Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - MENJEMPUT SATRIA
Elen, hari ini kamu temani saya keluar makan siang!" tegas Divine yang lebih mirip sebuah perintah.
"Tapi Pak, saya dan Rafael..."
"Boss kamu, saya atau Rafael?" tanyanya dengan nada dingin tanpa menatap Elen.
"Baik, Pak. Maaf!"
"Kembali bekerja!" titah Divine. Saat melihat Elen kembali ke meja kerjanya, diam-diam ia menelisik Elen dari ujung rambut sampai kaki.
"Cantik, sayangnya janda!" batin Divine, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan.
Dari info yang Divine dapatkan. Elen memang sudah menikah saat masuk ke perusahaannya, tapi tak disangka jikalau wanita semuda itu juga sudah bercerai.
Satu jam sebelum istirahat, Divine mengajak Elen keluar.
"Pak kok kita keluar, bukannya masih satu jam lagi untuk istirahat?" tanya Elen memberanikan diri, menyusul langkah Divine yang sudah masuk lebih dulu ke dalam lift.
"Memang, tapi ini jam Satria pulang sekolah," jawab Divine sambil memeriksa jam di pergelangan tangannya, lagi tanpa menatap atau sekedar melirik Elen.
Deg.
Elen terdiam, ia juga tak bisa jika tak memikirkan sang putra. Namun, pekerjaannya bukanlah pekerjaan sembarangan. Elen tak bisa sesuka hati melakukan apa yang ingin ia lakukan, termasuk menjemput Satria seperti yang bisa Ibu-ibu lain lakukan untuk anaknya.
"Mulai sekarang, tiap jam sebelas. Kita jemput Satria bersama," Ujar Divine masih dengan nada datar.
Elen memalingkan wajahnya, entah harus senang atau sedih. Ia bahkan tak cukup nyali untuk bertanya, maksud baik Divine. Elen hanya bisa diam mengekor laki-laki itu keluar dari perusahaan dan masuk ke dalam mobil mewah.
"Saya rasa, Pak Divine tak perlu bertindak baik berlebihan pada Satria," ujar Elen.
"Hm, aku hanya menyukainya. Apa tidak boleh? Menurutmu, apa aku dan Satria cocok?" tanya Divine blak-blakan.
"Eh, maksudnya apa, Pak?"
"Lupakan, kita beralih ke pertanyaan lain. Dimana suami kamu?" tanya Divine, ia ingin mengenal sisi lain sosok Elen langsung, menjadikan wanita itu salah satu kandidat calon istri sebelum sang bunda mengenalkannya pada gadis-gadis sosialita.
"Suami? Kami bercerai, tapi masih menunggu keputusan terakhir." Elen menjawab tanpa melihat ke Divine, toh laki itu fokus pada stir kemudinya. Sementara ia, lebih tertarik melihat sisi kiri jalan dimana tiang-tiang lampu kota semakin unik seiring berjalannya waktu.
"Oh, aku kira meninggal! Satria pernah bertanya bagaimana rasanya punya ayah? aku pikir ayahnya tidak lagi ada di dunia ini."
Deg.
Elen menoleh ke arah Divine bersamaan dengan mobil berhenti di tepi jalan membuatnya sedikit terhuyung hingga lengan mereka saling menyentuh.
"M-maaf, Pak!" Elen langsung menjauh dan jaga jarak aman.
"Hm."
***
Sepanjang jalan, baik Divine maupun Elen lebih banyak diam hingga padatnya lalu lintas menjebak mobilnya dan Divine berulang kali berdecak kesal.
"Pak, apa kita balik ke kantor saja. Satria biar Keyra yang jemput," ujar Elen hati-hati, tak bermaksud menolak niat baik laki-laki itu tapi juga tak ingin membuat Divine tersinggung.
"Aku sudah janji jemput dia siang ini."
"Hah, tapi, Pak?" Elen tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Terlebih setahunya, sang putra tak mudah akrab dengan seseorang jika orang itu tak mengenal Momy-nya.
"Aku menemaninya lomba kemarin, dari situ aku melihat dia sangat sedih. Sedikitpun gak ada niat membawanya pergi, hanya kasian. Aku pikir ayahnya sudah tidak ada di dunia, jadi aku berinisiatif mengajaknya jalan-jalan ke mall. Membelikannya es krim, mengajaknya bermain sampai lupa mengabari keluarganya."
"Bukan, ayah Satria masih ada. Hanya karena dia bukan orang baik, dan tidak bisa bersikap baik jadi kami bercerai." Elen memalingkan wajahnya, ia merutuki mulutnya yang sudah bicara sembarangan perihal ranah pribadi kepada Divine.
