"Kamu manggil dosen kamu abang?!"
"Iya, gimana dong. Gak sengaja."
"Mampus Elvia, kuliah kamu kayaknya gak bakal tenang." Emang salah curhat sama Devi, bukannya bantuin cari solusi malah diketawain.
---
"Nanti saya telat, Pak. Saya gak mau dimarahin sama dosen saya. Dosen saya galak."
"Dosen kamu itu saya, Elvia."
"Ntar boss saya marahin saya lagi. Boss saya juga galak!"
"Harus berapa kali saya bilang ke kamu?" Elvia tertawa melihat wajah kesal Arfa.
"Saya bossnya, Elvia!"
---
Kisah tentang Elvia, mahasiswi yang hobi nitip absen. Lalu Arfa, dosen mulut samyang yang karena satu dan lain hal dipanggil abang oleh Elvia.
Mampir dulu yuk, siapa tahu nyantol. Cerita tentang dosen memang banyak, tapi cerita ini dijamin mampu membuat kalian menahan kesal saking gemasnya. Happy Reading!
Update seminggu dua kali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juliahsn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ganti Jadwal Seenaknya
Sudah kurang lebih 30 menit aku duduk diam karena sudah menyelesaikan tugas rekap nilai yang lumayan memusingkan.
Ngeselinnya itu Pak Arfa cuman ngomong, "sudah? yaudah. duduk aja." Tapi aku ga tahu kalau aku bakal disuruh duduk selama itu.
"Pak. Saya tuh udah selesain semua tugas rekap nilai. Jadi, saya disini tuh ngapain?!" Omelku sembari menatap Pak Arfa dengan tatapan tajam. Lebih tajam dari silet.
"Temani saya." Jawabnya singkat.
Aku menghembuskan napasku dengan keras, "Pak, ini bentar lagi kelas bapak loh. Saya belum makan siang. Ngapain coba saya duduk cantik disini?"
Pak Arfa pun menghentikan gerakan pada tangannya yang sedari tadi berkutat dengan tumpukan kertas yang entah apa itu, "Ini jam berapa?"
"Udah mau jam 12." Jawabku lesu.
"Masih ada satu jam. Kamu mau makan dimana?" Tanya Pak Arfa yang membuatku sedikit melongo.
Aku mengerjapkan mataku perlahan tanda masih belum bisa mencerna sepenuhnya ucapan dari Pak Arfa, "Siapa yang ngajak bapak makan siang?"
"Saya. Saya yang ngajak kamu."
Aku memandang Pak Arfa dengan tatapan "serius nih?" Tapi ternyata aku tidak menemukan tanda-tanda raut wajah ngelawak Pak Arfa.
"Pak, saya serius ih. Saya laper, Pak. Lagian tugas saya kan udah selesai semua."
"Yasudah, kalau kamu tidak mau ikut. Tolong rapikan berkas-berkas saya yang disebelah sana." Pak Arfa menunjuk tumpukan kertas yang berserakan. Parahnya, sepertinya kertas-kertas itu sudah memenuhi meja dengan jumlah yang pastinya berpuluh-puluh lembar.
"Pak.." aku memasang muka lemas berharap Pak Arfa setidaknya akan sedikit lunak.
"Kenapa? Saya cuman ajak kamu makan." Nanti kalau dilihat anak-anak yang lain gimana? Nanti aku dapat hadiah dari para Arfalovers.
Ga mau lah aku nambah masalah.
"Saya bawa makanan saya sendiri, Pak." Sebenarnya sih iya. Demi menghemat, aku bawa makanan yang aku masak sendiri.
Kayak hari ini aku cuman bawa nasi goreng. Poor my cooking skill.
"Mana?" Tanya Pak Arfa.
"Ngapain nanya mana?" Tanyaku balik.
"Saya juga lapar lah."
Oh my god, untung dosen. Kalau gak, udah aku maki-maki kali.
Dengan sangat terpaksa aku mengeluarkan kotak makan yang emang porsinya itu cukup berlimpah untuk satu orang.
Ya, gimana. Walaupun berat badanku tidak bisa dibilang gendut-gendut amat. Tapi aku memang punya bentuk tubuh yang bisa dibilang gendut enggak dibilang kurus juga enggak. Tapi sekarang lagi on the way gendut sih habis aku ga bisa kontrol porsi makan.
"Pak, pelan-pelan ih makannya." Ucapku saat melihat Pak Arfa memakan nasi goreng buatanku dengan sangat lahap. Lebih tepatnya kayak orang belum makan 3 hari.
