NovelToon NovelToon
Hanya Sebuah Balas Dendam

Hanya Sebuah Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.

Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.

Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Penyiksaan

Suara terompet panjang yang dalam bergema di seluruh pelataran Kastil Kaki Naga Langit. Para siswa yang baru saja menyelesaikan ujian tahap pertama segera diarahkan ke lapangan tengah. Mereka berjalan berbaris, sebagian masih kelelahan, sebagian lain menegakkan punggung dengan bangga.

Langit pagi ini kelabu, matahari seolah terbungkus kabut tipis. Hembusan angin dari puncak pegunungan membawa aroma logam dari senjata yang dipoles semalaman, bercampur bau keringat dari para murid yang bersiap menghadapi tahap berikutnya.

Di pendopo besar, Penjaga Kedua berdiri tegap. Tubuhnya besar, bahunya lebar, dan suara beratnya pecah membelah udara.

“Berbaris sesuai kelompok!”

Nada suaranya tidak memberi ruang untuk penolakan.

Para murid pun bergerak cepat, membentuk barisan. Mereka kini dibagi menjadi kelompok-kelompok campuran — gabungan klan atas dan menengah, bahkan beberapa dari klan bawah yang beruntung lolos tahap pertama. Terdapat enam kelompok istimewa, masing-masing memiliki salah satu dari enam anak Kaisar di dalamnya.

Penjaga Kedua melangkah maju, tatapannya menyapu seluruh murid seperti pisau.

“Tahap kedua… ujian secara kelompok. Kalian harus menentukan siapa pemimpin kalian.”

Dia berhenti, lalu tersenyum tipis, nyaris seperti ejekan.

“Kalian boleh memilih… atau memaksa… dengan segala cara yang kalian mau.”

Tawa pendeknya terdengar seperti besi beradu. Beberapa murid saling pandang, menyadari bahwa kata segala cara bisa berarti apa saja.

“Setiap kelompok akan mendapat guru pendamping,” lanjutnya, suaranya semakin datar.

“Dan ingat… guru kalian sangat ramah.”

Kata “ramah” ia ucapkan dengan nada sarkastis. Saat para murid menoleh, mereka melihat guru-guru pendamping berdiri di sisi pendopo. Bukan wajah ramah yang mereka temukan, melainkan tatapan dingin, senyum tipis penuh ancaman, dan ekspresi seperti algojo yang menunggu giliran.

Banyak murid menelan ludah.

Setelah pembagian kelompok ternyata Wēi Qiao satu kelompok dengan kakak keempatnya, Wēi Xiaolán. Gadis itu dikenal cantik, tetapi juga kejam, licik, dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.

Begitu mengetahui gurunya, Xiaolán segera melangkah mendekat, senyum manis di wajahnya — topeng kesopanan yang tidak pernah benar-benar tulus.

“Guru,” ucapnya lembut, “bisakah Anda menjelaskan semua peraturan ujian tahap kedua ke Wēi Qiao ? Saya… khawatir kalau Wēi Qiao rtidak tau tentang ujian tahap kedua.”

Namun di dalam hati, pikirannya berbeda: Anak haram itu akan mati di ruang tabib… aku sendiri yang akan memastikan.

Senyum guru pendamping itu dingin.

“Tidak perlu. Aku sendiri yang akan menyampaikan peraturan pada Wēi Qiao.”

Xiaolán sempat memaksa:

“biarkan aku menjelaskannya pada Wēi Qiao sendiri. Aku—”

Seketika, aura membekukan memenuhi udara. Guru itu memandangnya lurus, dan Xiaolán merasakan seolah darahnya berhenti mengalir.

“Murid tidak punya hak untuk keluar-masuk ruangan kastil sesuka hati,” ucap guru itu datar.

Xiaolán tersenyum tipis, menunduk hormat.

“Baiklah, Guru. Aku percaya padamu.”

Tapi tatapan di matanya jelas—ia tidak menyerah.

