Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Nathan terbangun dengan kepala berat. Sinar matahari menembus celah tirai kamarnya, membanjiri ruangan yang masih berantakan sejak semalam. Jaket kulitnya tergeletak di lantai. Sepatu belum sempat ia lepas dengan benar. Dan ponselnya, terselip di bawah bantal, masih menyala dengan notifikasi yang belum ia buka.
Tapi bukan ponsel yang membuat dadanya sesak pagi ini.
Ingatan tentang Kayla. Tentang kata-katanya. Tentang tatapan terakhirnya sebelum pergi.
Nathan menatap langit-langit, membiarkan dirinya terdiam dalam keheningan pagi. Bukan hanya mabuk yang membuat tubuhnya lunglai, tapi juga perasaan bersalah dan bingung. Ia tidak tahu apakah ia kehilangan seseorang yang penting, atau justru baru terlepas dari seseorang yang tidak bisa memahami luka dalam dirinya.
Ponselnya bergetar lagi.
Satu pesan masuk dari Alea.
[Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu. Ada beberapa dokumen yang butuh tanda tangan Bapak sebelum jam 11. Bisa masuk kantor lebih awal?]
Nathan membaca pesan itu, lalu menutup mata sebentar. Dunia terus berjalan, bahkan ketika hatinya masih tertinggal di semalam.
Ia akhirnya bangkit. Mandi cepat, berganti pakaian formal, dan mengambil satu kotak kecil dari lemari samping meja, berisi foto kecil dirinya bersama almarhum ayahnya.
Kantor sudah ramai ketika Nathan melangkah masuk. Beberapa staf menyapanya dengan sopan, tapi ia hanya membalas dengan anggukan kecil tanpa kata. Begitu sampai di ruangannya, ia langsung melihat Alea yang sudah duduk di depan laptop dengan beberapa lembar kertas berserakan di meja. Alea begitu fokus pada pekerjaannya sampai tidak menyadari kehadiran Nathan.
Nathan menatapnya sebentar. Ia suka memiliki asisten pribadi yang rajin dan cekatan seperti Alea, yang selalu siap membantu dan menjaga ritme kerja meski ia masih berusaha untuk bekerja sebaik ayahnya.
"Pagi, Pak," Alea akhirnya menoleh, memberikan senyum tipis yang menunjukkan semangat dan dukungan.
Nathan membalas dengan anggukan pelan. "Dokumen apa yang harus aku tanda tangani?"
Alea menggeser beberapa kertas ke arah Nathan. "Ini draft kontrak kerja sama yang perlu Bapak validasi. Tidak ada meeting hari ini, jadi fokus kita memang di hal-hal administratif dulu."
Nathan menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Baik. Aku akan baca dulu."
Mereka berbagi ruang yang sama, namun Nathan merasa nyaman. Ruangan bersama ini membuat Alea bisa selalu sigap membantu, sekaligus memberikan dorongan ketika Nathan mulai goyah.
Nathan menyelesaikan halaman pertama, lalu mendongak ke arah Alea. "Ini... yang bagian proyeksi tahun kedua, kenapa angkanya turun dibanding prediksi awal?"
Alea menoleh sambil tetap mengetik. "Itu karena revisi asumsi pasar yang saya kirim minggu lalu. Bapak sempat bilang pasar ekspor stagnan, jadi saya sesuaikan."
"Oh, iya ya. Lupa aku."
Ia kembali membaca. Beberapa detik kemudian...
"Nah, kalau bagian lampiran B... ini angka biaya operasionalnya lebih tinggi dari bulan lalu, kenapa?"
Alea masih menjawab dengan tenang. "Ada tambahan item dari vendor. Sudah saya list rinciannya di bawah tabel itu, Pak."
Nathan mengangguk. Tapi baru lima belas detik kemudian...
"Eh, terus yang halaman empat, ini maksudnya renegosiasi harga itu... kita yang minta atau mereka yang minta?"
Alea berhenti mengetik, menoleh penuh kali ini. Senyumnya masih ada, tapi mulai dipaksakan. "Kita, Pak. Kita yang minta. Karena biaya produksi kita naik, jadi otomatis kita ajukan renegosiasi."
Nathan menggaruk alis. "Iya, iya. Pusing juga, ya."
Alea menelan ludah pelan. Masih nahan.
Lima detik.
Sepuluh detik.
"Eh, terus ini juga aku agak bingung. Yang disebut 'volume penyesuaian' itu maksudnya apa ya? Itu yang-"
Alea akhirnya menaruh penanya.
"Volume penyesuaian, Pak," suaranya mulai naik setingkat, "adalah jumlah perubahan dalam permintaan barang karena kebijakan harga baru. Itu sudah saya jelaskan waktu Bapak minta proyeksinya minggu lalu. Saya bahkan bikin simulasi Excel-nya, print, dan kirim ulang lewat email. Dua kali."
Nathan terkesiap.
