Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 , Tuduhan selir Valen
Langkah kaki Elara bergema lembut di lantai marmer putih.
Udara di Aula Tengah terasa berat, seperti menekan setiap napas.
Dua baris pelayan dan kasim menunduk dalam, tak berani mengangkat kepala.
Di ujung ruangan, Kaisar Kaelith duduk di singgasananya. Di sampingnya, berdiri Selir Valen anggun, berwajah damai, tapi tatapannya penuh kepalsuan yang terbungkus manis.
Elara mengenakan jubah perak lembut dengan selendang biru pucat. Setiap langkahnya tampak ringan, tapi mata tajamnya menelusuri seluruh ruangan.
“Permaisuri Elara, kau dipanggil karena ada insiden semalam,” suara Kaisar datar, nyaris tanpa nada.
“Seseorang menyusup ke paviliun selir Valen dan melukai salah satu pelayan.”
Elara berhenti beberapa langkah di depan singgasana.
Ia menunduk perlahan. “Insiden yang menyedihkan, Yang Mulia. Tapi saya tidak melihat hubungannya dengan saya.”
Lady Valen tersenyum lembut, menyentuh lengan Kaisar seolah meminta izin bicara.
“Yang Mulia, saya tidak menuduh. Tapi orang yang menyerang itu memakai jubah pelayan istana timur. Pelayan Anda, mungkin?”
Elara menatapnya. Sekilas saja.
Tatapan yang tidak sopan bagi permaisuri, tapi penuh arti.
“Jubah bisa dicuri, Lady Valen. Sama seperti wajah manis yang bisa menyembunyikan niat busuk.”
Ruangan itu seketika sunyi.
Beberapa pelayan menahan napas. Bahkan Kaisar, yang biasanya tidak menunjukkan emosi, tampak mengangkat kepalanya sedikit.
Lady Valen tersenyum lebih lebar senyum yang tidak sampai ke mata.
“Saya mengerti. Tapi saya hanya ingin memastikan, karena kejadian ini terjadi tepat setelah kematian misterius di taman timur.”
“Kematian yang Anda sebut itu sudah saya tangani,” jawab Elara tenang. “Dan kalaupun ada yang ingin membunuh seseorang, saya rasa mereka akan memilih target yang lebih penting daripada pelayan Anda.”
Nada lembutnya terdengar seperti sutra, tapi setiap katanya tajam seperti belati.
Kaelith menatapnya lama.
“Permaisuri,” katanya akhirnya, “kau tidak merasa aneh bahwa dua insiden terjadi dalam dua malam, dan semuanya berpusat di sekitar istanamu?”
Elara mengangkat dagunya sedikit.
“Saya justru merasa aneh, Yang Mulia, karena dua insiden itu terjadi setelah saya mulai hidup seperti permaisuri sesungguhnya. Mungkin ada yang tidak senang melihat saya… tidak lagi diam.”
Kaisar terdiam.
Kalimat itu seperti hembusan api dingin lembut tapi membakar.
Setelah pertemuan berakhir, Elara keluar dari aula dengan langkah pelan.
Kaen sudah menunggunya di luar, berdiri tegak di bawah bayangan pilar batu.
“Bagaimana?” tanyanya lirih.
Elara tersenyum samar.
“Selir Valen menyerangku dengan kata-kata, tapi Kaisar tidak menegurnya. Itu sudah cukup untuk memahami posisiku.”
Kaen menatapnya dalam-dalam.
“Dan apa yang akan Anda lakukan?”
“Tidak ada,” katanya datar. “Belum.”
“Tapi aku akan pastikan dia berhati-hati setiap kali menyebut namaku mulai sekarang.”
Sore menjelang. Elara berjalan di taman melati, sendirian.
Langit keemasan memantulkan warna lembut di kelopak bunga, tapi pikirannya penuh badai.
Ia tahu satu hal pasti: Selir Valen tidak akan berhenti.
Wanita itu terlalu licik untuk menyerang secara terbuka ia akan bermain dari balik bayangan.
“Kalau begitu,” bisiknya, “aku akan bermain lebih halus.”
Ia berhenti di depan kolam batu, memandangi pantulan dirinya di air.
Wajah itu tampak tenang, tapi di balik mata Elara, ada kilatan dingin yang tak pernah dimiliki permaisuri dalam novel itu.
“Kau ingin perang halus, Valen?” ia tersenyum tipis.
“Kita akan lihat siapa yang lebih pandai menyembunyikan luka.”
Di tempat lain, Kaisar Kaelith berdiri di balkon istana utama.
Ia melihat ke arah timur arah kediaman Elara.
Malam mulai turun, dan dari kejauhan, bayangan seorang wanita terlihat sedang berdiri di bawah pohon melati, menatap bulan.
“Dia tidak seperti dulu,” gumamnya pelan.
“Dan entah kenapa… aku tidak ingin dia kembali seperti dulu.”
Di belakangnya, Rion datang memberi hormat.
“Yang Mulia, Anda tampak gelisah.”
Kaelith menatap langit malam, suaranya rendah dan tenang.
“Tidak. Aku hanya menunggu untuk melihat… sampai sejauh mana dia berani menantangku.”
Malam itu, Elara menutup pintu kamarnya dengan perlahan.
Suara langkah Kaen terdengar di luar, berpatroli seperti biasa.
Tapi kali ini, entah kenapa, Elara tidak merasa dia hanya penjaga.
Ada sesuatu di balik tatapan lelaki itu sesuatu yang ia belum berani percaya, tapi juga tidak bisa abaikan.
“Kaen,” panggilnya lirih dari balik pintu.
“Ya, Yang Mulia?”
“Kalau suatu hari aku benar-benar jatuh, apakah kau masih akan tetap berdiri di sisiku?”
Kaen terdiam lama.
Lalu jawabannya datang, pelan tapi tegas.
“Saya bukan berdiri di sisi siapa pun, Yang Mulia. Tapi kalau dunia mencoba menjatuhkan Anda… saya akan berdiri di depan mereka.”
Elara menatap pintu yang menutup di antara mereka.
Untuk pertama kalinya sejak ia terjebak di dunia ini, dadanya terasa hangat dan sekaligus berbahaya.
Jangan bodoh, Aira, pikirnya.
Perasaan seperti itu hanya akan membuatmu mati lebih cepat.
Namun senyum kecil tak bisa ia tahan.