Atas desakan ayahnya, Poppy Yun datang ke Macau untuk membahas pernikahannya dengan Andy Huo. Namun di perjalanan, ia tanpa sengaja menyelamatkan Leon Huo — gangster paling ditakuti sekaligus pemilik kasino terbesar di Macau.
Tanpa menyadari siapa pria itu, Poppy kembali bertemu dengannya saat mengunjungi keluarga tunangannya. Sejak saat itu, Leon bertekad menjadikan Poppy miliknya, meski harus memisahkannya dari Andy.
Namun saat rahasia kelam terungkap, Poppy memilih menjauh dan membenci Leon. Rahasia apa yang mampu memisahkan dua hati yang terikat tanpa sengaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab7
Keesokan harinya.
Poppy sudah mulai bekerja di kantor barunya. Matanya fokus menatap layar komputer, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, mengetik laporan yang sedang ia kerjakan.
Tiba-tiba, seorang rekan kerja datang dengan langkah berat dan tatapan tajam. Wanita itu — Curry, sang manajer — melempar beberapa berkas ke meja Poppy dengan kasar.
“Apa maksudmu?” tanya Poppy sambil menatap Curry dengan dahi berkerut.
“Selesaikan ini sebelum pulang,” jawab Curry dingin.
Poppy menatap tumpukan dokumen itu lalu berkata datar, “Ini bukan tugasku.”
Curry tersenyum sinis. “Kau hanya anak baru yang belum punya pengalaman. Kalau masih ingin bertahan di sini, lebih baik turuti perintahku.”
Poppy mendongak, menatap wanita itu dengan tenang namun tajam. “Kau hanya seorang manajer, bukan pemilik perusahaan. Aku tidak makan gajimu, jadi jangan bertindak seolah kau berkuasa atas segalanya.”
“Berani melawan, ya?” gertak Curry dengan suara meninggi. “Kau lupa di mana kau berada? Ini Macau, bukan Hong Kong.”
Rekan-rekan kerja lain yang sejak tadi memperhatikan, mulai berbisik dan tertawa sinis.
“Hanya anak baru, tapi sudah berani melawan. Sepertinya dia tidak akan lama di sini,” sindir salah satu dari mereka.
Poppy tetap diam, menahan amarahnya. “Kalau kalian ingin mengerjakan tugas itu, silakan saja. Atasanku bukan kalian,” katanya mantap.
Wajah Curry menegang. Dengan emosi yang meledak, ia tiba-tiba mengambil cangkir di meja karyawan lainnya dan menumpahkan isinya ke baju Poppy.
Cairan kopi panas membasahi blus putih Poppy, membuatnya terlonjak kaget. Tawa sinis langsung pecah di ruangan itu.
“Hati-hati lain kali, Nona Hong Kong,” ejek Curry dengan nada puas.
Poppy yang sudah kehilangan kesabaran mendadak berdiri dari kursinya. Tatapannya tajam menembus Curry yang masih menertawakannya.
Dalam sekejap, Poppy menendang bagian belakang lutut Curry hingga wanita itu terjatuh dan berlutut kesakitan.
“A–apa yang kau lakukan?!” seru Curry terkejut.
Namun sebelum sempat berdiri, Poppy sudah menjambak rambutnya dengan kuat, membuat Curry meringis kesakitan.
Poppy meraih cangkir di mejanya, cangkir yang tadi berisi sisa minumannya, lalu menyorongkannya ke arah wajah Curry.
“Habiskan,” ucap Poppy dingin. “Jangan suka membuang minuman kalau tidak sanggup menanggung akibatnya.”
Curry berusaha menghindar, tapi genggaman Poppy di rambutnya terlalu kuat. Cairan itu menetes di bibir Curry yang tak bisa berbuat banyak.
Poppy belum puas. Ia meraih sebotol air mineral di atas mejanya, lalu menahan rambut Curry dengan satu tangan kuat. Dengan muka tak berubah, ia mengangkat botol itu dan menuangkannya ke mulut Curry.
“Telan!” perintah Poppy datar.
Curry yang tercekik hampir kehilangan napas berusaha menutup mulutnya dan menepis, namun tak mampu melawan genggaman Poppy. Cairan mengalir deras sampai tak tersisa. Suasana ruang kerja berubah menjadi hening mencekam, para karyawan yang tadinya tertawa kini terpaku, wajah mereka pucat melihat kejadian itu.
Ketika botol kosong, Poppy melepas cengkeramannya. Curry tersengal-sengal, batuk-batuk dan terduduk lemah di lantai, rambutnya basah dan berantakan. Poppy menekan telapak kakinya, beralas sepatu bertumit pada punggung tangan wanita itu, memberi tekanan singkat yang membuat Curry menjerit kesakitan.
“Dengar baik-baik,” ujar Poppy dingin, suaranya tajam seperti pisau. “Walau aku baru dipindah ke sini, aku bukan staf kecil. Aku utusan perusahaan Hong Kong ... bukan boneka yang bisa kalian permainkan. Aku tidak butuh manajer yang suka mempermalukan orang.”
