NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Seiring Waktu / Romansa / CEO
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rienss

“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CEO kita, Kakakku

“Dia itu karyawan baru, Bang. Anak buahnya Andri.” Dirga menjawab pertanyaan Alan tapi matanya belum beralih dari pintu kaca yang barusaja tertutup, meskipun punggung Tara sudah tak terlihat.

Alan melipat tangan di depan dada dengan mata menyipit memperhatikan sang adik. “Abang penasaran secantik apa dia sampai berhasil membuatmu bengong begitu.”

Dirga menoleh cepat, seketika ekspresinya berubah defensif. “Siapa yang bengong? Aku hanya... ya... memastikan dia tidak salah jalan saja.”

Alan mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Hmm, memastikan tidak salah jalan, ya?” gumamnya tak percaya. Ia lalu melangkah lagi melewati Dirga begitu saja tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut.

Dirga mendengus. “Hey, Bang... aku serius,” ujar Dirga mengikuti langkah sang abang. Ia sempat meninju pelan lengan Rico yang tak salah apa-apa, membuat asisten Alan itu meringis.

“Dasar gila kamu, Ga,” gumam Rico kesal sambil mengusap lengannya.

“Gadis itu bahkan sempat bingung pakai lift.” Dirga bersikeras membela diri. “Jadi ya... aku cuma khawatir saja dia salah jalan dan kesasar di gedung sebesar ini. Itu saja”

“Co, besok pagi siapkan surat mutasinya ke bagian resepsionis,” ujar Alan tanpa menoleh seikitpun. “Biar dia yang akan memandu setiap karyawan baru yang datang agar tidak kesasar.”

Rico nyaris tak bisa menahan tawa, tapi ia tetap mengangguk patuh, ia sempat melirik ke arah Dirga dengan ekspresi mengejek, seolah tatapannya itu berkata, ‘Posisi itu memang cocok untukmu, playboy.’

Dirga memutar bola mata lalu mendengus pelan dan memilih bungkam. Sementara Alan dan Rico terus melangkah menjauh menuju basement. Tapi tanpa alasan yang jelas, Alan tiba-tiba melirik ke arah pintu kaca itu.

Sementara itu, Tara barusaja meninggalkan gedung perkantoran Zeal Industries tempatnya bekerja dengan membonceng motor matic milik Fifi. Kuda besi itu melaju santai, menyusuri jalanan ibukota yang lumayan ramai.

“Capek, Ra,” tanya Fifi sambil melirik lewat kaca spion.

“Banget...,” sahut Tara yang kemudian menyandarkan kepala di punggung Fifi sedang kedua lengannya ia lingkarkan di pinggang sahabatnya itu. Kepalanya terasa berat dan tubuhnya pegal-pegal semua.

Motor mereka berhenti di lampu merah dekat perempatan besar. Dari arah yang sama, sebuah mobil hitam berhenti di lajur sebelah, hanya terpisah oleh sebuah motor yang berhenti di samping motor mereka.

Di balik kaca mobil itu, Alan duduk diam. Satu tangan bertengger di kemudi, sedang tangan lainnya memegang ponsel yang menampilkan pesan dari Lira yang belum sempat ia balas.

Ia sempat menoleh ke arah jalanan, namun hanya sekilas saja sebelum akhirnya kembali fokus dengan kemudinya, lampu hijau telah menyala kembali.

Motor Fifi melaju perlahan, diikuti kemudian oleh mobil Alan yang berbelok ke arah lain. Keduanya berlalu dalam diam tanpa menyadari pertemuan singkat itu.

*

Keesokan harinya, Tara tiba di kantor lebih awal. Seperti ucapan Pak Andri kemarin, hari itu ia dan Sena ditugakan ke salah satu kantor anak cabang perusahaan untuk membantu cross-check hasil audit internal.

Sekitar pukul sembilan, mereka sudah berada di mobil dinas menuju lokasi. Obrolan ringan seputar prosedur audit dan pembagian tugas menjadi teman perjalanan mereka.

Tara mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan yang diberikan Sena, sesekali ia mencacat poin pentingnya di buku kecil. Bagi Tara, tugas kali ini cukup penting, karena ini kesempatan pertamanya ikut turun langsung ke lapangan.

