Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ridho yang tertunda
Syahnaz baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih agak basah. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap pergelangan kakinya yang tampak membiru.
Pelan-pelan ia memijitnya sendiri sambil meringis kecil.
Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan.
“Assalamu’alaikum… masih sakit kakinya, Kak?” suara lembut Ummi Ikrimah terdengar dari balik pintu.
“Wa’alaikumussalam, iya Ummi… masih agak sakit. Nih, biru ternyata,” jawab Syahnaz sambil menunjuk bagian kakinya dengan wajah cemberut.
Ummi masuk perlahan, membawa minyak kayu putih di tangan. “Sini, Ummi pijitin ya. Biar agak mendingan. Tadi nggak shalat, Kak?” tanya Ummi sambil duduk di samping anaknya, mulai memijat pelan.
“Aduhh… pelan-pelan, Ummi. Sakit…” ringis Syahnaz.
“Syahnaz haid, Ummi. Tadi pagi pas mau shalat dhuha, eh… malah keluar darah,” lanjutnya lirih.
Ummi tersenyum kecil, mengangguk lembut. “Nggak apa-apa, Nak. Ibadah itu banyak bentuknya. Kadang Allah kasih waktu buat istirahat, bukan berarti kita jauh dari-Nya,” ucapnya sambil mengusap kepala Syahnaz dengan penuh kasih.
Hening sejenak.
Suara angin malam berdesir dari jendela yang sengaja di buka, Syahnaz menatap lantai, lalu menarik napas dalam-dalam.
“Ummi…” panggilnya pelan.
“Hmm?”
“Aku… aku pengin kerja, Ummi. Buat nabung. Biar bisa lanjut kuliah ke Kairo,” ucapnya akhirnya, suaranya bergetar menahan emosi.
Ummi terdiam. Tangannya yang tadi memijat berhenti. Ia menatap wajah anaknya dengan mata berkaca-kaca.
“Kerja, Nak? Syahnaz yakin?” tanyanya pelan.
Syahnaz mengangguk mantap. “Iya, Ummi. Aku tahu sekarang keadaan kita berat. Abiy udah nggak ada, Ummi juga masih harus jualan kue tiap hari… Aku nggak mau cuma diam, Ummi. Aku pengin bantu, dan aku juga pengin wujudin cita-cita Abiy yang dulu selalu bilang, ‘Nanti Syahnaz harus jadi wanita berilmu yang manfaat untuk umat.’”
Suara Syahnaz mulai bergetar. “Aku pengin terusin mimpi itu, Ummi. Walaupun caranya nggak gampang.”
Air mata Ikrimah akhirnya jatuh. Ia menunduk, menatap anaknya dengan penuh rasa bersalah.
“Ummi sedih, Nak… sedih bukan karena Syahnaz mau kerja, tapi karena Ummi belum bisa ngasih apa yang Abiy janjikan buat kamu.”
“Jangan bilang gitu, Ummi…” Syahnaz langsung memeluk ibunya erat. “Ummi udah cukup banget buat aku. Ummi yang paling kuat. Ummi yang nggak pernah nyerah. Kalau nggak ada Ummi, aku mungkin udah nyerah dari dulu.”
Suasana kamar menjadi haru.
Tangis kecil terdengar di antara doa-doa yang mereka ucapkan dalam hati.
“Bismillah ya, Ummi,” ucap Syahnaz dengan senyum kecil. “Kalau Allah mengizinkan, insyaa Allah aku bisa sampai Kairo. Aku yakin, asal aku niat karena Allah, pasti Allah bantu.”
Ummi Ikrimah tersenyum dalam tangisnya. “Iya, kak. Ummi ridha… dan Ummi doakan, semoga langkah Syahnaz selalu dalam lindungan-Nya.”
Setelah beberapa menit, terdengar suara ketukan dari luar.
“Syahnaz!!” suara Darren terdengar jelas dari depan rumah.
“Pasti itu Darren,” ucap Ikrimah sambil tersenyum kecil — sangat hafal dengan kelakuan keponakannya yang satu itu.
“Iya, Ummi,” jawab Syahnaz sembari bangkit perlahan dari tempat tidur.
“Bisa jalan, Kak?” tanya Ikrimah khawatir.
“Insyaa Allah bisa, Ummi,” balasnya sambil menahan rasa nyeri di pergelangan kakinya.
Ikrimah pun ikut membantu putrinya berjalan ke ruang tamu.
“Oke, kalau gitu Ummi ke dapur dulu ya... mau siapin makan malam,” ucapnya lembut.
“Iya, Ummi,” jawab Syahnaz.
Begitu Ummi beranjak ke dapur, Syahnaz membuka pintu sambil berseru,
“Masuk, Ren! Tumben banget kamu nunggu di luar, biasanya langsung nyelonong aja tuh.”
Darren terkekeh kecil.
“Ya gimana ya… sengaja biar lu yang bukain. Sekalian olahraga ringan buat kaki lu yang sakit itu.”
“Ihh, dasar kamu! Sengaja banget nyusahin aku!” Syahnaz cemberut, mencoba berjalan lebih cepat ingin mencubit Darren — tapi langkahnya malah tertatih.
“Wlee… nggak bisa kejar kan?” Darren menjulurkan lidah sambil tertawa lepas.
“Jahat banget sih!” Syahnaz duduk di sofa dengan wajah kesal.
“Cemberut? Merajuk nih?” goda Darren.
Syahnaz hanya diam sambil memainkan ponselnya, pura-pura cuek.
“Eh, ih beneran diemin aku?” ucap Darren mulai panik.
“Syahnaz…! Syahnaz!!” panggilnya lagi.
Nggak ada jawaban.
Darren pun bersandar santai, pura-pura kecewa.
“Yaudah deh, padahal aku mau ngasih tau lowongan kerja loh. Tapi kalo kamu nggak mau denger, ya udah, gue cabut aja nongkrong sama temen-temen.”
Refleks Syahnaz menoleh. “Eh, Darren!!”
Tapi cowok itu malah berdiri dan berbalik seolah mau pergi.
“Darren!!!” teriak Syahnaz lagi sambil mencoba bangkit — namun ketika kakinya menapak lantai, rasa nyeri kembali menyerang.
“Akhhh!!” rintihnya, hampir terjatuh.
Darren spontan menoleh. “Syahnaz!” Ia cepat-cepat menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh.
“Aduhh… Darren!!” jerit Syahnaz meringis, tak sengaja mencengkram rambut sepupunya.
“Aw aw! Rambut gue, Syah!” teriak Darren setengah sakit tapi menahan tawa.
Syahnaz langsung melepaskan tangannya, wajahnya memerah malu.
“Maaf…” gumamnya.
Darren menghela napas lalu ikut duduk di sampingnya. “Yaudah, maafin juga, gue kebanyakan bercanda.”
Syahnaz hanya mengangguk kecil, masih manyun.
“Eh, Syah?” panggil Darren lagi.
“Iya…” jawabnya datar.
“Jadi, mau dengerin nggak nih soal kerjaannya?”
Barulah Syahnaz menatap Darren dengan antusias. “Cepetan, Ren! Katanya gampang banget tadi?”
Darren menatapnya sebentar, lalu mulai menjelaskan.
“Jadi gini… temen gue bilang ada lowongan di butik, tapi ternyata nggak segampang itu. Minimal harus punya ijazah SMA. Sedangkan kita kan masih kelas tiga, belum lulus, belum ujian juga.”
Syahnaz langsung merengut. “Terus?”
“Nah, kalo kamu tetep pengen kerja, ada alternatif lain — jadi pelayan resto. Mau?”
“Iya, aku mau kok! Kecil juga nggak apa-apa,” jawabnya mantap.
“Sebenernya agak ribet sih, ada tesnya segala. Tapi kamu tenang aja, ada orang dalam.”
“Orang dalam, katanya…” Syahnaz mendengus geli. “Emang berapa gajinya?”
“Part-time sekitar satu setengah juta, full-time bisa empat jutaan.”
Syahnaz mengangguk-angguk. “Lumayan juga ya.”
Darren menyipitkan mata, nada suaranya berubah serius.
“Tapi, Syah… itu di Jakarta loh.”
Gadis itu menatapnya, ragu sesaat, lalu tersenyum pelan.
“Iya, aku yakin. Bismillah.”
Darren menghela napas. “Emang dibolehin Ummi?”
Pertanyaan itu membuat Syahnaz terdiam. Tatapannya menunduk, jemarinya saling meremas.
“Belum aku bilang sih…” katanya pelan.
“Lah, belum bilang udah niat aja,” Darren menggeleng sambil tersenyum tipis.
Syahnaz tersenyum getir. “Aku cuma pengen bantu Ummi, Ren. Aku pengen lanjut kuliah ke Kairo, dan aku nggak mau Ummi terus mikirin biaya. Aku mau berjuang juga.”
Darren terdiam — untuk pertama kalinya, dia kehilangan kata-kata.
“Tapi kalau soal kerja, Ummi udah ngeridhoin aku, Ren. Aku udah bilang tadi maghrib” ucap Syahnaz pelan sambil menatap cangkir kosong di depannya.
Darren mengangguk perlahan. “Iya, tapi... kalo soal Jakarta?”
Syahnaz menggigit bibirnya, ragu. “Nah itu… aku belum bilang. Aku takut Ummi nolak. Jadi, bisa nggak kamu aja yang ngomong? Biar Ummi nggak salah paham.”
Belum sempat Darren menjawab, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.