Curry terisak, tubuhnya masih bergetar. Poppy mengambil tumpukan file yang semula dilemparkan ke mejanya dan melemparkannya ke arah Curry yang roboh di lantai.
“Selesaikan ini sekarang juga,” Poppy melanjutkan sambil menatap satu per satu rekan kerja yang menunduk. “Mulai hari ini, siapa pun dari kalian yang berani menyinggungku akan menanggung akibatnya.”
Suasana tetap sunyi. Hanya suara napas Curry yang terengah dan gemerisik kertas yang berserakan. Poppy duduk kembali, merapikan lengan bajunya seolah tidak terjadi apa-apa, sementara tatapan di ruang itu masih tertuju padanya takut dan terkejut.
Tanpa mereka sadari, Vic berdiri di ambang pintu. Ia menyaksikan seluruh kejadian dari awal hingga akhir dengan wajah sulit dipercaya.
“Gadis ini… benar-benar berani,” gumam Vic
Sementara itu, Curry yang sudah terluka di tangannya berusaha bangkit dengan tangan gemetar. Matanya menatap Poppy penuh amarah dan dendam.
Poppy hanya melipat tangan di dada, memandang balik dengan tatapan dingin.
“Masih belum puas?” ujarnya datar. “Kalau kau merasa dirimu hebat, silakan buat laporan ke atasan. Aku tidak akan lari.”
Curry menelan ludah, matanya berkaca-kaca, lalu berlari keluar dari ruangan dengan wajah merah karena malu dan marah.
Poppy mendengus pelan. “Hanya seorang manajer, tapi berani bersikap seperti penguasa,” gumamnya kesal sebelum duduk kembali.
Beberapa saat kemudian.
Poppy berdiri di depan wastafel toilet, mencuci tangannya sambil menatap wajahnya di cermin. Tiba-tiba suara pintu terbanting dari belakang membuatnya menoleh. Curry masuk bersama dua rekannya — wanita-wanita yang tadi ikut menertawakan Poppy di ruang kerja.
“Sampah Masyarakat,” ucap Poppy tenang. “Ada urusan apa lagi?”
"Kurang ajar, aku harus memberimu pelajaran," kata Curry yang ingin menyerang Poppy, namun Poppy segera menghindar.
Tanpa kata-kata, Poppy langsung menampar wajah wanita itu berulang kali.
Plak! Plak!
"Aahh!" jeritan Curry yang kesakitan.
"Berani menyerangku, kalian ingin cari mati," kata Poppy.
Dua rekannya menyerang Poppy, ada yang ingin menarik rambutnya dan ada yang ingin menamparnya.
Poppy menendang perut salah satunya, dan kemudian menampar wajah rekan lainnya dengan keras, Plak!
Tidak puas sampai di situ, Poppy mencengkeram lengan Curry dengan kasar dan menyeretnya ke arah kamar mandi. Suara langkah mereka bergema di ruangan itu, penuh ketegangan.
Tanpa ragu, Poppy meraih sikat closet dan menempelkannya ke wajah Curry dengan paksa.
"Aaahh!" teriak Curry histeris, antara kesakitan dan jijik, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Poppy.
Kedua rekan kerja Curry berusaha melerai, mencoba menarik Poppy agar berhenti. Namun Poppy justru mengarahkan sikat closet itu ke mereka dengan tatapan garang, sehingga sikat tersebut mengenai wajah mereka.
"Aku peringatkan, jangan ikut campur!" serunya tajam.
Keduanya sontak mundur dengan wajah tegang, berusaha menghindar dari amukan Poppy yang tak bisa dikendalikan lagi.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.
Pengurus dan Vic berdiri di ambang pintu, tertegun melihat pemandangan di depan mata.
Di dalam, Poppy berdiri tegak dengan sikat closet masih di tangannya, sementara dua karyawan itu berlutut di lantai, menangis dan memohon ampun. Sedangkan Curry wajahnya berantakan dan terduduk di lantai.
Wajah mereka pucat, rambut berantakan, dan mata membengkak karena takut.
Pengurus dan Vic saling berpandangan, keduanya nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
"Kalau Tuan Huo tahu kejadian hari ini, tidak tahu apakah beliau akan tertawa atau emosi," gumam Vic.
"Aku beritahu kalian, aku sudah lama di perusahaan Hongkong. Kalau bukan karena terpaksa aku juga tidak ingin bekerja di sini yang dipenuhi oleh karyawan suka menindas. Ini adalah perusahaan besar tapi isinya manusia tidak berkualitas. Apakah pemilik perusahaan ini tidak bisa memilih anggota?" ucap Poppy.
Pengurus itu berkeringat dingin dan menunduk. "Gawat! Gadis ini tidak tahu kalau asisten kepercayaan bos ada di sini," batinnya.