Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7. Masa Lalu Sang Aktor
Suasana sore di restoran hotel berbintang itu begitu tenang. Aroma kopi mahal bercampur dengan wangi parfum mewah yang menggantung di udara. Di sudut ruangan yang agak tersembunyi, duduklah seorang wanita dengan penampilan nyaris sempurna, Ayumi, sang legenda layar kaca yang memilih pensiun di puncak karier.
Di hadapannya, duduk seorang pria muda dengan raut wajah kaku dan sorot mata yang masih menyimpan keraguan, Patrick, mantan asisten pribadi Aldrich yang dulunya dikenal sangat loyal.
Ayumi meneguk cappuccino-nya perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
“Jadi, kamu benar-benar sudah keluar dari tim Aldrich?” tanyanya dengan nada ringan, namun di balik nada lembut itu tersimpan rasa puas.
Patrick menunduk. “Ya, Mbak Ayumi. Saya... sudah gak sanggup. Beliau berubah. Terlalu keras. Dulu saya pikir semua itu karena profesionalitas, tapi ternyata... dia gak pernah melihat siapa pun di bawahnya sebagai manusia.”
Ayumi menaikkan satu alis, memutar cangkir di tangannya. “Lucu. Dua puluh tahun berlalu, dan dia masih seperti itu rupanya.”
“Dua puluh tahun?” Patrick menatap penasaran. “Jadi... Anda sudah lama mengenalnya?”
Senyum Ayumi mengembang lebih lebar. “Lebih dari sekadar mengenal, Patrick. Aku pernah menjadi segalanya untuknya.”
Patrick tertegun. “Maksud Anda...?”
“Ya,” Ayumi meletakkan cangkirnya perlahan, suaranya berubah lebih dalam. “Aku dan Aldrich pernah terlibat cinta lokasi. Itu sebelum dia menjadi ‘Aldrich’ yang sekarang. Sebelum wajahnya memenuhi semua papan iklan dan film. Waktu itu dia hanyalah pria tampan yang berjuang keras, dan aku, bintang utama yang membawanya naik ke atas panggung.”
Patrick diam, memandangi Ayumi yang kini menatap jauh ke luar jendela.
“Tapi tahu apa yang terjadi setelah film itu sukses?” lanjut Ayumi, bibirnya melengkung getir. “Dia meninggalkanku. Begitu saja. Seolah aku tak pernah ada.”
“Dia meninggalkan Anda?”
“Lebih tepatnya, dia menghapusku dari hidupnya,” gumam Ayumi. “Waktu itu aku pikir dia takut komitmen, atau ingin fokus pada karier. Tapi ternyata dia hanya... tidak mau terikat dengan siapa pun yang bisa membuatnya terlihat lemah.”
Patrick mengepalkan tangan di pangkuannya. “Dia... memang seperti itu. Saya juga merasakannya. Semua orang yang pernah bekerja dengannya pada akhirnya hancur, Mbak.”
Ayumi menatapnya lekat-lekat. “Dan kamu, Patrick... kamu orang yang tepat. Kamu tahu rutinitasnya, kebiasaannya, siapa yang dia percaya.” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kamu tahu letak di mana dia rapuh.”
Patrick menelan ludah. “Mbak ingin... saya membantu mbak melawan Aldrich?”
Ayumi tersenyum lembut, tapi tatapannya tajam. “Bukan melawan. Aku hanya ingin dia belajar merasakan apa yang dulu dia buat aku rasakan. Kehilangan.”
Patrick ragu-ragu. “Tapi... dia gak mudah dijatuhkan, Mbak. Dan sekarang dia punya manajer hebat, Liang, orang itu ketat sekali.”
“Aku tahu.” Ayumi memainkan jemarinya di bibir cangkir. “Tapi ada hal menarik yang kudengar. Asisten barunya... seorang cowok bernama Allen, ya?”
Patrick mengangguk perlahan. “Benar. Baru saja diterima.”
