NovelToon NovelToon
2 Suami

2 Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cerai / Beda Usia / Angst
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ibu Mertua

“Mas, bisakah mengantarku ke pasar?” tanya Inaya.

“Ayo!” Weko mengambil kunci motor Inaya karena lebih nyaman membawa belanjaan nantinya.

Sebelum berangkat, keduanya melepaskan plastik yang masih membungkus motor dan segera berangkat sebelum hari semakin sore.

Di pasar, Inaya lebih dulu membeli tas belanja sebelum berbelanja. Weko mengikuti Inaya dengan membawa tas belanja. Setiap kali Inaya membeli sesuatu, ia akan memasukkannya ke dalam tas dan begitu seterusnya.

“Belanja apa lagi, Dek?” tanya Weko yang melihat tas belanja mereka sudah penuh.

“Kira-kira belikan apa untuk Ibu, Mas?”

“Tidak perlu repot-repot. Kulkas Ibu sudah penuh dengan bahan masakan.”

“Buah saja, bagaimana?” tanya Inaya yang masih merasa sungkan dengan mertuanya.

“Boleh.”

“Bua hapa, Mas?”

“Apel dan pir.”

“Mas suka buah apa?”

“Anggur.”

“Anggur hijau, merah, atau hitam?”

“Semuanya suka.” Inaya mengangguk dan berjalan ke toko buah,

Ia memilih apel, pir dan anggur, masing-masing 1 kg. Ia juga membeli jambu kristal dan alpukat masing-masing ½ kg. Setelah itu, barulah keduanya pulang.

Di perjalanan pulang, Weko mendapatkan kabar kalau Sintya telah melahirkan. Keduanya ikut Bahagia mendengar kabar tersebut dan mengatakan akan menjenguk saat Inaya libur karena besok Inaya sudah mulai bekerja.

Sampai di rumah, Inaya menata belanjaannya di dalam kulkas dan mencuci buah. Setelah selesai, ia membuka kunci pintu penghubung dan mengantarkan buah untuk ibu mertuanya.

“Permisi, Bu. Ini saya belikan buah.” Kata Inaya yang melihat Ibu mertuanya sedang memasak.

“Iya. Letakkan saja di meja!”

“Apa ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya Inaya setelah meletakkan buah di meja makan.

“Tidak perlu. Ini sudah mau selesai.”

Inaya merasa ibu mertuanya tidak begitu menyambutnya, sehingga ia memilih untuk pamit kembali ke rumah. Ia melihat Weko sedang memainkan ponselnya di ruang Tengah. Ia mendekat dan duduk di samping sang suami.

“Mas..”

“Iya, Dek.” Weko meletakkan ponselnya.

“Apa Ibu tidak setuju dengan pernikahan kita?”

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Ibu sepertinya tidak menyukaiku.” Weko menghela nafas dalam.

“Dek, abaikan saja sikap Ibu. Bukankah aku sudah mengatakan jika kamu hanya perlu berbakti kepadaku? Perlakukan ibu sewajarnya saja. Beliau hanya belum bisa menerima pernikahan kita karena aku mengurangi jatah bulanan.” Kata Weko seraya menggenggam tangan Inaya.

“Kenapa Mas tetap menikahiku jika beliau tidak suka?”

“Kamu mau aku tidak menikah selamanya?” Inaya tidak menjawab.

“Mau kamu atau Perempuan lain yang menjadi istriku, hasilnya tetap sama, Dek. Jadi jangan kamu masukkan hati. Anggaplah kita ini hidup berdua.”

Inaya mengangguk pelan. Tidak tahan dengan wajah sedih istrinya, Weko menarik tubuh Inaya ke dalam pelukannya.

Sejak sang ibu membahas masalah rasa Sukanya kepada Inaya, Weko tahu akan menjadi seperti ini. Ia tidak bisa menyalahkan sang ibu, karena memang dirinya yang secara suka rela menjadi tulang punggung keluarga setelah kecelakaan yang menimpa sang ayah.

Ia yang dulu tidak memikirkan menikah merasa biasa saja. Tetapi kini dirinya sudah menikah, ada Perempuan yang wajib ia jaga dan nafkahi, sehingga ia juga harus bisa adil membagi hasil kerja kerasnya agar tetap bisa berjalan selaras. Tinggal bagaimana sang ibu menyikapinya nanti.

“Aku mau masak, Mas.” Kata Inaya seraya melepaskan pelukan Weko.

“Tidak usah masak, bagaimana?”

“Lalu, mala mini makan apa?”

“Kita makan di luar saja! Kamu mau makan apa?”

“Ikan bakar.”

“Oke.”

Keduanya mandi bergantian dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Saat Inaya masih memasang hijabnya, Weko tiba-tiba memeluknya dari belakang. Inaya tidak menolaknya dan tetap melanjutkan memasang jarumpentul dan bros.

Setelah Inaya selesai, Weko membalik tubuh istrinya dan menyatukan bibir mereka. Semakin lama, Weko semakin memperdalamnya sampai membuat Inaya kehabisan nafas.

“Aku mengurungkan niatku untuk makan di luar.” Kata Weko saat melepaskan ciumannya.

“Kalau begitu, aku masak ya?” Weko menggeleng.

“Aku ingin memakanmu.” Inaya mengernyitkan alis tidak mengerti.

Weko tertawa melihat wajah Inaya. Ia mendaratkan kecupan di kening Inaya dan menggandengnya keluar.

Motor yang dikemudikan Weko berhenti di pelataran rumah makan seafood. Ia menggandeng Inaya masuk dan duduk di salah satu saung yang tersedia. Tak lama kemudian, seorang pegawai menghampiri mereka dan menyerahkan buku menu.

Weko memesan ikan bakar trakulu sambal mangga, cah kangkung dan tempe goreng dengan 2 porsi nasi. Untuk minum, Weko memesan 2 botol air mineral dan 2 es kelapa muda.

“Besar sekali, Mas!” kata Inaya saat pesanan mereka datang.

“Makanya aku hanya pesan satu. Ikan di sini rata-rata memiliki berat di atas 1 kg, jadi jangan terkejut.”

Keduanya memulai makan malam. Weko dengan telaten memisahkan daging dengan duri dan meletakkannya di piring Inaya. Perlakuan manis Weko membuat Inaya tersenyum dan merasa dicintai. Bahkan pengunjung yang ada di saung sebelah mereka memperhatikan kebersamaan keduanya.

Selesai makan, keduanya tidak langsung pulang, melainkan duduk bersantai sambil menikmati es kelapa muda. Inaya sesekali membuka ponselnya untuk membalas pesan. Weko tidak mempersalahkannya dan memilih memainkan ponselnya.

Tetapi ketika Inaya tersenyum saat melihat ponselnya, barulah ia bertanya.

“Ini.” Inaya memperlihatkan chat yang sedang ia lakukan dengan Farit.

“Siapa?”

“Farit. Temanku dari sejak TK sampai sekarang, Mas.” Weko menganggukkan kepalanya.

“Dia tidak bisa datang kemarin karena tidak bisa pulang, makanya mengirimkan uang sumbangan via transfer.”

“Apa kalian pernah..”

“Tidak, Mas.” Sela Inaya yang bisa menebak pertanyaan suaminya.

“Syukurlah..” Weko tersenyum.

“Aku tidak pernah berpacaran dengan siapapun, Mas. Farit adalah satu-satunya teman laki-laki yang dekat denganku. Dan dia tidak akan menjadikanku pacarnya karena aku bukan typenya.”

“Memangnya type yang dia sukai seperti apa?”

“Perempuan dengan tinggi 140-145 dengan berat badan 50 kg.”

“Hah?”

Inaya tersenyum dan mengajak Weko untuk pulang karena sudah pukul 8 malam. Saat pulang, Weko singgah di gerobak martabak untuk membeli martabak telur.

Ketika sampai rumah, Weko mengantarkan martabak tersebut ke rumah untuk adik-adiknya. Inaya tersenyum melihatnya. Weko yang mengatakan untuk memperlakukan ibunya dengan sewajarnya, ternyata sangat menyayangi adik-adiknya.

Selesai melaksanakan sholat isya’, keduanya merebahkan tubuh mereka di tempat tidur. Waktu keduanya bersama akan berkurang karena Inaya sudah mulai bekerja besok.

“Mas besok ada acara?” tanya Inaya.

“Tidak ada. Hanya antar jemput kamu saja.”

“Mas tidak mau cari kegiatan?”

“Maksudnya?”

“Bukankah membosankan menunggu waktu bertemu tanpa melakukan apapun?”

“Benar juga! Biasanya aku hanya bermalas-malasan di rumah jika tidak berangkat miyang. Apa aku harus mulai berolahraga?”

“Mas tidak pernah berolahraga?” tanya Inaya memiringkan tubuhnya menghadap suaminya.

“Tidak pernah.”

“Tapi bagaimana bisa tubuh Mas terbentuk seperti ini?”

“Otot ini terbentuk karena pekerjaanku, Dek. Menarik jangkar, jaring, mengangkat barang, berenang dan lain-lain.”

“Berenang juga olahraga, Mas.”

“Berenang di laut itu berbeda dengan berenang di kolam, Dek. Kebanyakan mereka yang bisa berenang di laut, tidak bisa berenang di kolam karena terbiasa dengan arus laut. Kamu bisa berenang?” Inaya menggeleng.

“Kapan-kapan aku akan mengajarimu.” Inaya mengangguk tersenyum.

Seketika senyuman Inaya membangunkan macan yang tidur. Segera saja keduanya berangkat mendaki sampai akhirnya berhenti karena Inaya harus bekerja besok.

.

.

.

.

.

Maaf telat 🙏🏻

1
kalea rizuky
lanjutnya man
Meymei: Siap kakak 😁
total 1 replies
indy
jadi ikutan pengin lobster
indy
semangat kakak
Meymei: Semangat 🙏🏻
total 1 replies
indy
masih yang manis manis
indy
serasa di jawa
indy
adat Jawanya gak terlalu beda kok, terutama untuk rakyat biasa. ada piring terbang juga
Meymei: Beda dikit ya kak 😁
total 1 replies
Susanti
bagus lanjut
indy
semangat kaka
Meymei: Terima kasih, kakak 🥰
total 1 replies
indy
keren, sekarang edisi budaya jawa ya
Meymei: Cmiiw ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!