Begitu kembali ke asrama, Xiaolán meledak. Ia menghajar anggota kelompoknya tanpa ampun. Tendangan keras menghantam perut salah satu murid, tinju melayang ke wajah yang lain, sementara mulutnya tak berhenti memaki:

“Kalian semua lemah! Menjijikkan! Kalian pikir aku mau kalah karena kalian?!”

Di sudut ruangan, salah satu pengikut setianya mendekat, berbisik di telinganya. Mendengar itu, mata Xiaolán berbinar penuh ide. Ia menoleh pada Liang Riu, pemuda kurus dari klan bawah yang berhasil lolos tahap pertama.

Ia melangkah mendekat, senyum manis kembali di wajahnya, suaranya dibuat lembut dan menggoda.

“Liang Riu… kau ingin klanmu selamat dari eliminasi, bukan?”

Liang Riu menelan ludah.

“I-itu… tentu saja…”

“Bantu aku,” bisik Xiaolán. “Dan aku akan memastikan klanmu mendapat perlindungan. Hanya… satu tugas kecil. Sangat mudah.”

Godaan itu membuat Liang Riu mengangguk. Ia tidak tahu, bahwa kesepakatan itu adalah jalan masuk menuju mimpi buruknya.

Di ruang tabib, Wēi Qiao masih dalam perawatan. Guru pendamping kelompoknya baru saja bertanya pada tabib,

"Berapa lama dia harus dirawat?"

Tabib, sambil menyeruput teh hijaunya, menjawab santai, "Minimal tujuh hari, sampai luka sembuh total."

"Tujuh hari?!" suara guru itu meninggi. Namun tabib hanya tersenyum tipis. Guru itu pun pergi, meninggalkan udara dingin di belakangnya.

TIga hari kemudian

Di ruang tabib, bau herbal bercampur dengan wangi teh hijau yang mengepul di sudut ruangan. Wēi Qiao masih terbaring, sebagian tubuhnya terbalut perban. Sang tabib baru saja meneguk teh ketika pintu didobrak.

Guru pendamping kelompok Wēi Xiaolán masuk, menyeret Liang Riu di belakangnya. Darah segar menetes dari punggung Liang Riu, di mana sebilah pedang masih tertancap.

“Terjadi kecelakaan saat latihan kelompok,” ujar sang guru singkat.

Tabib buru-buru bekerja, memuji guru yang tidak mencabut pedang itu demi menghindari kerusakan lebih parah. Namun di mata guru itu, terselip kekecewaan—anggota kelompoknya berkurang, peluang gugur di ujian ini makin besar.

Malam Pun tiba di hari saat Liang Riu Diantarkan ke Ruang Tabib, Udara malam itu terasa padat, seperti lapisan tipis kabut yang menyusup ke dalam paru-paru. Ruang tabib di paviliun barat hampir sepenuhnya gelap, hanya disinari lampu minyak kecil di sudut, yang cahayanya redup dan goyah seperti napas orang sekarat. Bayangan peralatan bedah, rak obat, dan lembar kain kasa memanjang di dinding, bergerak setiap kali api lampu bergetar.

Aroma herbal kering—akar ginseng, daun pahit, dan serbuk obat penenang—tercampur dengan bau samar besi darah. Bagi orang biasa, campuran itu menenangkan. Tapi bagi seorang yang pernah melewati medan perang seperti Wēi Qiao, itu adalah bau rumah jagal yang dibungkus harum palsu.

Di luar, angin dingin membawa suara pintu kayu yang bergoyang… creeeak… creeeak…

Di dalam, hanya terdengar detak jam pasir di rak obat—tik… tak… tik… tak…—menghitung waktu menuju sesuatu yang tak terhindarkan.

Wēi Qiao berbaring di ranjang pasien, matanya tertutup, napasnya teratur seperti orang tidur nyenyak. Tapi otaknya tidak pernah benar-benar tidur. Di balik kulitnya, jaringan micro bots bereaksi terhadap perubahan medan listrik di sekitarnya.

Seseorang mendekat… perlahan… terlalu pelan untuk menjadi tabib, terlalu hati-hati untuk menjadi penjaga.

Bunyi kain bergesekan… langkah kaki telanjang di lantai kayu.

Hela napas pendek menahan gugup.

"Dia datang…" batin Wēi Qiao.

Ia membiarkan jantungnya berdetak normal, tubuhnya tetap rileks. Ini permainan kesabaran.

Sosok itu berhenti tepat di sisi ranjang. Dari sudut matanya yang sedikit terbuka, Wēi Qiao melihat wajah Liang Riu. Pupil matanya mengecil, rahangnya tegang, dan di tangannya—sebuah pisau bedah tabib, tipis dan tajam, memantulkan cahaya lampu minyak.

“Maafkan aku…” bisik Liang Riu, suaranya serak dan pecah. “Aku… hanya melakukan ini demi klanku. Tolong… jangan dendam padaku di alam baka.”

Ia mengangkat pisau itu, mengarahkannya tepat ke nadi leher Wēi Qiao. Tangan Liang Riu gemetar, tapi matanya penuh tekad putus asa.

[Protokol Perlindungan Diri: Aktif]

Begitu ujung pisau nyaris menyentuh kulit, kilatan biru meledak dari bawah kulit Wēi Qiao—ZRAAAAK!—menyambar lengan Liang Riu. Sengatan itu tidak seperti petir liar, tapi arus listrik terukur yang disalurkan micro bots, menelusuri saraf dan otot.

Liang Riu terkejut, tubuhnya kaku, rahangnya mengatup hingga giginya hampir patah. Aroma tipis rambut terbakar menguar di udara. Listrik itu mendorongnya mundur, melemparnya ke lantai. Punggungnya menghantam keras kaki ranjang, napasnya tersendat, dan matanya kosong sebelum gelap menelannya.

Wēi Qiao membuka matanya perlahan, duduk seperti seseorang yang baru bangun dari tidur siang—tenang, nyaris malas. Ia melirik tubuh pingsan itu, lalu berkata pelan, “Bahkan untuk membunuh pun… kau terlalu ceroboh.”

Dengan tenang, ia menyeret Liang Riu ke kursi kayu dekat meja obat, mengikatnya menggunakan sabuk kain pasien yang dililit rapat ke tiang kursi. Ikatan itu menekan sendi, menghambat aliran darah secara perlahan, membuat rasa kesemutan mulai merayap dari telapak kaki hingga paha.

Beberapa menit kemudian, kelopak mata Liang Riu bergetar. Ia mengerang, lalu sadar—dan hal pertama yang ia rasakan adalah kepalanya dingin. Naluri membuatnya meraba… kulit kepala licin, tak ada sehelai rambut pun.

Ia membelalak. “R… rambutku…?”

Wēi Qiao melemparkan sebuah cermin perunggu kecil ke pangkuannya. “Bangun, botak.”

Tatapan Liang Riu jatuh pada bayangan kepalanya—kulit merah muda mengilat akibat sengatan listrik, bekas gosong samar di sisi kanan. Matanya melebar panik. “TIDAAK!!! RAMBUTKU!!!”

Jeritannya bergema di ruangan. PLAK! Wēi Qiao menamparnya keras, membuat kepalanya terlempar ke samping. Darah merembes di sudut bibir.

“Diam.” Nada suara Wēi Qiao datar, tapi matanya tajam seperti ujung pedang yang baru diasah. “Suara ratapanmu mengganggu.”

Wēi Qiao berjalan mengelilingi ruangan, jarak langkahnya sengaja lambat, membuat setiap ketukan sepatu terdengar seperti hitungan waktu eksekusi. Ia membuka laci, memeriksa botol-botol, lalu mengambil satu tabung jarum akupuntur panjang—tipis, berkilau, memantulkan cahaya hangat lampu minyak yang justru terasa dingin bagi korban.

Ia berdiri di belakang Liang Riu, berbisik pelan di telinganya.

“Aku pernah dengar… ada titik saraf di bawah kuku. Jika ditusuk perlahan… rasanya seperti tulangmu digergaji dari dalam.”

Jarum pertama menembus bawah kuku jari telunjuk kiri.

