NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Kepulangan

Angin malam Bandung selalu punya cara untuk menyelinap ke dalam pakaian, seperti tangan dingin yang tak terlihat. Malam itu, udara lebih menusuk dari biasanya. Aku baru saja turun dari mobil Ardi setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Lampu teras rumah Ibu menyala redup, seperti mata yang menunggu namun kelelahan.

Aku menarik napas panjang dan mencoba menegakkan bahuku. Pulang ke rumah setelah perceraian orang tuaku bukan hal mudah. Rasanya seperti kembali ke tempat luka yang belum sempat mengering.

Ardi menurunkan koporku dan meletakkannya di dekat pintu. “Kalau kamu butuh aku nginep di sini, bilang, ya,” katanya sambil merapikan jaketnya. “Aku nggak mau kamu sendirian dalam keadaan gini.”

Aku tersenyum kecil. “Nggak usah. Kamu pulang aja. Ibu pasti nanti butuh ruang.”

“Kalau ada apa-apa, telepon aku. Jangan ditahan sendiri.”

Nada suaranya tegas tipikal Aries, pikirku. Sementara aku… aku lebih sering menahan cerita sampai penuh lalu pecah sendiri. Pisces terlalu sering membiarkan perasaan mengumpul seperti air dalam gelas yang retak.

Setelah Ardi pergi, aku berdiri beberapa detik di depan pintu. Rumah ini seperti mengingatkanku pada semua yang telah berubah. Dulu, sebelum aku menikah, rumah ini selalu berisik: suara Ibu yang sibuk, suara Ayah menegur Raka, suara Laras dan aku ribut masalah hal-hal nggak penting.

Sekarang...? Sunyi...!!!

Hening seperti lembar kertas kosong yang menakutkan.

Aku membuka pintu.

Ibu duduk di sofa ruang tamu, memandangi dinding dengan tatapan kosong. Laras tertidur di sampingnya, tangannya memegang perut yang sudah membesar. Raka tidak terlihat. Dimas sedang membersihkan meja, mencoba mengalihkan pikiran dari kekacauan yang baru terjadi beberapa hari lalu.

Aku duduk di samping Ibu tanpa suara. “Bu,” panggilku pelan. Ibu menoleh, tersenyum sedikit, lalu menangis tanpa suara. Air matanya jatuh begitu saja. Tidak dramatis, tidak pecah tapi hancur dalam cara lain. Seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan segalanya.

Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. “Aku di sini, Bu. Nggak apa-apa. Kita bersama.”

Suara Ibu bergetar. “Rumah ini dulu penuh suara ayahmu. Sekarang cuma… kosong.”

Aku mencium puncak kepala Ibu, menahan napas yang mulai bergetar. “Pelan-pelan ya, Bu. Kita perbaiki semuanya pelan-pelan.”

Dimas duduk di kursi seberang, mendekap tangan. “Aku masih nggak ngerti, Yah. Kok Ayah bisa gitu? Tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun, Kak. Apa bener Ayah nggak bahagia selama itu?”

Aku menatap adikku. “Manusia bisa berubah, Mas. Bahkan yang paling kita percaya sekali pun.”

“Berubah boleh, tapi meninggalkan keluarga?” suara Dimas meninggi.

Aku memberi isyarat agar ia mengecilkan suara—Laras sedang tidur.

Dimas menghela napas panjang dan menunduk lagi. “Maaf. Aku cuma… kaget. Marah juga.”

“Aku pun sama,” kataku pelan.

Dari lantai atas terdengar langkah kaki. Raka muncul dengan wajah sembab. Ia turun perlahan, duduk di lantai dekat sofa, bersandar pada kakiku. “Kak… Ayah beneran nggak bakal balik lagi?”

Pertanyaan itu seperti pisau dan aku tidak bisa menghindarinya. Aku mengusap rambut adikku. “Mungkin bukan ke rumah ini, Ka. Tapi kita bisa tetap lihat Ayah kalau kamu mau.”

Raka menggeleng cepat. “Aku nggak mau lihat Ayah dulu.”

