Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Aritmatika
Pov Daniza
Suku ke 3 suatu barisan aritmatika sama dengan 11 sedangkan suku ke 10 sama dengan 39
A). Carilah suku pertama dan beda barisan itu
B).tentukan suku ke 15
C).tentukan deret suku ke 5
Kerjakan...
Begitu tampang papan tulis putih yang diberi tulisan tangan memakai spidol hitam. Andaikan hanya sampai disana tapi penulisnya malah menambahkan kerjakan, carilah, tentukan, menyuruh untuk melanjutkan.
"Ingat rumusnya, buka lagi catatan minggu lalu tentang Aritmatika" lembaran demi lembaran ku buka kebelakang, disana tertulis penjelasan beserta sedikit contoh bahkan senin lalu juga sudah dicoba tapi angka-angka yang diberi huruf-huruf menjadi kata-kata, menjadi pertanyaan tetap tidak dapat aku mengerti.
"Minggu lalu aku lagi pacaran didanau, catatan Aritmatika apaan. Kalau senin baru ada" Winda disampingku bergumam seraya membuka lembaran bukunya.
"Heran bisa juga guru typo hari" bersamaan gumaman itu seseorang yang paling belakang bersuara memanggil Bu Fatwa tapi baru, "Bu" Bu Fatwa sudah memberi pernyataan yang membuat suaranya tidak lagi keluar,kata-kata nya hilang tertelan dan menjadi rahasia.
"Tidak ada pertanyaan, kemaren sudah dijelaskan jadi nggak ada yang belum bisa"kelas menjadi sunyi setelahnya hanya sesekali terdengar kertas yang dibalik.
"Kemaren katanya, padahal kita ke kondangan hari itu. Dan, kamu bisa nggak?" Tanya Winda berbisik, aku menggeleng pelan.
"Aku nggak paham, senin lalu juga nggak ngerti tapi tetap harus ngangguk" aku memegang sisi kepala ku, rasanya otak ku mulai panas.
"Memang siapa yang berani nanya senin lalu, murid belum nanya juga udah dikasih paham. Udah dijelaskan masih nggak ngerti juga, coba fokos jangan mikir pacaran mulu. Kecuali...orang dibelakang entah punya nyali apa sampai berani angkat tangan"aku menoleh pada Winda, merasa takjub bagaimana dia dapat mengikuti omongan Bu Fatwa senin lalu dengan sama persis.
Mungkin bakatnya Memang tidak Matematika, tapi bisa jadi dalam hal meniru. Tapi terpaksa untuk tetap mengerjakan tugas karena sudah resiko sekolah, seperti aku yang tidak punya bakat dalam mata pelajaran manapun atau dalam bentuk bidang manapun, cuma punya bakat dalam menafsirkan perasaan Haneul dan memikirkan nya lalu satu lagi, menemukannya diantara kerumunan itu baru aku ketahui diacara kondangan.
"Sulit bangat, Dan.." kata-kata Winda membuat ku teringat pada Vano yang menanyakan tentang sekolah dengan nada sedih, bagaimana sekarang perasaan Vano?.
"Kerjakan dengan benar, jangan ngomong sama teman sebangku, jangan cuma tolah-toleh"kami berdua pun beradu pandang merasa ucapan Bu Fatwa barusan untuk kami, lalu segera bergeser menjaga jarak sambil sesekali masih saling melirik.
Tanpa terasa bel pertanda pulang sekolah berbunyi, aku pun segera menghela napas lega dan akan segera menaruh kembali buku ku kedalam tas.
"Akhirnya pulang juga, selamat... Jadi PR nih"tapi tiba-tiba Bu Fatwa memukul meja, membuat ku tersentak.
"Siapa yang suruh pulang, kumpulkan sekarang. Yang belum selesai dan jawabannya nggak benar nggak boleh pulang"kami berdua Winda saling beradu pandang, lalu sama-sama memasang wajah masam seraya membuka kembali buku.
"Aduh...nggak benar hidupku"
"Mana aku udah kebelet lagi"dan melihat orang-orang keluar satu persatu setelah menyerahkan bukunya, maka aku jadi semakin tidak karuan.
Tergesa-gesa mengerjakan dua soal berikutnya sambil menahan pipis, membuatku panik. Diantara kesibukan itu tidak ku sangka hatiku masih mencari Haneul, ingin tahu sudah kah dia selesai ?. Tepat saat pandanganku naik dari kertas, saat itulah aku melihatnya berjalan didepan sana-melewatiku tanpa menoleh.
Hatiku bagai teriris melihat sikapnya yang acuh tak acuh, padahal aku sedang dalam keadaan sulit. Jika tidak bisa membantu setidaknya menunggu ku atau paling tidak lihatlah aku sebentar dengan wajah kawatir.
