Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.
Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.
Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.
Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?
Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?
Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
anak kambing
Juragan Agus wajahnya masam seperti kerupuk kesiram air combran, lembek. Dua ratus juta sudah masuk rekening, tapi hatinya mendidih. Dia masih menatap Alizha dengan tatapan orang lapar yang gagal dapat jatah.
"Aku ini Juragan, harusnya boleh empat istri," gumamnya sambil mengepalkan tangan. "Masa kandas begini?!"
Bibi Ramlah langsung menyenggol lengannya. "Eh, sadar, Juragan! Hutang kami lunas, utang riba yang bikin kami tidak bisa tidur itu udah ilang. Mau apa lagi?!"
Paman Sam ikut mengangkat suara. "Betul! Kau itu harusnya sujud syukur, bukannya manyun kayak kambing kejedot pintu. Kalau maksa, nanti malah ribut sama bule itu. Kau kira bule main-main? Duit segitu kayak beli permen buat dia!"
Juragan masih mendengus. "Tapi—tapi, istriku di rumah sudah peyot. Rasanya sayang kalau rencana tambah istri harus gagal." Gimana tidak galau? Gagal dapat istri muda yang kenyes-kenyes nyoi.
Bibi melotot. "Astaga, Juragan! Apa kau pikir punya istri itu kayak koleksi burung perkutut? Dasar lelaki otak cabe rawit!"
Paman Sam ikut nimbrung sambil nyengir jengkel. "Hei, kalau mau istri empat, cari cara lain. Jangan rebutan sama orang yang duitnya bisa buat beli sawah satu desa."
Juragan terdiam, wajahnya jadi tegang. Tapi matanya tetap melirik Alizha yang berdiri di samping si bule. Jelas sekali dia merasa rugi besar.
Si bule hanya mengangkat alis, lalu menyeringai kecil. "Problem solved."
Juragan akhirnya pasrah. "Ya Allah, gagal lagi rencana besar saya."
Bibi langsung menepuk bahunya. "Syukur! Lebih baik gagal tambah istri daripada mati konyol ketiban masalah, Juragan! Si Bule sepertinya lebih kaya daripada, Sampean."
Alizha mendongak menatap bule itu. Tingginya bak gergasi, membuat tubuh kecilnya seperti anak ayam.
"Anu, Mister," suaranya gemetar. "Saya ... saya—"
Belum sempat dia menyelesaikan kalimat, tangan si bule yang besar langsung menggenggam pergelangannya. Tarikan kasar membuat Alizha tersentak.
Dengan wajah datar tapi tatapan menusuk, si bule menyeretnya masuk.
"Tidak!" jerit Alizha, tubuhnya berontak, kakinya menendang lantai. Kerudungnya hampir lepas karena ulahnya sendiri. Panik, jelas panik. Napasnya memburu, jantungnya seperti mau copot. Bagaimana tidak panik? Dia kan sudah dibayar lunas. Tiga ratus juta lagi.
Bibi Ramlah spontan melotot, mau maju tapi tubuhnya langsung mundur lagi begitu tatapan bule itu menyambar.
"Beuh! Matanya itu kayak mau nelen orang hidup-hidup," gumamnya sambil bergidik.
Asisten bule kelabakan, buru-buru mengangkat ponselnya yang jadi penerjemah otomatis. Suaranya keluar tergopoh-gopoh, "Bos saya bilang, tidak ada yang boleh mengambilnya lagi. Dia miliknya sekarang!"
Juragan Agus pasrah sudah.
Paman Sam dan Bibi Ramlah buru-buru membawa Juragan Agus untuk pergi.
Sementara di dalam, Alizha meronta sambil menangis, air matanya bercucuran deras. "Mister, jangan sakiti saya. Saya tidak mau dijual! Saya ini masih suci, Lilahi Ta'ala!" suaranya langsung pecah, penuh ketakutan.
Si bule terdiam sejenak, sorot mata yang tadinya dingin sedikit melunak jadinya. Dia mengembuskan napas panjang, mendesah pelan. Dengan gerakan santai, dia melepaskan genggaman tangannya lalu berjalan menuju kasur empuk di tengah kamar.
Pria tinggi itu rebahan, menyilangkan tangan di belakang kepala, seolah semua hiruk-pikuk tadi tidak ada artinya. Dengan nada datar tapi mengandung sindiran, dia menepuk kasurnya. "Tidur di sebelah saya. But, I don’t know if I can hold myself." (Saya tidak yakin bisa menahan diri.)
Alizha sontak makin panik, langkahnya mundur ke pintu. Tapi suara bule itu terdengar lagi, kini lebih sinis.
"Or better, sleep on the sofa!" (Atau lebih baik, tidur di sofa.) katanya, sambil menunjuk ke arah sofa. "I won’t eat little goat I prefer cow." (Saya tidak akan memakan kambing kecil. Saya sukanya sapi.)
Mata Alizha membelalak. Tangisnya sempat terhenti, terganti dengan wajah mendelik heran.
"Saya dikatai kambing?" tanyanya dengan kesal.
Si bule melirik sekilas, ujung bibirnya terangkat, jelas-jelas mengejek si gadis. "Yes. Baby goat."
Alizha makin mendengus, lalu merapatkan kerudungnya erat-erat yang nyaris merosot. "Astaghfirullah! Kurang ajar sekali ini bule!"
Alizha masih berdiri mematung, wajahnya merah padam karena tersinggung. Bibirnya mengerucut, lalu mulai komat-kamit.
"Dasar bule tinggi besar kayak gergasi, sok banget! Enak aja manggil saya kambing. Hah! Saya doakan kamu keselek roti tawar nanti pagi. Kalau makan sup, semoga kuahnya tumpah ke celana! Biar tahu rasa!"
Dia terus mengomel dalam bahasa Indonesia, makin lama makin panjang, tangannya ikutan bergerak seolah lagi ceramah.
Si bule hanya diam. Terbaring di kasur, mata terpejam, wajahnya tenang sekali. Tidak ada tanda dia paham satu kata pun dari ocehan Alizha.
"Mentang-mentang tinggi, mentang-mentang tajir, pikir bisa seenaknya sama orang? Beuh! Kalau bukan karena Bibi jahat itu, saya tidak bakalan ketemu manusia aneh model kamu!"
Alizha menghela napas panjang. Kepalanya pusing sendiri karena tadi berusaha keras mengingat-ingat bahasa Inggris, tapi sekarang benar-benar nge-blank. Rasanya otaknya lumpuh, tidak ada satu pun kata Inggris yang muncul.
Akhirnya dia mendengus dan menjatuhkan diri duduk di lantai, bersandar ke dinding. "Halah, biarin aja. Tidur sana, bule songong! Saya juga nggak sudi jadi kambingmu."
Si bule melirik sekilas dari balik matanya yang setengah terbuka. Sudut bibirnya sedikit terangkat, tapi dia cepat-cepat memejamkan mata lagi. Seolah puas melihat gadis itu ngoceh panjang lebar, tanpa sadar bahwa dirinya sedang diam-diam mengamati.
"So cute, Baby goat." batinnya.