Aku hanya menepuk bahunya tanpa memaksa.

Hening tiba-tiba mengisi ruang tamu.

Hening yang berat.

Yang mengandung banyak cerita, tapi tidak ada yang siap mengucapkannya.

---

Pukul sembilan lewat ketika Ibu bangkit dan masuk ke dapur. “Ibu mau buatkan teh. Kalian minum, biar hangat.”

Aku ikut berdiri. “Aku bantu ya, Bu.”

Kami sama-sama ke dapur. Ibu membuka lemari, tangannya sedikit gemetar. Aku mengambil cangkir dan meletakkannya di meja. Ketika air panas dituangkan, suara gemericik membuatku sadar betapa tegangnya bahu Ibu.

“Bu…” panggilku lembut.

Ibu menatapku.

“Kalau Ibu mau cerita kapan pun… aku dengerin.”

Ibu tersenyum murung. “Kamu anak baik, Alya. Dari dulu kamu selalu ngertiin Ibu.”

Aku menggenggam tangannya. “Ibu sudah kuat terlalu lama. Sekarang giliran kita yang jaga Ibu.”

Air mata Ibu jatuh lagi. Tapi ada sesuatu yang berbeda: kali ini ada kelegaan kecil.

---

Setelah teh jadi, kami kembali ke ruang tamu. Laras sudah terbangun, memegang punggungnya sambil mengatur napas.

“Kamu capek, Ras?” tanyaku.

“Cuma pegal. Bayinya aktif banget sejak sore,” jawabnya setengah tertawa tapi matanya merah. “Tadi aku mimpi Ayah pulang.”

Ucapan itu membuat suasana menegang sebentar.

Laras melanjutkan dengan suara pecah, “Di mimpi itu Ayah duduk di sofa, kayak dulu. Tapi pas aku panggil, dia hilang. Kayak asap.”

Aku memeluk Laras dari samping. “Sini.”

Laras menyandarkan kepala di bahuku, mengusap perutnya yang bergerak. “Aku cuma nggak mau anakku lahir tanpa kakek.”

Aku ingin bilang bahwa semuanya masih bisa diusahakan. Tapi kenyataan terlalu rumit. Jadi aku hanya menepuk tengkuknya pelan, memberi kehangatan yang bisa kuberikan malam itu.

---

Beberapa jam berlalu. Rumah mulai terasa sedikit lebih hangat meski tidak sepenuhnya pulih. Kami bicara tentang hal-hal kecil untuk mengalihkan pikiran tentang bayi Laras, tentang pekerjaan Raka di sekolah, tentang rencana Dimas membuka bengkel kecil.

Namun tak peduli seberapa sering kami mencoba tersenyum, bayang-bayang perceraian itu selalu mengikuti seperti siluet di dinding. Tidak terlihat jelas, tapi ada.

Menjelang tengah malam, Ibu berdiri dan mengambil selimut. “Kalian nginep sini aja semua, ya. Ibu butuh kalian malam ini.”

Tidak ada dari kami yang menolak.

Raka mengambil posisi di karpet. Dimas merebah di kursi panjang. Laras tidur dengan posisi setengah duduk. Dan aku… aku duduk bersandar di dinding, memandangi langit-langit rumah yang dulu penuh suara.

Rumah ini sudah retak tiga puluh tahun, kata Ibu. Tapi retakan itu baru terdengar sekarang.

Dan aku… di tengah malam sunyi, menyadari satu hal:

Retakan itu bukan akhir.

Kadang retak adalah tempat cahaya masuk.

Aku memejamkan mata, menarik napas panjang, dan membiarkan kehangatan tubuh keluargaku menembus dingin malam Bandung.

Malam kepulangan bukan malam yang indah.

Bukan pula malam yang tenang.

Tapi malam itu adalah malam pertama kami benar-benar saling menggenggam, bukan sebagai keluarga yang utuh… tapi sebagai keluarga yang bertahan.

Dan mungkin, dari titik itulah, kami bisa mulai membangun ulang.