CHUK!

“AARRGHHH!!!” Liang Riu menjerit, tubuhnya menegang, urat di lehernya menonjol.

Jarum kedua masuk di jari tengah. Kali ini Wēi Qiao memutarnya sedikit sebelum menarik keluar, membiarkan rasa panas-dingin menjalar ke seluruh saraf tangan. Liang Riu mencoba mengangkat kaki untuk meronta, tapi ikatan menahan tubuhnya.

Jarum ketiga—jari manis—didorong lebih dalam, menembus sampai ke jaringan sensitif. Liang Riu menggigit bibir sampai berdarah. Air matanya mulai jatuh, bukan hanya karena sakit, tapi karena rasa takut yang membusuk di dalam dadanya.

Wēi Qiao berhenti sejenak, berjalan ke depan kursi, lalu berjongkok agar wajah mereka sejajar. “Itu baru tiga jarum. Aku masih punya tujuh.”

Jarum keempat—kelingking kiri—menyebabkan rasa nyeri menjalar sampai ke siku. Liang Riu menjerit parau, suaranya pecah.

Jarum kelima—ibu jari kanan—membuatnya memutar kepala, hampir muntah.

Setiap jarum berikutnya dimasukkan dengan ritme pelan dan terukur. Wēi Qiao memastikan ada jeda di antara tiap tusukan, memberi waktu bagi rasa sakit untuk menumpuk dan menyebar.

Jarum ketujuh—jari telunjuk kanan—dan Liang Riu mulai bernafas seperti ikan di darat, terengah-engah, keringat dingin membasahi wajah dan lehernya.

Saat jarum kedelapan masuk, Liang Riu menggeleng lemah. “C—cukup… cukup…”

Wēi Qiao mendekat, tatapannya menusuk. “Siapa yang menyuruhmu?”

Liang Riu terisak, tapi masih memalingkan wajah. “Aku… aku tidak bisa—”

STAB! Jarum kesembilan langsung menusuk dalam ke bawah kuku kelingking kanan. Liang Riu menjerit seperti anak kecil, suaranya pecah sampai serak.

Akhirnya, di sela napas berat dan air mata, suaranya keluar lirih, “…Wēi Xiaolán… dia… yang memerintahkanku…”

Senyum tipis muncul di bibir Wēi Qiao. “Bagus. Begitu saja dari tadi.”

Liang Riu menatapnya dengan campuran benci dan takut. “Bagaimana… kau tahu…?”

Wēi Qiao menunduk, berbisik di telinganya dengan suara yang terlalu tenang untuk dianggap manusiawi.

“Karena aku mendengar setiap langkahmu… setiap detak jantungmu… sejak kau masuk. Dan kau terlalu lemah… Murid nomor delapan puluh sembilan.”

Dengan dua jari, Wēi Qiao mengetuk titik syaraf di leher Liang Riu. Tubuh itu terkulai, pingsan.

Wēi Qiao berdiri, menatap tubuh tak berdaya itu lama sekali, lalu berbalik ke arah jendela.

“Kakak… kali ini kau mengirim bidak yang salah. Aku yang akan datang… dan kau akan belajar rasa sakit yang tak pernah kau bayangkan.”

1
aurel
hai kak aku udah mampir yuk mampir juga di karya aku
Nanabrum
Gila sejauh ini gw baca, makin kompleks ceritanya,

Lanjuuuuutttt
Mii_Chan
Ihhh Lanjuuuuutttt
Shina_Chan
Lanjuttt
Nanabrum
LANJUUUT THOOOR
Nanabrum
Uwihhh Gilaaa banget
Shina_Chan
Bagus, Tapi harus aku mau tunggu tamat baru mau bilang bagus banget
Gerry
karya nya keren, di chapter awal-awal udah bagus banget, semoga authornya bisa makin rajin mengupload chapter-yang bagus juga kedepannya
Gerry
Sumpaaah kereeeeen
Gerry
Gilaaakk
Teguh Aja
mampir bang di novel terbaruku 😁🙏🏼
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!