"Saya belum makan seharian."
"Ini aja baru jam 12an, Pak."
"Saya kemarin cuman makan siang. Ga sempat makan lagi sampai sekarang." Jelas Pak Arfa.
"Gila ya Pak? Kenapa gak makan? Ih, nanti sakit tau rasa. Lagian ya Pak, sesibuk-sibuknya bapak. Mana boleh sampe skip makan." Mulut tak terkontrolku pun mulai beraksi. Ngatain orang gila lah, apalah, karena tidak bisa jaga pola makan.
Kayaknya itu sudah jadi kebiasaan kalau aku terlalu perhatian sama orang-orang yang aku kenal.
Makanya kadang sering disalahpahami.
"Nenek saya aja gak seribet kamu." Jawab Pak Arfa sambil mengunyah nasi goreng yang sudah habis setengah porsi lebih.
"Yaudah, makan gih Pak. Kasihan saya lihat bapak." Jawabku pasrah kalau bekalku dihabisin.
"Katanya kamu laper?"
"Lihat bapak saya kenyang."
Pak Arfa tampak tak menyaut dan malah fokus dengan nasi goreng.
Yaahh.. dikacangin. Masa aku kalah sama nasi goreng sih?!
"Pak.." aku mengetuk-ngetuk meja sembari mengusir rasa bosan.
Tapi naas, Pak Arfa tetap fokus makan.
"Pak, cecan masa dianggurin."
Pak Arfa mengangkat sebelah alisnya, "Kamu? Cantik?"
Aku menganggukan kepalaku tanda menyetujui ucapan Pak Arfa.
"Mimpi."
Inget, Elvia. Kamu harus sabar dan tabah dalam menghadapi your annoying dosen ini. Eh, kok your sih? Berarti mine dong. Gaa lah! Otak aku lagi ngedet nih.
"Kenapa? Saya ganteng? Iya saya tahu. Tapi gak usah ngelihatin kayak gitu."
"Pede amat sih, Pak."
"Oh, kuping saya gatel kamu panggil Pak. Kenapa gak panggil Bang lagi?" Pak Arfa mengingatkanku pada insiden gila waktu itu.
"Heheh, mau banget nih bapak dipanggil abang? Abang tukang bakso mari mari sini. Aku mau beli." Ini aku lagi ngeguyon loh. Tapi kok rasanya kayak ada yang aneh. Raut wajah Pak Arfa malah berubah jadi tambah serem.
"Sekali lagi."
Hah? Sekali lagi?
"Abang.."
"Oke. Tugas kamu saya perpanjang."
"Hah? Apanya?"
"Besok kamu ada jadwal kuliah Bu Siti kan?"
Eh, kok Pak Arfa tahu jadwal aku sih.
Aku mengangguk, "Iya. Terus?"
"Besok kamu ga perlu ke kampus. Saya jemput kamu jam 8 pagi. Temani saya menghadiri seminar."
Apa apaan ini?
Tidak mau!!!
Besok kan niatnya ga ngampus. Cuman mau nitip absen doang.
Sirna sudah bayang-bayang santai di rumah kayak di pantai.
Jam 8? Berarti jam 7an udah harus siap-siap? Seminar? Berarti harus duduk anteng gitu?
Oke fix! Bencana!
"Pak.." ucapku memelas.
"Salah kamu tidak sopan dengan dosen."
"Kan bapak sendiri yang mau dipanggil abang."
"Coba ulangin?"
"Iya deh. Salah saya aja semua Pak."
Pak Arfa seperti tersenyum penuh kemenangan, "Bagus."
Pak Arfa pun segera mengambil tas laptopnya dan menenteng beberapa buku di tangan kanannya.
"Mau kemana Pak?"
"Ngajar. Kamu mau telat ke kelas saya lagi kan?"
"Hahh? Engga lah Pak." Aku pun sudah siap-siap mengambil ancang-ancang untuk berlari menuju kelas.
Tapi suara Pak Arfa menginterupsi langkahku, "Kamu lihat saya bawa barang banyak? Sebagai asisten dosen kamu tidak ada niat buat bantu saya?"
Oke. Salah lagi salah lagi.
Aku aja terus gitu yang salah.
Dosen selalu benar.
Kalau salah?
Berarti dosen selalu pasti benar.
perasaan dulu pertama ketemu panggil Abang fotocopy 🤔