Setelah semuanya mulai tenang, aku bangkit perlahan, berjalan menuju jendela ruang tamu. Lampu jalan menerangi halaman depan rumah, menyorot rumput yang basah dan pohon mangga yang selalu jadi tempat kami bermain dulu. Aku menyentuh kaca jendela yang dingin, dan di balik pantulan wajahku yang lelah, aku melihat bayangan masa lalu empat anak kecil berlarian di halaman, tertawa tanpa beban.

“Mungkin waktu itu kita semua terlalu kecil untuk tahu Ayah dan Ibu sebenarnya sudah melewati banyak badai,” gumamku pelan.

Dimas yang masih duduk mengurut pelipis menoleh. “Aku masih nggak masuk akal, Kak. Tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun tinggal bareng… mana mungkin tiba-tiba putus begitu aja?”

“Kadang bukan tiba-tiba, Mas,” sahutku sambil tetap menatap keluar. “Kadang kita aja yang nggak lihat retaknya.”

Dimas diam cukup lama, lalu menghela napas berat. “Aku takut, Kak.”

Aku menoleh. “Takut apa?”

“Takut aku jadi kayak Ayah.” Suara itu begitu pelan, tapi setiap katanya seperti batu jatuh ke dasar perutku.

Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya. “Mas, Ayah bukan contoh buruk. Dia cuma… manusia. Dia capek, dia salah ambil langkah. Tapi itu bukan berarti kamu akan kayak gitu.”

“Tapi aku mirip Ayah. Kata Ibu, aku punya sifat keras kayak dia. Aku takut suatu hari aku juga ninggalin keluarga aku sendiri.”

Aku menggenggam bahunya. “Mas, kamu orang baik. Kamu tanggung jawab. Kamu sayang keluarga. Kamu bukan Ayah, dan kamu punya pilihan untuk jadi versi terbaik dari diri kamu.”

Dimas menunduk lama. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat kakak laki-lakiku itu meneteskan air mata. Tidak banyak, hanya satu dua, tapi itu cukup menunjukkan seberapa dalam ia terluka.

---

Di sisi lain ruangan, Laras tampak gelisah. Ia mengusap perutnya pelan, wajahnya tegang.

“Ada apa?” tanyaku mendekat.

“Bayinya gerak terus… kayak resah.” Laras memaksa tersenyum, tapi jelas ia menahan emosi.

Aku duduk di sampingnya. “Mungkin dia ikut ngerasain kita sedih. Kamu tarik napas dulu, Ras.”

Laras memejamkan mata. “Aku cuma… aku merasa berdosa. Bayiku nanti lahir tanpa keluarga yang lengkap. Tanpa kakek.”

“Ras,” aku mengusap pundaknya, “kamu itu sudah berjuang sampai sejauh ini. Kamu kehilangan anak pertama kamu. Kamu bertahan waktu kamu merasa dunia runtuh. Kamu kuat.”

“Tapi…” suaranya pecah, “…aku nggak sekuat itu, Kak. Aku cuma ingin anakku lahir dalam keluarga yang nggak patah.”

Itu seperti mendengar suaraku sendiri. Aku sering berpikir begitu tentang pernikahanku, tentang masa depan. Tentang apakah aku dan Ardi bisa bertahan, atau apakah kami juga bisa retak sewaktu-waktu.

Aku menahan napas dan berkata pelan, “Keluarga itu bukan soal utuh atau nggak. Kadang keluarga yang retak justru lebih tahu cara mencintai. Karena mereka tahu rasanya kehilangan.”

Laras bersandar di bahuku, dan aku mengelus rambutnya. “Kita kuat bareng-bareng. Kamu nggak sendiri.”

---

Waktu mendekati pukul sebelas malam ketika Raka tiba-tiba berdiri dan berjalan ke rak buku. Ia mengambil album foto tua yang sudah menguning, lalu membawanya ke tengah ruangan.

“Kita lihat ini, yuk,” katanya dengan nada pelan namun mantap.

Kami bertiga menoleh.

“Apa ini waktu yang tepat?” tanya Dimas.