“Katanya,” ucap Ayumi dengan nada setengah berbisik, “Cowok itu terlalu halus, terlalu sopan. Aku mencium sesuatu yang aneh.”
Patrick mengernyit. “Aneh gimana?”
Ayumi tersenyum samar, matanya berkilat dengan rasa ingin tahu yang berbahaya. “Entah kenapa aku punya firasat, Allen bukan pria seperti yang mereka kira. Naluri seorang wanita jarang salah, Patrick.”
Patrick memandangnya ragu. “Mbak pikir... dia menyembunyikan sesuatu?”
Ayumi bersandar di kursinya, menatap langit senja yang mulai memerah. “Aku gak tahu apa yang disembunyikan, tapi satu hal pasti, siapa pun yang dekat dengan Aldrich selalu punya motif. Dan jika Allen memang menyimpan rahasia... mungkin aku bisa memanfaatkannya.”
Patrick tampak semakin gelisah. “Mbak Ayumi, saya takut hal ini bisa berbahaya kalau sampai terbongkar. Dunia Aldrich tidak mudah diganggu.”
Ayumi tertawa pelan, rendah, dan dingin. “Patrick, dunia Aldrich dulunya adalah milikku. Aku yang membangunnya. Kini saatnya aku yang mengacak-acaknya.”
Ia menatap Patrick lurus. “Dan kamu akan membantuku.”
Patrick tak bisa membalas tatapan itu. Ada sesuatu di balik mata wanita itu, perpaduan antara luka lama dan dendam yang belum padam. Ia tahu, sejak hari itu, hidupnya tak akan sama lagi.
Di luar jendela, hujan mulai turun pelan. Dan di tengah derasnya air yang menetes di kaca, dua sosok itu menandatangani kesepakatan diam-diam, mengguncang kembali dunia yang pernah mereka tinggalkan.
***
Sore itu, lokasi syuting terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena adegan spektakuler atau bintang tamu istimewa, melainkan karena kehadiran para wartawan hiburan yang sedang menunggu jeda syuting untuk mewawancarai sang aktor utama, Aldrich Hugo.
Pria itu baru saja menyelesaikan satu adegan intens di bawah sorotan lampu studio. Dengan langkah santai namun berwibawa, ia menuju kursi istirahat sambil menyeka keringat dari pelipisnya. Di balik kacamata hitam yang menutupi separuh wajah, aura bintang besar itu tetap tak bisa disembunyikan.
“Mas Aldrich! Satu pertanyaan saja, boleh?” seru seorang reporter wanita, mengangkat perekam suaranya.
Aldrich tersenyum ramah. “Kalau masih sempat, silakan,” katanya datar.
Wartawan itu maju sedikit, diikuti beberapa rekan lain. Mikrofon dan kamera mengarah padanya. “Ada yang masih penasaran tentang mantan rekan main Anda dulu, Ayumi, yang kini sudah menikah dengan produser senior yang juga ayah angkatnya sendiri. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana tanggapan Anda tentang hal itu?”
Pertanyaan itu langsung membuat suasana di sekitar menegang. Beberapa kru saling berpandangan, bahkan Koko Liang yang sedang berdiri tak jauh ikut menegakkan punggung.
Aldrich terdiam. Senyumnya hilang perlahan. Tatapannya yang tadi tenang dan profesional, mendadak redup.
Ia menatap reporter itu sebentar, kemudian menurunkan kacamata hitamnya ke ujung hidung. “Saya pikir... masa lalu tidak seharusnya dibicarakan di tempat kerja,” ujarnya tenang, tapi suaranya terdengar serak.
Reporter lain menyela cepat, “Tapi publik masih mengingat chemistry kuat antara Anda dan Ayumi di film Lembayung Senja. Banyak yang mengatakan Anda berdua adalah pasangan terbaik di layar dan... ”
“Cukup,” potong Aldrich dengan nada sedikit berat, tapi tetap sopan. “Itu sudah dua puluh tahun lalu. Waktu berjalan, dan semua orang berhak memilih jalannya sendiri.”