Dan sebelum Nathan sempat menjawab, Alea menyambung, "Pak, maaf, tapi ini udah kelima kalinya Bapak nanya hal yang sama minggu ini. Saya jadi ngerasa kayak kerja dua kali karena Bapak tidak benar-benar simak."
Suasana mendadak hening. Hanya suara jarum jam berdetak pelan di dinding.
Nathan menatap Alea yang sekarang menunduk, menyembunyikan wajah kesalnya.
Ia menarik napas, mencoba menahan beban di dadanya yang makin berat.
"Kamu marah, Alea?"
Pertanyaan dari Nathan membuat Alea sedikit gelagapan. Sebulan menjadi asisten pribadi pria itu, baru kali ini ia bicara panjang lebar dengan nada yang sedikit meninggi. Sangat kentara jika ia sedang emosi dan lebih kentara lagi bahwa Nathan menyadarinya.
Alea memejamkan mata, menarik napas perlahan lalu mengembuskannya. Setelah beberapa detik menenangkan diri, ia membuka mata dan menampilkan senyum yang lebih menyerupai formalitas.
"Maaf, Pak. Bukan maksud saya marah. Saya hanya... berbicara sedikit lebih tegas supaya Bapak benar-benar mendengarkan penjelasan saya."
Nathan mengangguk pelan, wajahnya tidak menampakkan sedikit pun kemarahan. Justru sebaliknya, ia terlihat bersalah.
"Aku yang salah, sih. Tadi nanyanya kayak orang nyicil KPR, satu per satu."
Alea menahan tawa. Hampir. Tapi ia masih kesal.
"Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan Bapak banyak bertanya. Justru itu bagus karena menambah pengetahuan, wawasan, dan juga cara kerja, tapi masalahnya yang Bapak pertanyakan adalah hal-hal yang Bapak sendiri sebenarnya sudah paham dan dokumen-dokumen yang Bapak tanyakan sudah terselip di berkas itu. Bapak ada masalah? Sepertinya sejak pembatalan kerjasama dari klien PT Sentosa membuat Bapak sedikit tidak fokus."
Nathan menghela napas. Dalam. Matanya menatap ke meja, tidak langsung menjawab.
"Maaf kalau aku bikin kamu kerja dua kali. Kamu benar." Suara Nathan pelan, lebih seperti pengakuan daripada pembelaan.
Alea diam. Ia tidak ingin menekan lebih jauh, tapi ucapannya tadi sudah keluar dan tidak bisa ditarik kembali. Ia hanya bisa berharap Nathan tidak terlalu mengambil hati.
"Aku... memang lagi nggak fokus," sambung Nathan, nyaris berbisik. "Bukan cuma soal PT Santosa Jaya. Ada hal pribadi juga. Dan jujur, aku belum bisa ngaturnya."
Alea menatap pria itu, kali ini lebih lembut. Ia baru saja mengingatkan atasannya dengan tegas, tapi kini yang ia lihat di hadapannya bukan hanya seorang CEO muda, melainkan seseorang yang sedang goyah.
Alea mengangguk pelan, lalu berbicara dengan nada yang tidak lagi tegas, tapi penuh empati. "Kadang... hal pribadi justru yang paling susah diberesin, ya, Pak. Karena kita tidak bisa rapat sama hati kita sendiri seperti kita rapat buat bahas proyek. Tidak ada timeline pasti kapan harus pulih, atau SOP buat ngerti perasaan sendiri."
Nathan mengangkat wajahnya, menatap Alea.
Alea melanjutkan, masih dengan suara tenang, "Tapi saya percaya, orang yang berani mengaku tidak baik-baik saja, itu jauh lebih kuat dari orang yang pura-pura baik-baik saja. Dan Bapak barusan menunjukkan keberanian itu."
Kata-kata Alea menggantung di udara.
'Kalau asisten pribadi aja ngerti dengan kondisiku, kenapa kamu yang paling dekat denganku nggak bisa, Kayla?'
Dan untuk sepersekian detik, Nathan sempat berpikir... kenapa semua terasa lebih mudah saat berbicara dengan Alea.
Namun segera setelah itu, ia mengatupkan rahangnya. Pandangannya kembali ke meja.
Bodoh. Ia tahu itu pikiran yang tidak adil. Membandingkan seseorang yang ia cintai dengan orang lain yang bahkan belum ia kenal sepenuhnya... adalah bentuk pelarian yang egois.
Ia meneguk ludah, pelan-pelan menyusun ulang emosinya.
"Terima kasih, Alea," katanya akhirnya. "Kamu... lebih dari sekedar asisten yang cekatan ternyata."
Alea tersenyum kecil. "Saya cuma manusia, Pak. Sama kayak Bapak. Lagi belajar juga. Bedanya... saya nggak punya banyak sorotan kayak Bapak, jadi mungkin lebih gampang."
Nathan tersenyum sedikit. Tidak sepenuhnya pulih, tapi ada bagian kecil di dalam dirinya yang terasa lebih ringan.