“Justru karena kita lagi kayak gini,” jawab Raka, membuka halaman pertama album. “Aku nggak mau malam ini cuma diisi sedih doang. Kita butuh ingat yang baik.”

Dan ia benar.

Kami membutuhkan itu pengingat bahwa sebelum rumah ini retak, rumah ini pernah penuh tawa. Raka membuka halaman demi halaman.

Foto Ayah menggendongku waktu aku ulang tahun ketiga.

Foto Ibu mengajariku menulis.

Foto Dimas menangis karena takut badut.

Foto Laras kecil pakai pita besar di rambutnya.

Foto Raka belum bisa jalan, ditopang Ayah dari belakang.

Semua kenangan itu seperti menampar kami dengan perasaan bercampur: hangat, rindu, sedih, dan marah, semuanya jadi satu.

“Kayaknya dulu Ayah sayang banget sama kita…” kata Raka pelan.

“Dulu sampai sekarang,” jawab Ibu yang tiba-tiba muncul membawa selimut tambahan. “Ayah kalian sayang. Dia cuma… kalah dengan dirinya sendiri.”

Kami semua terdiam. Kata “kalah” itu begitu pas, begitu tepat menggambarkan sesuatu yang tidak bisa diluruskan lagi.

Ibu duduk dan memegang foto di halaman ketiga foto pernikahannya dengan Ayah.

“Malam sebelum nikah,” kata Ibu lirih, “Ayahmu bilang dia ingin jadi suami terbaik. Dan selama bertahun-tahun, dia berusaha. Tapi manusia berubah. Kadang cinta bisa habis kalau cuma satu pihak yang isi. Lama-lama capek.”

Aku menggenggam tangan Ibu, dan Laras ikut menyentuh punggung tangannya. “Ibu nggak salah,” kataku.

Ibu menggeleng pelan. “Ibu dan Ayah kalian berdua yang salah. Tapi bukan berarti salah itu harus diwariskan ke kalian.”

Kata-kata itu meneduhkan, tapi juga menusuk.

---

Waktu menunjukkan pukul dua belas lewat ketika satu per satu kami mulai merasa tubuh lelah.

Rumah perlahan kembali sunyi, namun kali ini tidak menakutkan seperti awal kedatanganku. Ada kehangatan tipis, sesuatu yang lama hilang tapi malam itu mulai muncul lagi kebersamaan.

Aku mengatur posisi duduk bersandar di sofa, sementara Ibu membenarkan selimut di kaki Laras. Dimas sudah tertidur dengan mulut terbuka sedikit, dan Raka menumpuk album foto di samping televisi sebelum akhirnya ikut rebah di karpet.

Lampu ruang tamu diredupkan. Cahaya kuning temaram memantul lembut di dinding.

Aku menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya malam itu, aku merasakan napasku tidak lagi berat.

Ibu duduk di lantai, bersandar di dekat kakiku. “Alya,” panggilnya pelan ketika semua sudah hampir terlelap.

“Ya, Bu?”

“Terima kasih sudah pulang hari ini.”

Aku tersenyum samar. “Rumah ini selalu jadi tempat pulang aku, Bu.”

Ibu memejamkan mata. “Rumah ini boleh retak, Nak. Tapi kamu dan adik-adikmu… kalian yang bikin rumah ini tetap berdiri.”

Aku memandang wajah Ibu. Garis-garis kelelahan terlihat jelas, namun di balik itu semua, ia tetap perempuan paling kuat yang aku kenal.

Dalam hati aku berjanji:

Aku akan menjaga rumah ini.

Apapun bentuknya nanti.

Sekalipun tidak lagi utuh seperti dulu.

Karena malam kepulangan ini bukan tentang akhir.

Ini tentang memulai ulang.

Tentang menerima bahwa retakan itu ada, tapi juga percaya bahwa dari retakan itulah cahaya bisa masuk.

Dengan napas yang mulai tenang dan tubuh yang mulai rileks, aku memejamkan mata, membiarkan malam memeluk kami.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… aku merasa kami satu keluarga lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!