Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sial
Langkah kaki Evelyn terasa berat menapaki trotoar yang mulai licin oleh sisa air langit yang sempat menyapa bumi. Jaket lusuhnya tak cukup menahan dingin, evelyn mendekap dirinya sendiri berharap bisa sedikit merasa hangat. Rintik masih turun, ringan tapi menusuk. Disaat yang lain mencari tempat berteduh, tapi Evelyn malah berjalan pelan. Biar saja basah, biar saja dingin menusuk. Mungkin, air dari langit bisa sedikit membantu meluruhkan beban di pundaknya—walau cuma sesaat.
Pikirannya berkelebat. Tangannya mengepal udara dingin dalam genggaman.
Gaji yang tinggal separuh… Cala masih butuh obat. Uang asrama Kevin juga belum dibayar… kemana lagi dia harus mencari tambahan.
Jantungnya seperti ditusuk dari dalam. Napas beratnya melarut bersama udara basah sore itu. Kini satu-satunya pekerjaan yang tersisa hanyalah paruh waktu di hotel dekat perumahan. Mencuci piring, berdiri berjam-jam di dapur panas dan beruap. Tapi upah di sana juga tidak seberapa.
Helaan nafas panjang keluar dari hidung kecilnya.
"Tak apa kecil, asal Cala bisa makan… asal Kevin tetap bisa belajar dan mendapatkan yang terbaik… nggak papa. Gue nggak pa-pa," gumamnya menguatkan diri sendiri.
Langkahnya sampai di gang menuju perumah kontrakannya. Lampu-lampu rumah tetangga mulai menyala, Evelyn mempercepat langkah. Cala sudah menunggunya, bayangan wajah mungil yang masih pucat dengan plester penurun panas di dahinya membayangi Evelyn.
“Dasar anak nggak tau diri! Muntah malah kena baju gue!”
Evelyn langsung berlari, saat mendengar teriakan dari dalam rumahnya. Diterjangnya pintu pagar kecil rumah kontrakannya yang terbuka setengah. Di sana, Susan tetangganya, berdiri dengan wajah merah padam. Sementara Cala meringkuk di pojok ruang tamu, tubuhnya menggigil dan sesegukan. Di lantai, ada bekas muntah dan ujung celana tujuh perdelapan Susan yang tampak terkena noda.
“Mbak Susan! Kenapa kamu bentak anak saya?!”
Cala yang mendengar suara Mamanya yang langsung menoleh dan menangis keras.
"Mama!" pekik Cala mencari perlindungan.
Evelyn langsung memeluk Cala, mengusap lembut rambut lepek. Setengah mati, dia menahan amarah dan air mata yang hampir jatuh.
“Anak kamu muntah ke baju gue! Jijik! Mana gue udah bantu jagain dari siang, cuma dikasih lima puluh ribu, nggak cukup buat ganti baju gue yang kotor?!” ujar Susan sambi mengibaskan kaki yang terkena setitik muntahan Cala.
Evelyn mendelik tajam, ia mengangkat tubuh mungil Cala dalam gendongannya. Lalu berjalan menghampiri Wanita dengan lipstik merah padam dan baju ketat yang menatapnya dengan kesal.
“Dia sakit. Seharusnya Mbak Susan maklum itu. Saya juga membayar Anda untuk menjaga Cala, jadi nggak usah bentak-bentak dia!” tegas Evelyn dengan nada datar tapi penuh penekanan. Dia tidak ingin meningggikan suaranya di depan Cala.
"Halah, bayat lima puluh ribu doang aja sombong. Lain kali cari orang lain! Gue ogah jagain anak lo lagi!"
Susan membalikkan badan dan berjalan pergi sambil terus mengomel, meninggalkan aroma parfum tajam dan emosi yang menggantung di udara. Padahal kemarin-kemarin Susan sendiri yang menawarkan diri untuk menjaga Cala saat Evelyn baru pindah ke perumahan itu. Tapi sekarang malah seperti ini.
Evelyn memejamkan mata sejenak, menepuk pelan punggung Cala untuk memenagkan. Ia kemudian menutup pintu perlahan. Hening, hanya ada suara detik jam dinding dan batuk kecil Cala yang masih sesegukan. Evelyn duduk, menaruh anaknya di pangkuan, dan mengusap kening mungil yang baru ia lepas plester penurun panasnya.
“Maaf ya, Sayang. Maaf,,” bisiknya dengan suara gemetar, tak peduli wajahnya masih basah oleh hujan dan air mata.
"Ma ... Cala gak mau ... ga mau sama tante ..." tutur Cala disela seseguknya.