"Kamu tahu, apa yang dia katakan padaku? Dia berkata, 'tak apa, tak menang lomba. Yang terpenting, teman-teman sekolah tak lagi tanya kemana ayahnya!"
Deg.
Elen terdiam, tak menyangka, Satria akan bicara seperti itu pada Divine.
Laki-laki itu membelokkan mobilnya ke halaman TK Pelita Harapan. Sikapnya sedikit lebih baik pada Elen, akan tetapi sedikitpun Divine tak akan minta maaf.
Masalah Elen yang meminta izin, aturan kantor memang belum memperbolehkan karyawan baru untuk izin sekalipun dia sekertaris boss.
Ceklek,
Suara pintu mobil terbuka, Satria yang tengah bersama Keyra terperangah melihat pemandangan di hadapannya.
Laki-laki tampan, tinggi berjass mahal datang bersama Elen. Tadinya Keyra hendak membawa Satria ke tokonya, akan tetapi Elen mengabari jika akan menjemput Satria ke sekolah.
"Makasih Key, padahal aku dah bilang mau jemput Satria!" ujar Elen setelah mendekat ke arah sahabatnya.
Keyra mengangguk sumringah, "hanya memastikan Satria baik-baik saja, aku nggak mau mengulangi keteledoranku menjaga Satria!" Keyra tersenyum tulus.
"Ngomong-ngomong siapa dia?" sambungnya berbisik, melirik ke arah Divine yang langsung menghampiri Satria bahkan mengajak bocah kecil itu ber-toss ria.
"Boss baru aku, kenapa?"
"Ehm, kirain calon ayahnya Satria hehe," bisik Keyra lagi.
"Ish ngaco, cowok sesempurna dia mana mau sama aku."
"Artinya kamu mau sama dia hehehe. Pasti mau, sekarang kan jamannya 'janda semakin di depan.' Ya, kan?"
Mendengar penuturan Keyra, Elen membulatkan matanya, mencubit keras lengan gadis itu hingga membuatnya mengaduh kesakitan.
"Udah?" tanya Divine.
Elen mengangguk, menoleh ke arah Keyra.
"Ah aku bawa motor kok." Keyra menunjuk motornya yang terparkir tak jauh dari mereka.
"Oh oke, kami duluan!" pamit Elen, membawa Satria masuk ke dalam mobil milik Divine.
"Satria kamu di depan sama Om ya, biar Mamamu di belakang!"
"Iya, Om baik."
Seketika Elen memijat pelipisnya dan berfikir, apa mereka seakrab itu? Yang Elen takutkan hanya satu, bagaimana jika Satria terlena dan malah berharap Divine menyayanginya selalu.
"Kamu mau es krim?" tawar Divine pada Satria.
"Ehm..." Satria menunduk dan nampak berfikir.
Sejurus kemudian menoleh ke belakang menatap Elen, "bolehkah Mom?"
Elen diam, sebenarnya agak keberatan dengan segala kebaikan Divine, akan tetapi bagaimana lagi? Saat ini menolak pun percuma, hanya akan menyinggung laki-laki itu dan Elen sedang menghindarinya. Menghindari membuat masalah untuk sang Boss.
"Boleh," singkatnya.
"Asyik, boleh!" Satria berteriak girang, menampilkan giginya yang putih dan rapi.
"Tentu saja boleh, masa Momy-mu mau melarang! Bukan kah itu tak adil untukmu Boy."
Elen mengepalkan tangan, kesal tapi tak mampu berbuat apa-apa. Dirinya hanya bisa menuruti kemauan Divine yang seenaknya.
Divine mengajak Elen dan Satria memasuki sebuah Mall.
"Pak jam istirahat hampir usai, apa tak sebaiknya kembali ke kantor?" tanya Elen.
"Diam dan menurutlah," ujar Divine setengah berbisik.
Elen hanya bisa menghela napas, menatap laki-laki itu yang sudah mensejajari Satria bahkan menggandeng tangan mungil putranya.
Jika dengan Satria laki-laki itu bisa sehangat sinar mentari pagi, tapi kenapa dengannya Divine lebih mirip kepala gunung es?
HALLO MOHON DUKUNGANNYA PADA KARYA BARUKU DENGAN LIKE, KOMEN VOTE DAN RATE💕
YG MAU BERTEMAN, FOLLOW IG AUTHOR,
@Mimahe_Gibran_offical
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....