Para wartawan masih berusaha menggali, namun Koko Liang segera melangkah maju, melindungi Aldrich.
“Teman-teman, tolong beri ruang. Mas Aldrich masih ada jadwal berikutnya. Kalau soal Ayumi, tidak ada komentar resmi, ya,” ujarnya dengan nada diplomatis.
Wartawan akhirnya mundur perlahan, meski kamera masih menyala. Aldrich hanya menunduk, memasang kembali kacamatanya dan berjalan menjauh ke arah mobil van hitam yang sudah menunggunya.
Begitu pintu tertutup, sunyi mendadak menyelimuti kabin. Hanya suara napasnya yang berat terdengar. Ia membuka kancing kemeja bagian atas, memejamkan mata sejenak.
Bayangan masa lalu muncul begitu jelas, wajah Ayumi yang tertawa di bawah lampu set, suara lembutnya ketika dulu memanggilnya “Richie”, dan malam ketika semuanya hancur karena ambisi dan kesalahpahaman.
Sekarang wanita itu hidup bergelimang kemewahan di samping pria tua yang dulu mereka kenal sebagai “ayah”. Ironi yang terlalu pahit bahkan untuk disebutkan.
Aldrich menghela napas panjang, menatap keluar jendela. “Kamu tahu, Liang,” ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar, “mereka bilang aku terlalu pilih-pilih, terlalu sulit jatuh cinta. Tapi mungkin sebenarnya... aku hanya belum sembuh dari luka lama.”
Koko Liang yang duduk di depan menatap lewat spion, kemudian berkata hati-hati, “Masa lalu memang gak mudah dilupakan, tapi jangan biarkan itu menggerogoti hidupmu terus, Mas Aldrich. Dunia sudah berubah.”
Aldrich hanya tersenyum tipis, tapi matanya kosong. “Aku tahu. Tapi beberapa luka... tidak sembuh. Mereka hanya berhenti berdarah.”
Hening menguasai kabin lagi. Di luar, langit sore mulai berubah jingga. Sementara di dalam mobil itu, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang tampak sempurna di mata dunia, duduk sendirian dengan hatinya yang diam-diam retak.
Dan entah kenapa, sejak kehadiran Allen, asisten barunya yang aneh tapi jujur, ada bagian kecil dalam dirinya yang mulai hidup kembali, meski ia sendiri belum mengerti kenapa.
Seperti saat ini, ia mengulurkan tangannya ke arah Allen, lalu tanpa bertanya Allen langsung menggerakkan tangannya, memijat lengan Aldrich.
Pria itu bersandar nyaman di tempat duduknya, tanpa tahu debaran aneh di dalam dada seorang gadis di sisinya.
***
Suasana rumah Aldrich malam itu terasa sunyi. Hanya suara hujan di luar jendela dan denting halus dari gelas teh yang diletakkan Allen di atas meja kopi. Ia baru saja membereskan ruang tamu setelah pulang dari lokasi syuting dengan wajah yang tampak letih.
Televisi di ruang tengah masih menyala, menampilkan acara gosip hiburan yang membahas para bintang senior. Allen sempat berpikir untuk mematikan televisi itu, namun sebelum ia sempat menekan tombol, suara presenter wanita menarik perhatiannya.
“Dan ini dia berita yang sedang ramai diperbincangkan, hubungan masa lalu antara aktor legendaris Aldrich Hugo dan mantan aktris Ayumi Renata, yang kini telah menikah dengan produser senior yang dulu disebut-sebut sebagai ayah angkatnya…”
Allen refleks menoleh ke arah layar. Gambar lama film Lembayung Senja muncul, Aldrich muda berdampingan dengan Ayumi, tersenyum dalam cahaya lampu studio. Ada sesuatu yang aneh di dada Allen, semacam sesak yang sulit dijelaskan.
“Meski Aldrich tidak mau berkomentar banyak saat ditemui wartawan, sumber dalam menyebut bahwa hubungan keduanya dulu sangat dalam. Mungkinkah alasan Aldrich tetap sendiri hingga kini berkaitan dengan masa lalu itu?”
Allen menelan ludah. Saat ia menoleh, Aldrich sudah berdiri tak jauh darinya, diam tanpa ekspresi, menatap layar itu.
Seketika Allen mematikan televisi.
“Maaf, Mas. Aku gak tahu acaranya sedang bahas…”
“Gak perlu minta maaf,” potong Aldrich pelan. Suaranya dalam, berat, namun bukan marah, lebih ke arah lelah. Ia berjalan pelan ke sofa, lalu duduk sambil melepas jas luarnya. “Media akan selalu cari bahan lama. Itu pekerjaan mereka.”
Allen berdiri canggung, menggenggam remote erat-erat. “Tapi tetap aja… mereka gak seharusnya mengorek masa lalu seseorang seperti itu.”
Aldrich tersenyum tipis, tanpa menatap. “Kalo kamu hidup di bawah sorotan kamera selama dua puluh tahun, Allen, kamu akan tahu, masa lalu gak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu saat untuk dijadikan berita lagi.”
Hening. Hanya suara hujan yang memantul di dinding kaca. Allen menatap punggung pria itu, tegak, kuat, namun entah kenapa tampak sepi.
Perlahan, Allen melangkah mendekat.
“Mas Aldrich…” suaranya pelan, nyaris berbisik. “Aku gak tahu seperti apa kisah kalian dulu. Pernah denger juga gosipnya, tapi cuma sekilas aja. Tapi… orang-orang bisa menafsirkan apa pun sesuka mereka. Yang tahu kebenarannya cuma mas sendiri.”
Aldrich menoleh, menatap Allen dengan mata yang tampak redup tapi hangat. “Ya, mungkin saat itu juga kamu masih main bola bekel.” ternyata Aldrich punya selera humor juga meskipun datar.
Allen tersenyum kikuk. “Aku cuma… gak suka ngeliat mas diemnya kayak gitu. Biasanya mes, emm, maksudku, mas selalu tampak tegas.”
“Gak semua luka bisa disembunyikan dengan ketegasan.” Aldrich menatap kosong ke arah jendela yang berembun. “Ayumi adalah masa lalu yang… rumit. Aku gak menyesali perpisahan itu, tapi aku menyesal membiarkan diriku menetap dalam luka terlalu lama setelahnya.”
Allen menunduk pelan. “Mungkin… cuma perlu waktu aja, aku yakin sebenarnya mas udah move on. Kalau gak, mas gak akan bisa berakting sebagus itu. Karena orang yang mati rasa tidak bisa menyampaikan emosi sedalam itu.”
Ucapan sederhana itu membuat Aldrich menatapnya lama. Tatapan itu membuat Allen gugup setengah mati, tapi ia berusaha tetap tenang.
Lalu, perlahan, Aldrich tersenyum, senyum kecil tapi tulus, senyum yang jarang ia tunjukkan.
“Terima kasih, Allen.”
Allen mengangkat bahu kikuk. “Aku cuma bilang apa yang aku pikirkan, Mas.”
“Kadang yang kita butuh bukan kata-kata bijak, tapi seseorang yang mau bilang hal sederhana dengan jujur,” ucap Aldrich lirih.
Allen tidak tahu harus membalas apa. Ia hanya tersenyum kecil dan menunduk, sementara di luar hujan masih turun deras, membungkus keheningan di antara mereka.
Malam itu, tanpa sadar, jarak antara keduanya mulai sedikit berkurang, bukan karena perintah kerja, bukan karena peran, tapi karena luka lama yang perlahan disentuh oleh ketulusan seseorang yang sebenarnya juga sedang bersembunyi dari masa lalunya sendiri.
.
YuKa/ 041025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