Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Motor sport hitam Rey berhenti mendadak di depan lobi Rumah Sakit Sari Berkah. Nalea segera turun, kakinya yang pincang nyaris membuatnya terjatuh jika ia tidak segera berpegangan pada tiang terdekat.
Belum sempat Nalea meluruskan punggungnya, Azlan sudah muncul dari pintu otomatis, matanya yang tajam langsung menangkap sosok Nalea. Tanpa basa-basi, Azlan bergegas menghampiri dan langsung menarik pergelangan tangan Nalea.
“Cepat! Ikut aku!” Azlan menarik Nalea begitu kasar, mengabaikan rintihan tertahan Nalea karena langkahnya yang terhuyung dan pergerakan mendadak pada kakinya yang pernah cedera.
Rey, yang baru memarkirkan motornya, bergegas menyusul dari belakang.
Nalea kebingungan, tetapi melihat wajah panik Azlan, ia tahu ini bukan saatnya bertanya. Ia hanya mengikuti tarikan kuat itu.
Mereka tiba di unit bank darah. Seorang analis berseragam biru menyambut mereka dengan wajah khawatir.
“Ini gadisnya. Golongan darahnya AB. Ambil saja sesuai kebutuhan,” ucap Azlan dingin, suaranya dipenuhi otoritas, tanpa sedikitpun meminta persetujuan Nalea.
Nalea menghela napas pasrah. Dia tahu. Tentu saja, ia diminta mendonorkan darahnya untuk Sisilia. Meskipun ia benci, rasa kemanusiaan dan setitik harapan untuk diterima keluarga mendorongnya.
Analis itu menatap Nalea, lalu ke Azlan dengan ekspresi ragu. “Hanya satu orang, Pak? Tapi pasien atas nama Sisilia memerlukan empat kantung darah, itu tidak akan cukup jika hanya satu orang yang mendonorkan darahnya.”
Azlan menatap analis itu dengan tatapan angkuh khas keluarga bangsawan. “Ambil semua darah yang diperlukan dari gadis ini. Pastikan cukup untuk adik saya.”
“T-tidak bisa, Pak,” sang analis menggeleng cemas. “Maksimal, satu orang hanya boleh mendonorkan dua kantung darah saja. Jika berlebihan, itu akan sangat berbahaya bagi nyawa pendonor.”
Wajah Azlan memerah karena marah. “Jangan banyak omong! Memangnya nyawa adik saya tidak penting? Lakukan, atau kamu akan kehilangan pekerjaan ini!”
Analis itu menunduk, pasrah. Berhadapan dengan keluarga Hersa sama saja mempertaruhkan masa depan. Dia mempersilakan Nalea untuk berbaring.
Tiba-tiba, suara Rey yang biasanya tenang, kini meninggi.
“Tuan Azlan, Nalea juga adik kandung Anda. Apa Anda tidak peduli dengan nyawanya?” Rey melangkah maju, tangannya mengepal.
Azlan menoleh cepat, tatapan jijik ditujukan pada Rey. “Diam! Jangan ikut campur urusan keluarga saya! Anda orang luar, tidak berhak berkomentar!”
Rey hendak membalas, tetapi Nalea yang sudah berbaring di ranjang donor, memberikan isyarat mata. Tatapan Nalea menyiratkan permohonan agar Rey tidak ikut campur. Aku baik-baik saja, seolah Nalea berkata.
Rey terpaksa mundur. Ia berdiri di luar ruangan donor, menunggu dengan cemas. Ia tidak menyangka Nalea diperlakukan seburuk ini oleh keluarganya sendiri, bahkan nyawanya nyaris dipermainkan.
Ruangan donor terasa sunyi, hanya terdengar suara monitor detak jantung yang monoton dan desisan pelan dari alat transfusi. Nalea sudah berbaring di ranjang, jarum tebal menancap di lengan kirinya, dan selang transparan membawa darah merahnya menuju kantung yang menggantung di samping. Wajahnya pucat pasi, namun ia berusaha keras untuk tetap tenang.
Azlan berdiri di dekat kaki ranjang. Tangannya dimasukkan ke saku celana mahalnya, tubuhnya tegap dan angkuh. Matanya tidak tertuju pada Nalea sedikit pun, melainkan menatap lurus ke dinding putih seolah sedang melihat pemandangan yang lebih menarik.
“Tiga kantung,” desis Azlan, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia bicara pada Nalea, tetapi nadanya lebih mirip perintah yang diarahkan ke udara.
Nalea memejamkan mata, menahan perih. “Aku dengar, Kak. Tidak perlu diulang.”
“Kau beruntung, Nalea,” kata Azlan, nadanya dingin dan hampa, jauh dari kata bersyukur.
Nalea membuka mata, menatap punggung kakaknya. “Beruntung?”
Azlan akhirnya menoleh sedikit, hanya sebentar, dan tatapan itu penuh dengan penghinaan yang menusuk.
“Ya. Beruntung,” ulangnya, suaranya tajam. “Bayangkan. Darahmu yang… yang sudah tercemar dengan virus kejahatan, darah yang sudah menyaksikan segala macam hal kotor di jalanan, sekarang berguna untuk menyelamatkan hidup Sisilia.”
