Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Ilusi dan Logika
...Illusion Fox vs The Mind Weaver...
...#2...
Langit bergetar lembut ketika suara Virgo yang lembut namun tegas menggema di seluruh penjuru Colosseum yang melayang di antara awan. Timbangan emas di tangannya berputar perlahan, memantulkan cahaya matahari yang menerobos sela-sela kabut suci.
“Pertandingan pertama...” suaranya bergema, menembus hati setiap makhluk yang hadir, baik manusia maupun mitologi. “Antara Huli Jing, sang penipu cahaya, melawan Dr. Elaina Voss, pengurai pikiran manusia. Dengan ini... pengadilan langit dibuka.”
Denting halus timbangan emasnya menandai dimulainya pertandingan.
Namun sebelum suara tepuk tangan terdengar, Huli Jing sudah melangkah satu langkah terlebih dahulu. Senyum kecil menghiasi bibirnya yang merah delima, dan dalam sekejap, kabut ilusi menyeruak dari telapak kakinya. Bentuk tubuhnya berpendar, berubah menjadi sosok remaja dengan wajah lembut dan mata penuh kepolosan.
Elaina menatapnya diam sejenak. Namun di matanya tak tampak rasa takut. Hanya kesedihan yang menelusup halus di balik ketegasan wajahnya.
“Sopan kah begitu?” ucapnya pelan, namun tajam seperti pisau bedah. “Menjadi wujud remaja dari anakku, yang bahkan sudah meninggal di umurnya yang masih sepuluh tahun?”
Arena yang semula riuh mendadak terdiam. Suara desis angin pun seolah berhenti.
Virgo menatap keduanya dengan mata membulat. Ia dapat merasakan resonansi emosi yang begitu dalam.
“Ilusinya… hanya diarahkan pada wanita itu,” ucap Virgo pada The Ancient One dengan nada takjub. “Namun bagaimana mungkin... hanya dia yang melihat bentuk itu?”
The Ancient One mengangguk pelan, sayap emasnya bergetar ringan. “Ilusi sejati, wahai Virgo, bukan tentang apa yang dilihat mata… tapi apa yang disentuh oleh ingatan terdalam.”
Dan pada detik itu juga, lantai di bawah kaki mereka bergetar. Dinding-dinding udara berubah, memecah menjadi pecahan kaca cahaya. Arena yang luas tadi berganti rupa menjadi labirin cermin raksasa, tanpa batas dan tanpa ujung. Setiap pantulan memantulkan bayangan langit biru dan matahari yang terbelah menjadi ribuan, menciptakan ilusi seakan mereka berdua kini berada di panggung angkasa, menari di antara realita dan refleksi.
Virgo mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu menurunkannya perlahan.
“Pertandingan dimulai.”
Dari tribun, semua mata terperangah makhluk mitologi menahan napas, manusia terpaku. Hanya suara langkah lembut dua wanita yang kini berhadapan di tengah dunia kaca.
Cahaya, ilusi, dan luka masa lalu, semuanya berpadu dalam simfoni pertama pengadilan langit.
Huli Jing terkekeh pelan, suaranya bagai bisikan lembut namun beracun. Ia tahu ilusi pertamanya gagal, namun tidak ada gurat kecewa di wajahnya. Sebaliknya, senyum tipis mengembang di bibir rubah itu. Senyum yang penuh misteri, seolah sedang merencanakan sesuatu yang jauh lebih kejam.
Elaina tetap berdiri tegak di tengah labirin cermin itu. Napasnya teratur, namun sorot matanya sedikit redup. Tersirat luka yang baru saja tergores halus di relung hatinya. Ia tahu, ilusi tadi telah mengguncang bagian terdalam dirinya, menggugah kenangan yang seharusnya telah terkubur dalam-dalam. Tapi ia menolak tunduk. Ia memaksa pikirannya kembali ke logika. Putriku sudah mati, batinnya bergetar. Tak mungkin hadir kembali… apalagi melawanku.
Huli Jing mengangkat satu alisnya, menatap Elaina dengan mata semerbak api rubah yang licik. “Hmmm… menarik,” gumamnya rendah, “kalau begitu, ilusi macam apa yang pantas untuk seorang wanita yang menyembunyikan jiwanya di balik jas hitam dan logika kaku?”
Ia lalu menegakkan tubuhnya, sembilan ekornya berkibar bagai tirai sutra hidup, memantulkan cahaya tipis dari langit di atas arena. Tawa kecilnya berubah menjadi ledakan suara yang bergulung-gulung, menabrak dinding cermin dan bergaung hingga ke tribun tertinggi. Getarannya begitu kuat hingga debu ilusi di udara beterbangan bagai hujan tipis dari serpihan kaca.
Elaina tidak bergeming. Ia menatap kosong ke depan, matanya yang tajam seperti sedang membaca pola dari kekacauan yang terjadi.
Lalu—
Dalam sekejap, seluruh arena berubah gelap gulita.
Cahaya matahari lenyap seperti ditelan makhluk raksasa. Tak ada bayangan, tak ada arah, hanya hitam pekat yang seolah memiliki wujud. Kegelapan itu bukan sekadar tiadanya cahaya. Ia hidup, bernafas di antara nadi waktu.
Dari dalam gelap, tawa mengerikan Huli Jing bergema, melingkupi seluruh arena. Suaranya memantul ke setiap arah, membuat para penonton di tribun bergidik, bahkan beberapa dari mereka tanpa sadar menutup telinga. Hanya Virgo yang tetap menatap tenang, dan Elaina yang berdiri tanpa sedikit pun rasa gentar.
Dalam kegelapan yang menyesakkan itu, Elaina akhirnya membuka suara. Suaranya tenang, nyaris filosofis.
“Kegelapan dan tempat tinggi memang ketakutan alami manusia,” ucapnya lirih, namun jelas terdengar ke seluruh penjuru arena. “Mereka takut pada kegelapan bukan karena gelap itu sendiri… tetapi karena mereka tak tahu apa yang bersembunyi di baliknya.”
Ia tersenyum samar, sarkasme tipis menyelip di ujung bibirnya.
“Dan kau tahu, Huli Jing? Arena di atas langit yang kau usulkan ini, aku malah tertawa kecil membaca usulanmu sebelumnya. Betapa indahnya ironi. Makhluk yang hidup dalam bayang-bayang justru memilih panggung di bawah matahari.”
Hening.
Ucapan itu sejenak memecah tawa Huli Jing. Namun tak lama, suara cekikiknya terdengar lagi. Lebih lembut, tapi jauh lebih menusuk.
“Oh, Elaina…” suaranya menggema dari berbagai arah. “Kau pikir logikamu bisa melindungimu dari apa yang akan kau lihat selanjutnya?”
Dan tiba-tiba, di salah satu cermin di hadapan Elaina, muncul sosok dirinya sendiri. Elaina kecil, duduk sendirian di tengah gelap, menatap sebatang lilin yang hampir padam. Matanya kosong, pipinya basah, dan bibir mungilnya bergetar, memanggil nama yang sudah lama tidak diucapkan siapa pun.
Hening menggantung di udara. Cahaya lilin kecil itu memantul di mata Elaina dewasa yang kini mulai berkaca-kaca. Bukan karena takut, tapi karena luka lama itu kembali mengetuk pintu jiwanya.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !