tadi lo tiba-tiba balik ke kelas bareng Alana?" tanya Jendral tanpa menoleh sedikit pun pada Nisya. Pandangannya lurus ke depan, menatap papan tulis.
Nisya melirik Jendral sekilas. Ia ragu untuk memberitahu Jendral apa yang sebenarnya terjadi sampai dirinya menghilang.
"Aku tadi ketiduran di perpus," jawab Nisya asal, disertai cengiran kecil.
Jendral percaya begitu saja. Sekalipun Nisya berbohong, itu bukan urusannya. Ia lebih peduli tentang Alana dibandingkan Nisya.
"Apa menurut lo Alana baik-baik aja?" tanya Jendral lagi, kali ini dengan topik lain. Ia perlu memastikan apakah Alana benar-benar baik-baik saja atau tidak.
Nisya bersyukur Jendral tidak bertanya lebih jauh tentang ke mana dirinya saat istirahat, tetapi ada sedikit perasaan kecewa di hatinya.
"Alana baik-baik aja. Kalaupun sekarang nggak, dia pasti akan baik-baik aja," jawabnya.
Ia tahu, Alana akan selalu baik-baik saja. Sekalipun keadaannya tidak baik, Alana akan membuat semuanya terlihat baik-baik saja. Sebab Alana tidak suka jika orang lain tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.