Nalea merasakan hatinya teriris. Air mata yang tadi ia tahan, kini mendesak keluar. Darah yang tercemar.
“Aku harap,” Azlan melanjutkan, kini kembali membuang pandangannya ke jendela, “setelah Sisilia mendapatkan darahmu, sifat buruk dan tingkah liar yang kau bawa tidak akan menular padanya. Sisilia adalah gadis baik-baik. Dia orang baik.”
Nalea terisak pelan, air mata mengalir ke pelipisnya. Kata-kata Azlan lebih menyakitkan daripada pukulan kayu kemarin, lebih membakar daripada segala perhatian yang direbut Sisilia. Darahnya, bagian paling murni dari dirinya, disebut kotor.
“Aku… aku hanya ingin Sisilia selamat, Kak,” bisik Nalea, suaranya sangat lemah. “Aku tidak pernah ingin mencelakainya.”
Azlan mendengus meremehkan. “Cukup. Jangan bersikap sok suci. Kami tahu niatmu sejak awal datang ke sini. Sekarang lakukan tugasmu. Setelah ini selesai, jauhi Sisilia. Jangan pernah mendekatinya lagi. Tidak ada utang budi antara kamu dan Sisilia setelah ini.”
Nalea menoleh ke selang transfusi yang menghubungkan darahnya dengan nyawa Sisilia. Darahnya mengalir, meninggalkan tubuhnya, tetapi ia tidak merasakan kelegaan. Yang ia rasakan hanyalah kekosongan dan kepedihan yang menyayat.
“Bahkan saat aku menyelamatkan nyawa Sisilia , aku tetaplah sampah di mata mereka.”
Nalea menutup mata rapat-rapat, membiarkan selang transparan itu menguras habis darahnya, seolah ia ingin darah itu membawa pergi semua sisa harapan dan kasih sayang yang pernah ia simpan untuk keluarga ini.
Di luar, Rey melihat dari celah kecil jendela, wajahnya mengeras melihat betapa kejamnya perlakuan Azlan pada adik kandungnya sendiri.
Waktu terasa sangat lambat. Detik demi detik berlalu, terasa mencekik Rey. Satu jam kemudian, pintu ruangan donor terbuka.
Nalea keluar. Wajahnya sangat pucat, bibirnya nyaris tanpa warna. Dia dipapah oleh sang analis yang terlihat sangat menyesal.
“Pak,” bisik analis itu pada Rey, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Tolong pantau kondisi Mbak Lea. Ini obat penambah darahnya. Maaf, saya tidak bisa mencegahnya karena saya hanya karyawan di rumah sakit ini. Mereka memaksa mengambil tiga kantung.”
Rey menerima obat dan bungkusan kapas. Ia mengangguk. “Saya mengerti. Terima kasih, Sus.”
Rey segera memegang tubuh Nalea. Tubuh Nalea terasa sangat lemas dan berat. Rey membantunya duduk di kursi tunggu terdekat.
Nalea bersandar di sandaran kursi, memejamkan mata. “Mr. Rey…” Suaranya sangat lemah. “Kepalaku sakit dan sangat lemas.”
Rasa panik mencengkeram Rey. Ia tidak pernah melihat Nalea selemah ini. “Maaf, Nalea, maaf… aku tidak bisa berbuat apa-apa.” Rey dengan hati-hati menaruh kepala Nalea di pahanya, mengusap dahi gadis itu dengan lembut.
“Mr. Rey, kok dingin sekali di sini. Apa AC-nya menyala terlalu kencang?” tanya Nalea. Tubuhnya mulai menggigil hebat. Kedua tangannya menggenggam erat lengan Rey.
Rey segera menyadari, tubuh Nalea menggigil bukan karena AC.
Cepat-cepat, Rey melepas jaket kulitnya jaket khas yang selalu ia kenakan dan menyelimuti tubuh Nalea. Ia menunduk, melihat wajah Nalea yang semakin pucat. Air matanya tak kuasa tertahan, menetes di pipi Nalea.
“Nalea, jangan tidur. Tolong, tetap buka matamu,” Rey memohon.
Nalea berjuang membuka matanya yang terasa berat. Pandangannya mulai kabur. “Kok lampunya mulai redup, ya? Rusak ya? Jadi gelap, Mr. Rey. Lea tidak bisa melihat apa-apa…”
Rey menyadari sesuatu yang sangat salah. Pupil mata Nalea membesar dan responsnya melambat. Pendarahan berlebihan telah memicu shock pada tubuh Nalea.
“Tidak, Lea. Bangun, Nalea!” Rey menepuk pipi Nalea dengan lembut, berusaha membuatnya tetap terjaga.
Namun, Nalea tidak merespons. Wajahnya semakin memucat, bibirnya membiru, dan Rey merasakan dahi Nalea panas menyengat, kontras dengan tangannya yang terasa sedingin es.
“Tolong! Dokter! Suster! Tolong!” teriak Rey panik, memeluk tubuh Nalea yang semakin lemas di pangkuannya.
“Nalea! Bangun… bangun… bangun, Lea!” Rey memohon, mengguncang tubuh Nalea. Namun, Gadis itu tetap terdiam, terkunci dalam kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti kesadarannya.
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