"Iya, Mama temenin Cala di rumah ya. Cala udah mam?" tanya Evelyn sambi mengusap helaian rambut Cala.
Cala menggeleng lalau memeluk erat tubuh Mamanya yang dingin.
"Mama beliin bubur ayam ya, kita makan sama-sama," tawar Evelyn. Cala hanya mengangguk dalam pelukannya.
Wanita bermata sipit itu mengeluarkan ponsel, lalu memesan bubur ayam lewat aplikasi. Karena tidak mungkin dia meninggalkan Cala sendirian sekarang. Setelah itu da beranjak ke kamar, mengelap tubuh Cala dan menganti baju sang putri agar lebih nyaman. Evelyn sendiri juga menganti kemejanya dengan daster rumahan. Evelyn benar-benar terlihat seperti ibu rumah tangga, mungkin memang sudah pantas. Mengingat usianya yang sudah hampir kepala tiga.
Tak lama bubur yang Evelyn pesan datang, ia langsung menyuapi Cala dan memberikan obat penurun panas lagi. Kini Cala sudah berbaring di kasur, memeluk boneka paus kesayangannya. Evelyn menatap lekat wajah mungil yang biasanya selalu bercahaya seperti matahari ini terlihat lesu, matanya merah berair, tak ada lagi celotehan dan pertanyaan yang tak ada ujungnya. Saat sakit Cala lebih banyak diam.
"Cepat sembuh ya Tuan puteri Cala, selamat bobo," lirih Evelyn sambil menyelimuti tubuh mungil kesayangannya. mengecup lembut puncak kepala Cala.
Cala diam tak menjawab, matanya terpejam erat. Tangan hangat Evelyn terus menepuk pelan punggung Cala, sampai dengkuran halus terdengar. Cala sudah benar-benar terlelap.
Wanita berdaster batik selutut itu pun memutuskan beranjak ke ruang tamu, menyalakan televisi sambil memakan sisa bubur ayam yang Cala makan. Dia tidak benar-benar melihat apa yang layat kotak itu tayangkan, Evelyn menyalakannya hanya untuk sekedar mengusir hening yang terlalu mencekik. Satu tangan menyendok bubur, tangan lain bergerak mengusap layar ponsel mencoba mencari lowongan pekerjaan.
Tring.
Satu pesan masuk.
Bunda Isa :
"Selamat malam, saya mau menginformasikan jika uang bulanan ananda KEVIN ADELIO RAHADJA belum dibayarkan. Saya mengharapkan pada wali murid agar segera memenuhi. Terima kasih.
Evelyn :
"Selamat malam Bunda, terima kasih sudah meningatkan. Saya akan segera membayar."
Evelyn menghela nafas panjang lalu melanjutkan memakan bubur yang tersisa tiga sendok lagi.
Sebuah pesan lain masuk, Evelyn kira itu adalah balasan dari wali asrama Kevin ternyata tidak.
Tante Yunia :
"Jangan lupa cicilan mu Eve, bulan ini 5 juta."
Evelyn :
"Eve tidak lupa Tante, tapi apa boleh saya minta keringanan. Bulan ini saya tidak bisa memberi Tante sebesar itu.
Tante Yunia :
"Tidak ada keringanan Eve, jangan buat saya marah. Kalau kau tidak mau bayar, bangunkan saja Papamu yang biar dia yang bayar."
Evelyn :
"Tolong jangan bawa-bawa Almarhum Papa Tan, Papa sudah tenang. Sayaakan usahakan untuk uang itu."
Tante Yunia :
"Dia tenang, kamu yang kelabakan bayar hutang. Saya tunggu."
Evelyn menghela nafas berat, meletakkan sedikit kasar ponselnya di meja. Satu tangan wanita itu memegang keningnya yang tidak pening, mengusapnya dengan kasar. Evelyn tetap memakan bubur dengan linagan air mata yang mulai meleleh. Sialan, dia benci makan sambil nangis seperti ini. Memaksa mengunyah, memaksa menelan, raganya harus punya tenaga untuk tetap hidup. Kehidupan sialan yang ia jalani, tapi Evelyn juga tidak tau mau mengeluh dan mau protes pada siapa.
Ramainya suara televisi, memenuhi ruang tamu, menyamarkan isak wanita yang berusaha kuat berdiri tanpa penyangga. Ada dua kehidupan yang bergantung padanya, ada kesalahan- kesalahan yang ia perbaiki, meski bukan dia pelakunya. Bubur telah habis, wajah Evelyn sepenuhnya menunduk di meja. Menangis lirih dengan mulut yang masih terpaksa mengunyah. Sialan.
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve