Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Between Us
Keesokan harinya. Xavier menghela napas panjang sambil memijat tengkuknya. Operasi tadi cukup menguras energi, dan kini ia dihadapkan pada janji makan malam dengan Luna dan sahabatnya, Claire. Ia membuka jas dokternya, menggantungnya dengan rapi, lalu mengganti pakaian dengan kemeja putih yang ia simpan di loker.
Saat ia melihat bayangannya di cermin kecil di dalam ruangannya, ia sempat berpikir. Apa ini ide yang baik? Aku bahkan tidak tahu apa rencana Luna kali ini. Namun, ia menepis keraguan itu. Luna selalu punya cara untuk membuatnya ikut dalam permainan kecilnya.
Sambil berjalan keluar rumah sakit, Xavier mengetik balasan singkat:
“Dalam perjalanan.”
Di restoran, Claire tampak resah. Ia terus memeriksa jam tangannya sambil melirik pintu masuk. “Apa dia benar-benar akan datang? Kurasa dia sibuk,” ujarnya dengan nada ragu.
Luna, yang sedang mengaduk minumannya dengan malas, mendongak dengan senyum menggoda. “Tenang saja, dia akan datang. Aku sudah mengenalnya cukup lama. Xavier itu seperti karet gelang—dia selalu kembali ke tempat yang tepat meski aku menariknya sejauh apa pun.”
Claire tertawa kecil, meskipun jelas ia masih merasa gugup. “Kau membuatnya terdengar seperti anjing peliharaan.”
“Bukan anjing, lebih seperti burung yang sulit ditangkap,” balas Luna dengan tawa kecil.
Saat itulah pintu restoran terbuka, dan Xavier masuk dengan langkah tegap, penampilannya selalu rapi dan memukau, bahkan setelah seharian bekerja. Matanya langsung mencari Luna, dan begitu menemukannya, ia berjalan menghampiri dengan ekspresi santai yang nyaris tak tergoyahkan.
“Sudah menunggu lama?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di samping Luna.
“Ah, lihat siapa yang akhirnya datang,” Luna menyahut dengan nada menggoda. “Aku sudah hampir mengira kau melupakan kami.”
Xavier melirik Claire, lalu tersenyum tipis. “Hi, Claire. akhirnya kita bertemu lagi.”
Claire tertegun sejenak sebelum akhirnya tersenyum canggung. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu lagi, Xavier.”
Percakapan awal mereka berjalan kaku, tetapi Luna dengan cekatan mengambil alih, melontarkan candaan dan pertanyaan yang membuat suasana lebih ringan. Xavier sesekali menatap Luna dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi ia tahan.
Namun, di tengah makan malam, seorang wanita berjalan mendekati meja mereka. Rambutnya hitam panjang, tubuhnya anggun, dan senyumnya penuh percaya diri. Xavier langsung mengenalnya: Zora.
“Xavier?” Zora menyapa dengan nada ramah.
Xavier tampak terkejut sejenak, tetapi kemudian tersenyum. “Zora? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku ada reservasi, tapi sepertinya meja yang kupesan belum siap,” jawab Zora sambil melirik ke arah pelayan yang sedang sibuk.
“Oh, kalau begitu, bergabunglah dengan kami,” Xavier menawarkan tanpa berpikir dua kali.
Luna mengerutkan kening, sedikit bingung, sementara Claire terlihat penasaran. “Zora, ini Luna dan Claire,” Xavier memperkenalkan mereka. “Dan, ini Zora.”
Zora tersenyum sopan. “Senang bertemu kalian.”
Luna, yang tidak mengenal Zora sebelumnya, tetap memasang senyum, meskipun pikirannya penuh tanda tanya. “Senang bertemu juga, Zora. Kau teman Xavier?”
Zora menatap Xavier sejenak sebelum menjawab. “Kami pernah dekat. Sudah lama sekali, sebenarnya.”
Mendengar itu, Luna mendadak merasa ada sesuatu yang aneh dalam suasana ini. Tetapi, ia menutupi rasa penasarannya dengan melanjutkan obrolan.
Selama makan malam, Zora dan Xavier tampak cukup akrab. Luna, yang awalnya fokus menghidupkan suasana, mulai merasa seperti orang luar. Xavier bahkan memanfaatkan momen ini untuk berbicara lebih banyak dengan Zora, yang membuat Claire dan Luna lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Ketika Claire mencoba mencairkan suasana dengan melontarkan pertanyaan ringan, Xavier tiba-tiba berkata, “Claire, kau wanita yang hebat, tetapi aku rasa Luna salah jika mencoba menjodohkan kita.”
Luna, yang sedang menyesap minumannya, hampir tersedak. “Xavier!” serunya. “Aku hanya bercanda soal itu!”
“Tidak apa-apa,” Claire menanggapi dengan tawa kecil, meskipun ia tampak sedikit malu. “Aku juga tidak berpikir terlalu jauh.”
Zora memandang Xavier dengan senyum penuh arti. “Masih suka menggoda orang, ya?”
Xavier hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Luna memandang Xavier dengan ekspresi kesal campur bingung, tetapi ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Dalam pikirannya, ia terus bertanya-tanya siapa sebenarnya Zora dan apa yang sedang terjadi antara mereka.
Ketika akhirnya makan malam selesai, Zora berpamitan lebih dulu. Sebelum pergi, ia menepuk lengan Xavier dengan lembut. “Kita harus bicara lagi nanti.”
“Pasti,” jawab Xavier singkat.