Begitu tiba di sana, kedua gadis itu langsung disambut tumpukan dokumen dan staf yang tampak kewalahan. Mereka seperti orang-orang yang tidak tidur berhari-hari.

Tara dan Sena pun segera bekerja. Tara menyesuaikan diri dengan cepat. Meskipun ini pertama kalinya ia terjun langsung, ia tampak tenang dan terampil, membuat Sena sesekali mengangguk kagum.

Menjelang petang, berkas terakhir akhirnya selesai mereka periksa. Tara merenggangkan otot-otot tubuhnya sambil menghela napas panjang. “Akhirnya selesai juga.”

Sena tersenyum lalu menepuk bahu Tara ringan. “Kamu hebat Tara. Kupikir akan butuh waktu lebih lama bekerja dengan anak baru.”

Tara tertawa kecil. “Justru aku harusnya yang berterima kasih karena Kak Sena mau mengajariku dengan sabar,” sahut Tara.

Mereka membereskan meja dan bersiap pulang. Beberapa staff anak cabang turut membantu mengembalikan berkas-berkas ke rak.

Ketika Tara dan Sena menyusuri koridor kantor menuju lobby, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil dari arah belakang.

“Hey, kalian...”

Tara dan Sena menoleh bersamaan, sedikit terkejut melihat keberadaan Dirga di sana. Keduanya lalu menunduk hormat pada pria itu.

“Tugas kalian sudah selesai?” tanya Dirga jarak mereka sudahcukup dekat. Ia menatap kedua gadis itu satu per satu.

“Sudah, Pak,” jawab Sena sopan.

Dirga melirik arlojinya. “Kalau begitu ikut saya saja pulangnya,” ujarnya. “kebetulan urusan saya di sini juga suah selesai.”

Sena dan Tara saling pandang sebentar sebelum Sena mengangguk cepat. “Terima kasih kalau begitu, Pak,” ucap Sena menjawab. Ada semaca kegembiraan tersirat di wajahnya mendapat tawaran itu, jarang sekali ada karyawan yang bisa nebeng mobil ewah milik atasan.

Lain halnya dengan Tara yang tampak ragu, Ia menarik-narik ujung blouse Sena seolah mencari alasan untuk menolak.

Dirga menyadari itu, satu alisnya terangkat. “Kenapa, Tara? Kamu keberatan?”

“B_bukan begitu, Pak. Saya...”

“Kamu dijemput temanmu lagi?”

Tara menggeleng cepat. “T_tidak, Pak.”

“Ya sudah kalau begitu ikut mobilku saja.” putus Dirga saat itu juga.

Pada akhirnya Tara tak punya pilihan selain mengangguk setuju. Mereka pun berjalan beriringan menuju area parkir bawah tanah tempat mobil sport hitam Dirga terparkir.

Sena duduk di kursi depan, sementara Tara duduk di belakang tepat di belakang kursi pengemudi.

Awal perjalanan  suasana di dalam kabin terasa hening. Hanya terdengar desisan pendingin udara dan suara klakson kendaraan lain di luar sana.

Dirga dan Sena berbincang ringan tentang pekerjaan, sementara Tara hanya mendengarkan tanpa banyak ikut bicara. Gadis itu lebih sering menatap ke luar jendela.

Di sebuah persimpangan besar, mobil Dirga menepi. Sembari melepas seat belt yang dikenakannya, sena menoleh ke belakang.

“Ra, aku turun duluan, ya. Cowokku nunggu di depan.”

Tara sempat melirik ke depan dengan ekspresi sedikit panik.

“Iya, Kak. Hati-hati,” ujarnya menutupi kegugupannya dengan senyum sopan.

Begitu Sena turun dan pintu mobil kembali tertutup, kesunyian kabin semakin terasa.

Tara meremas jemariya di pangkuan sementara jantungnya berdetak mulai  tak beraturan. Bayangan kejadian kemarin di ruangan Dirga kembali menyeruak di benaknya, membuatnya takut.

“Kamu tinggal di mana, Tara. Biar saya antar sekalian,” ujar Dirga sambil melirik lewat kaca tengah.

Tara menelan ludah. “Saya... saya turun di depan saja, Pak. Di Halte.”

