Di Benua Sembilan Langit, kekuatan adalah hukum.
Lin Feng, anak sekte kecil yang dicap sampah karena "Nadi Spiritual Tersegel", terlempar ke jurang hinaan. Namun, di balik kelemahan itu tersembunyi rahasia besar: Physique Naga Void — warisan kuno yang mampu menelan segala Qi dan menembus batas langit.
Dari dunia fana yang penuh intrik sekte, hingga perang antar klan surgawi, perjalanan Lin Feng adalah pertaruhan hidup dan mati.
Balas budi sepuluh kali lipat. Balas dendam seratus kali lipat.
Di setiap langkah, ia akan melawan langit, menantang takdir, dan membuka jalan menuju kekosongan.
Saat naga terbangun, siapakah yang mampu menghalangi jalannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alhenamebsuta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Hari Neraka
Hari Pertama – Hutan Bambu Timur
Fajar belum sepenuhnya menembus kabut ketika Lin Feng sudah berdiri di tengah hutan bambu. Manual Langkah Bayangan Naga tergenggam di tangannya, halaman-halamannya sedikit lembap.
“Langkah pertama… Naga Meliuk,” gumamnya.
Kakinya mencoba meniru gerakan yang tertulis di manual, tapi baru beberapa detik, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, telungkup di tanah yang basah oleh embun.
“Ugh… ternyata lebih susah dari yang kukira,” keluhnya, napasnya tersengal.
Namun Lin Feng bangkit lagi, tidak menyerah. Ia jatuh, bangkit, dan mencoba lagi—tanpa henti.
Saat matahari sudah menanjak tinggi, ia berhasil melakukan tiga langkah dasar tanpa tersandung. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, tapi senyum di wajahnya tetap tersungging, menunjukkan kepuasan kecil dari usaha kerasnya.
---
Hari Kedua – Air Terjun Belakang Gunung
BYUUR!
Air deras dari air terjun menghantam tubuh Lin Feng seperti pukulan bertubi-tubi. Latihan Tinju Pecah Batu menuntutnya menghadapi tekanan ekstrem untuk memadatkan Qi dalam tubuh.
“Kumpulkan… padatkan… tahan!” teriaknya, sambil menahan derasnya air.
Cahaya Qi berpendar di kepalan tangannya, tapi setiap kali tersapu air deras, ia langsung pecah dan tercerai.
“Lagi!” Lin Feng menggigit gigi, memaksa tangannya meninju batu di bawah aliran air.
DUAK!
Sebuah retakan kecil muncul, menandai usaha pertamanya. Namun ia tahu, itu belum cukup. Tubuhnya basah kuyup, tapi semangatnya justru kian membara.
---
Hari Ketiga – Gua Meditasi
Kini fokus bergeser. Seni Mengamati Qi membutuhkan ketenangan pikiran yang mutlak. Lin Feng duduk bersila di dalam gua yang remang, mata terpejam, mencoba merasakan aliran energi tanpa mengandalkan penglihatan.
Awalnya, yang ia rasakan hanyalah kegelapan dan desiran angin di mulut gua. Perlahan, sangat perlahan, aliran Qi mulai terasa. Seperti sungai-sungai halus yang bergerak mengikuti ritme alam.
“Jadi… inilah cara dunia bekerja…” gumamnya, kagum pada harmoni energi yang mengelilinginya.
---
Hari Keempat hingga Keenam
Rutinitas itu menjadi nyawa harian Lin Feng. Pagi dimulai di hutan untuk Langkah Bayangan Naga, siang diteruskan di bawah air terjun untuk Tinju Pecah Batu, malamnya di gua untuk Seni Mengamati Qi.
Tubuhnya penuh memar, ototnya nyeri, tapi hasilnya mulai terlihat. Langkahnya lebih lincah, tinjunya lebih kuat, dan inderanya untuk merasakan Qi semakin tajam. Setiap jatuh dan bangkit, setiap tetes keringat, membawa Lin Feng semakin dekat ke tujuan yang ia dambakan.
Malam Hari Keenam
Lin Feng duduk terhuyung di gubuknya, tubuhnya gemetar akibat kelelahan yang ekstrem. Namun malam ini ada sesuatu yang berbeda. Qi di dalam tubuhnya bergejolak liar, seolah mencari jalan keluar.
“Ini... terobosan?” gumamnya, napas tersengal.
CRACK!
Sebuah retakan terdengar dari dalam tubuhnya. Bottleneck yang selama ini menahan kemajuan level 4 akhirnya pecah!
Pemurnian Tubuh Level 5!
Energi meledak dari dalam, menghancurkan sisa-sisa kotoran di tubuhnya. Cairan hitam berbau busuk memancar dari pori-pori—toksin yang lebih dalam daripada sebelumnya.
“Hah... hah... berhasil!” serunya dengan suara parau.
Tanpa menunggu lama, ia berlari keluar, meloncat ke sungai terdekat untuk membersihkan diri. Saat tubuhnya muncul dari air, Lin Feng merasakan ringan yang belum pernah ia alami—kulitnya halus bagai giok, ototnya padat namun lentur.
Yang lebih mengejutkan, ia kini mampu merasakan Qi di radius sepuluh meter di sekelilingnya tanpa harus berkonsentrasi penuh. Efek dari latihan Seni Mengamati Qi akhirnya nyata.
“Dengan ini... aku sudah setara dengan Chen Wei...” pikirnya, mata berbinar penuh tekad.
Hari Ketujuh - Sore Hari
Lin Feng baru saja menyelesaikan latihan Tinju Pecah Batu di bawah guyuran air terjun. Batu sebesar kepala manusia hancur berkeping-keping setelah satu pukulan penuh dari tangannya.
“Akhirnya... sempurna—”
WUSH! WUSH! WUSH!
Instingnya berteriak, sinyal bahaya! Lin Feng meloncat mundur tepat saat belasan kunai menancap di tempat dia berdiri sebelumnya.
“Hahaha! Refleksmu cukup bagus, sampah!”
Chen Wei muncul dari balik pepohonan, diikuti sepuluh murid lainnya. Wajah mereka penuh dendam.
“Chen Wei…” Lin Feng menghela napas, menahan kesal. “Kau tidak belajar dari hukuman Elder Zhang?”
“Hukuman? Hah! Setelah aku menghancurkanmu di sini, siapa yang akan tahu? Kami tinggal bilang kau tergelincir dan jatuh dari tebing!” Chen Wei menyingkap senyum penuh kebencian. “Serang dia bersamaan!”
Sepuluh murid itu menyerbu sekaligus. Dalam kondisi normal, bahkan Lin Feng di level 5 pasti kewalahan.
Tapi dia sudah berlatih seperti orang gila selama seminggu penuh!
“Langkah Bayangan Naga—Meliuk di Antara Musuh!”
Tubuh Lin Feng bergerak lincah, meliuk seperti ular di antara serangan dengan gerakan seminimal mungkin. Kemampuan Seni Mengamati Qi membuatnya bisa ‘merasakan’ serangan yang datang bahkan dari belakang.
“Apa—kenapa tidak kena?!” salah seorang murid berteriak frustrasi.
“Tinju Pecah Batu!”
DUAK!
Satu pukulan, satu murid terlempar pingsan.
Tapi itu baru permulaan. Chen Wei masih menahan diri, menunggu Lin Feng kelelahan.
“Impressive, tapi berapa lama kau bisa bertahan?” ejek Chen Wei. “Kau sudah letih setelah latihan, sementara kami masih segar bugar!”
Benar. Lin Feng merasakan stamina tubuhnya menipis dengan cepat. Latihan intensif seminggu penuh ditambah pertarungan ini…
Tidak ada pilihan lain. Harus pakai itu!
Lin Feng menutup matanya sejenak, lalu membuka kembali perlahan.
SRING!
Seberkas cahaya emas muncul di pupilnya, irisnya vertikal seperti naga! Mata Naga Kekosongan aktif sepenuhnya!
Dunia seakan melambat di hadapannya. Aliran Qi setiap lawan terlihat jelas, titik lemah mereka terpapar, bahkan gerakan yang akan mereka lakukan dalam dua detik ke depan bisa diprediksinya.
"M-mata apa itu?!" seorang murid mundur ketakutan.
Lin Feng tidak menjawab. Ia bergerak.
WUSH! DUAK! BANG! KRAK!
Hanya dalam sepuluh detik, delapan murid tersisa sudah tergeletak tak sadarkan diri. Setiap serangan Lin Feng tepat mengenai titik akupunktur yang melumpuhkan mereka.
Tinggal Chen Wei dan satu murid lain yang gemetar ketakutan.
"I-iblis! Dia iblis!" seru murid itu sambil lari tunggang langgang.
Chen Wei mundur perlahan, wajahnya pucat. "Kau… kau bukan manusia biasa!"
"Pergilah, Chen Wei," kata Lin Feng dingin. "Dan jangan ganggu aku lagi."
Tanpa sepatah kata pun, Chen Wei melarikan diri, meninggalkan teman-temannya yang pingsan.
Begitu mereka pergi, Lin Feng jatuh berlutut, tubuhnya lemah.
"Aaakkh!"
Darah mengalir deras dari kedua matanya. Sakit kepala menusuk seperti ribuan jarum menembus otaknya.
Mata Naga… terlalu lama… hampir buta…
Pandangannya mulai kabur, tapi di bibirnya tersungging senyum lemah.
"Setidaknya… aku menang… dan sekarang mereka akan takut…"
Dengan susah payah, ia merangkak ke sungai, membasuh darah dari wajahnya.
"Besok… seleksi murid inti… harus pulih…"