Setelah Zora pergi, Luna tidak bisa menahan diri lagi. “Jadi, kau dan dia... mantan, ya?” tanyanya dengan nada santai, tetapi matanya memperhatikan setiap reaksi Xavier.
Xavier menatap Luna sekilas sebelum menjawab. “Kami pernah bersama. Itu sudah lama sekali.”
“Dan kalian masih berkomunikasi?”
“Baru-baru ini,” jawab Xavier tanpa ekspresi. “Dia butuh bantuan medis, dan aku membantunya.”
Luna mengangguk pelan, tetapi rasa penasaran itu masih mengganggunya. Ia tahu Xavier, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada sisi lain dari pria itu yang tidak ia kenal sama sekali. Kenapa Xavier tidak pernah cerita, jika dia kembali dekat dengan mantannya. Apa hubungan persahabatan mereka terlalu dangkal, hingga Xavier merasa tidak perlu terlalu terbuka pada Luna? Luna, terus saja menerka-nerka.
Setelah makan malam yang penuh tanda tanya, mereka akhirnya berpisah di depan restoran. Claire naik taksi lebih dulu, meninggalkan Luna dan Xavier berdiri di trotoar. Luna menyilangkan tangan di dada, memandangi Xavier dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Kau bisa pulang duluan kalau mau,” ujar Xavier santai sambil memeriksa ponselnya. “Aku bisa jalan sendiri.”
Luna memutar bola matanya. “Jangan terlalu percaya diri. Aku tahu jalan pulang ke apartemen lebih baik daripada kau.”
Mereka berjalan berdampingan tanpa banyak bicara. Malam itu dingin, dan suara langkah kaki mereka menjadi satu-satunya yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Xavier, yang terlihat lebih pendiam dari biasanya. Biasanya, Xavier akan menggoda atau menyindirnya, tetapi kali ini dia benar-benar tenggelam dalam pikirannya.
“Jadi,” Luna akhirnya membuka suara, “Zora. Kau tidak ingin membahas tentang dia?”
Xavier menghela napas. “Tidak ada yang perlu dibahas, Luna.”
“Oh, ayolah.” Luna berhenti di tempat, membuat Xavier terpaksa menghentikan langkahnya juga. “Kau tahu aku tidak akan berhenti sampai kau memberitahuku. Kau tahu, seperti burung kecil yang terus mencicit di telingamu.”
Xavier memandang Luna dengan tatapan lelah, tetapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya. “Zora hanyalah bagian dari masa lalu. Kami pernah bersama, itu saja.”
“Bagian dari masa lalu yang tiba-tiba muncul lagi,” Luna mengangkat alis. “Dan kau terlihat sangat nyaman bersamanya tadi.”
“Apa kau cemburu?”
Luna tertegun, lalu tertawa keras. “Cemburu? Kau serius? Xavier, kau harus belajar membaca situasi. Aku hanya penasaran, bukan cemburu.”
Xavier menatap Luna dalam-dalam, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Sebaliknya, ia mulai berjalan kembali menuju apartemen mereka. Luna mengikuti di belakangnya, sambil terus memutar-mutar pertanyaan di kepalanya.
Sesampainya di apartemen, Luna melepaskan sepatu dan melemparkannya sembarangan ke dekat pintu, sementara Xavier seperti biasa menggantung rapi jas yang ia pakai tadi.
“Kau tahu, aku bisa tidur di rumah Claire jika perlu,” sindir Luna sambil membuka mantelnya, kemudian menjatuhkan dirinya di sofa ruang tengah.
“Dan membiarkan unit ini kosong? Tidak mungkin,” jawab Xavier tanpa melihat ke arahnya. Ia menuju dapur dan mengambil sebotol air, menyesapnya perlahan sebelum bersandar di konter. “Jangan terlalu banyak berpikir tentang Zora. Dia tidak ada hubungannya dengan ini.”
Luna mendengus. “Oh, jelas ada hubungannya. Kau bahkan mengundangnya ke meja makan malam kita tanpa berpikir panjang. Claire hampir saja merasa seperti penonton, dan aku harus memutar otak agar suasana tidak terlalu canggung!”
Xavier berjalan mendekat dan duduk di kursi di dekat sofa, menatap Luna dengan tatapan lelah. “Luna, Zora butuh bantuan, dan aku membantunya. Itu saja, tidak lebih. Dan kau tahu sendirikan, tadi tempatnya belum siap. Dan menurutmu, haruskah aku biarkan dia menunggu seperti orang bodoh!”
“Tapi kau merahasiakannya dariku, Xavier!” seru Luna, sebelum menyadari bahwa kata-katanya terdengar terlalu emosional. Ia langsung mengalihkan pandangannya. “Maksudku, aku bahkan tidak tahu jika kau sedang dekat dengan seseorang sekarang. Seharusnya kau beritahu, agar Claire tidak berharap padamu."
Sebuah keheningan panjang menggantung di antara mereka. Xavier akhirnya menghela napas berat, lalu berdiri dan berjalan menuju kamarnya.
Namun sebelum ia masuk, Luna berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah. “Xav, kau tahu aturan kita, kan? Tidak ada rahasia. Apa kau benar-benar tidak melanggar itu?”
Xavier berhenti, punggungnya menghadap Luna. “Aku tahu aturannya, Luna. Aku tidak melanggarnya. Hubunganku dengan Zora, bukan ditahap yang seharusnya aku ceritakan padamu.”
Lalu ia masuk ke kamarnya, menutup pintu tanpa berkata apa-apa lagi.
To Be Continued>>>
semangaaattt ya thor