Kening Dirga mengerut, ia lalu menoleh sedikit. “Kenapa turun di Halte? Kan sudah saya bilang saya yang antar.”

“T-tidak apa-apa, Pak. Rumah saya agak jauh, takutnya malah muter jalannya.”

Dirga tidak langsung menjawab. Ia menatap Tara beberapa detik lewat spion, lalu berkata pelan, “Pindah ke depan.”

Tara terkejut. “M_maaf, Pak?”

“Pindah duduk ke depan,” ulang Dirga, kali ini lebih tegas. “Saya tidak nyaman bicara dengan orang yang duduk di belakang, apalagi cuma berdua di mobil.”

Tara sempat bingung, tapi akhirnya menurut. Dengan kikuk, ia membuka pintu dan berpindah ke kursi penumpang depan.

Mobil kembali melaju. Tak ada percakapan selama beberapa menit, hanya suara mesin dan deru lalu lintas. Sampai akhirnya...

krukkk...

Tara menegang. Ia tahu suara itu datang dari perutnya. Wajahnya langsung memanas dan berharap Dirga tidak mendengar.

Sayangnya, pria itu sudah menoleh singkat dengan senyum samar yang sulit dibaca.

Dirga tidak berkata apa-apa, tapi arah mobil tiba-tiba berubah. Tara sempat melirik bingung ketika mobil berbelok ke area rest area kecil di pinggir jalan, di mana deretan kedai cepat saji berjajar.

“Kita take away saja,” ucap pria itu sebelum akhirnya turun dari mobil dan melangkah ke salah satu kedai.

Beberapa menit kemudian, ia kembali ke mobil membawa dua kantong kertas makanan cepat saji. Ia menyerahkan satu kepada Tara. “Kita makan dulu, aku juga sudah mulai lapar.”

Meski ragu, Tara akhirnya menerima kantong itu.

Beberapa menit awal, mereka makan dalam suasana hening, hanya ditemani musik jazz yang mengalun dari perangkat audio mobil.

Namun perlahan, kesunyian itu mulai mencair. Dirga membuka percakapan ringan, menanyakan hasil kerja Tara di kantor cabang. Setelah itu, obrolan bergeser ke hal-hal kecil, tentang kopi kantor cabang yang rasanya terlalu pahit, dan pelayan kedai yang menurut irga terlalu ramah.

Gaya Dirga yang kadang slengekan membuat Tara sempat tertawa kecil dan hampir tersedak. Pria itu pun buru-buru menyodorkan air mineral.

“Aku tidak bohong, Tara. Wanita tadi benar-benar bersumpah akan memberiku semua peternakan sapi miliknya jika aku mau jadi menantunya. Dia bahkan sempat minta nomor ponselku tadi, untungnya tidak aku kasih.”

“Kenapa tidak Bapak sanggupi saja? kan lumayan jadi juragan sapi, Pak?”

Dirga tertawa, lalu menatap Tara sekilas dengan mata berkilat geli. “Kalau aku jadi juragan sapi, aku pasti dimarahin habis-habisan.”

“Dimarahi?” dahi Tara berkerut heran. “Sama siapa?”

“CEO kita, kakakku tersayang,” jawab Dirga santai sambil membuka tutup minuman kalengnya. “Dia itu tipe orang yang kaku dan perfeksionis. Semua harus masuk akal, semua harus punya rencana.”

Tara mengangguk-angguk. Sena dan Rio pernah bercerita padanya tentang sosok CEO mereka di kantor, yang konon katanya jika pria itu tidak menyukai kinerja salah satu karyawannya, maka karyawan itu akan langsung dipecat saat itu juga.

1
Rahmat
Dirga rebut tara dr pria pengecut seperti alan klau perlu bongkar dirga biar abang mu dlm masalah
Rahmat
Duh penasaran gimana y klau mrk bertemu dgn tdk sengaja apa yg terjadi
ida purwa
nice
tae Yeon
Kurang greget.
Rienss: makasih review nya kak. semoga kedepan bisa lebih greget ya
total 1 replies
minsook123
Ngakak terus!
Rienss: terima kasih dah mampir kak. Salam kenal dan semoga betah baca bukuku ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!