"Akhirnya selesai..." aku menatap Winda dengan memelas, katanya saja sulit, hidup nggak benar ternyata apa ? Selesai juga duluan.
" Maaf Dan..aku duluan" aku mengangguk, mengerti bahwa dia tidak bisa membantuku karena bukan hanya dia yang takut ketahuan aku pun juga. Begitu pun mungkin Aca dan Lani yang duduk didepan kami sedari tadi tidak berani menoleh atau sekedar memangil dengan lirih, kami harus saling pengertian.
Karena Bu Fatwa terus mengawasi dengan mata tajam. Kalau ketahuan bisa disuruh berdiri didepan, dua murid didepan sana buktinya.
"Nggak apa-apa Win, sana... nanti Bu Fatwa curiga" Winda mengangguk tapi dia bertanya,"masih lama lagi Dan.." Tanyanya dengan lirih seraya merapikan peralatan sekolahnya bersiap untuk pulang.
"Sebentar lagi aku nyusul keluar, masih ada Aca dan Lani juga" aku mengacungkan jempol sebentar sambil tersenyum, meyakinkan. Padahal hatiku sudah sangat ketakutan, kalau- kalau hanya aku yang tersisa.
"Yang serius lebih teliti lagi, Dan.."Aku mengangguk
"aku langsung pulang yaa, ada acara dirumah. Kalau bisa mampir Dan, Lan nanti kerumah"Winda juga pamit pada Aca dan Lani karena dia tidak menunggu kami pulang bareng.
" Kalau sempat, nanti aku bareng Daniza"
"Aku nggak diudang"
"Rumahmu dekat Ca, udah duluan diundang Ibu" lalu Winda pamit pada Bu Fatwa.
Melihat jam dinding aku berhitung dalam hati sudah sekitar lima menit berlalu setelah keluarnya Winda dan tugasku belum juga selesai.
Aku mengedarkan pandanganku masih tersisa sekitar sepuluh orang termasuk aku, dan kantong kemih ku semakin tidak tertahan. Jadi aku menyerah sebelum aku mengompol dan mempermalukan diriku.
" Izin ke toilet, Bu" Ujarku seraya mengangkat tangan.
"Nanti... setelah Lani kembali"dan aku masih disuruh menunggu disaat rasanya sudah diujung tanduk.
Dengan gelisah aku mencoba mengerjakan tugas sambil sesekali badan bergoyang kecil kekanan dan kekiri saking tidak sabar nya pembuangan.
"Mau ke toilet Dan...?" Tanya Lani, saat aku berjalan berlawan arah darinya.
"Iya udah nggak tahan" tapi Lani malah menahan tangan ku, saat aku akan melewatinya membuat ku mengeryit sambil gelisah.
"Apaan Lani, aku udah nggak nahan"
"Mampir sebentar ke gudang, Ali bisa bantu"bisik Lani hampir tidak kedengaran.
Aku lalu segera keluar dengan setengah berlari, sesaat setelah Lani melepaskan genggaman nya dan lupa meminta izin kembali untuk keluar dengan Bu Fatwa- melupakan sikap sopan santun.
Selesai dengan panggilan alam, aku pun merapikan seragam lalu baru membuka pintu dan detik berikut nya mata ku terbelalak saat melihat kaki seseorang menghadang didepan pintu. Sepatu yang aku kenal itu membuat ku urung melihat sampai atas. Jadi aku hanya perlu mencari celah untuk keluar dari kungkungan. Namun belum berhasil aku keluar tangan besar melingkupi pergelangan tanganku lalu turun membuka telapak tangan ku menyelipkan sesuatu.
"Pelajari dan hati-hati"bisik nya didekat ubun-ubunku, membuat tubuhku mematung.
"Bernapaslah Daniza..."dia mencubit pelan tanganku, lalu masuk kedalam toilet.
Aku menarik napas tersadar, dan aroma Mint segera masuk sampai memenuhi kerongkongan ku dan aku hembuskan secara perlahan.
Bagaimana Haneul bisa begitu berani?,aku jadi merinding. Ku buka apa yang diselipkan tadi, ternyata secarik kertas berisi jawaban aritmatika dengan caranya.
Aku pun tersenyum seraya menatap daun pintu, jadi..sikap acuh tak acuh tadi adalah kepura-puraan, mungkin dia merasa bertanggung jawab padaku karena telah disulitkan oleh Bu Fatwa yang tak lain adalah bibinya.
"Makasih" gumamku dibalik pintu, dan ku harap dia tidak mendengarnya.
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu